Namun ada tiga akademisi dan cendekiawan berdarah Minang yang gigih membela Jokowi. Mereka; Ade Armando, Hasan Nasbi dan Jeffrie Geovanie. Bersama mereka ada M. Qodari, konsultan politik dan cendekiawan asal Palembang serta Zulfan Lindan, politisi senior dari PDIP dan Nasdem, yang berdarah Aceh, sebagai pendukung Jokowi - Prabowo.
Hari hari ini mereka banyak bicara di channel Youtube membela kebijakan Jokowi dan mendorong transisi mulus kekuasaan Jokowi kepada Prabowo, 20 Oktober 2024 ini. Mereka menolak upaya "crash landing" dari kelompok yang kalah Pilpres 2024 lalu, kaum oposisi dan para aktifis HAM dan demokrasi, kaki tangan asing yang dirugikan oleh kebijakan Jokowi.
Ade Armando dikenal sebagai pendukung Jokowi gelombang pertama yang hijrah kepada Prabowo Subianto, bersama sama Budiman Sudjatmiko. Menyusul Maruara Sirait dari kubu PDIP. Ade adalah akademisi, pegiat media sosial, yang aktif di Youtube, dan belakangan ini bergabung di PSI, Partai Solidaritas Indonesia, yang diketuai oleh Kaesang Pangarep.
Sebagai akademisi, Dr. Drs. Ade Armando, M.Sc. meraih gelar 'Master of Sience' dari Universitas Negeri Florida - AS (1991), meraih gelar doktor dari UI (2006). Kini dia pengajar di Magister Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan (UPH). Sebelumnya menjabat Ketua Program S-1 Ilmu Komunikasi FISIP UI (2001--2003). Ade pernah menjadi anggota Komisi Penyiaran Indonesia (2004--2007), dan Direktur Pengembangan Program Pelatihan Jurnalistik Televisi Internews (2001--2002).
Ade Armando lahir 24 September 1961 dari keluarga perantau Minangkabau pasangan Mayor Jus Gani dan Juniar Gani sebagai bungsu dari tiga bersaudara. Ayahnya seorang diplomat yang pernah menjadi atase di KBRI di Maroko dan Filipina.
Sebelum dikenal sebagai pendukung Jokowi, Ade Armando adalah aktifis keberagaman, ikut milis Jaringan Islam Liberal (JIL), penolak penerapan Syariat Islam di Indonesia, dan kondang dengan kontroversinya, "Allah kan bukan Orang Arab".
Ade Armando dilaporkan ke polisi karena komentar soal "Aplikasi Injil Bahasa Minang". Dia dianggap melecehkan adat dan budaya Minangkabau, sehingga, selain dilaporkan ke polisi, juga "dibuang sepanjang adat," menurut Ketua Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau (MTKAAM) Irfianda Abidin, pada Rabu (10/6/2020). Dalam adat Minang, seseorang "dibuang sepanjang adat" itu bermakna bahwa dia tidak akan diterima lagi di tanah Minang dan tak boleh lagi mengaku sebagai orang Minang.
Menaggapi hal itu, Ade tidak mempermasalahkan sanksi adat yang menimpa dirinya. Dia justru mempertanyakan keabsahan pihak yang ingin memberlakukan hukum adat kepadanya. "Memang dia memiliki legitimasi dari mana menentukan ke-Minang-an saya? Siapa yang mengangkat dia sehingga dia merasa sebagai pimpinan orang Minang?" kata Ade.
Nasib lebih nahas menimpanya, saat mendatangi demonstrasi mahasiswa menolak wacana perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta, 11 April 2022 lalu. Dia mengalami penganiayaan brutal oleh peserta demonstrasi. Enam pelakunya diburu dan kemudian menjadi tersangka.
CENDEKIAWAN berdarah Minang lainnya yang gigih membela Jokowi - Prabowo adalah Hasan Nasbi, S.IP. Seorang konsultan politik, pendiri lembaga survei Cyrus Network. Dia baru saja diangkat menjadi Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan per 19 Agustus ini, setelah sebelumnya menjabat Juru Bicara Tim Kampanye Nasional Prabowo-- Gibran.
Hasan Nasbi dilahirkan di Bukittinggi, Sumatera Barat pada 11 Oktober 1979 dalam keluarga Minangkabau. Ibunya merupakan adik satu bapak dari Ahmad Syafi'i Ma'arif. Hasan Nasbi mengenyam pendidikan SD dan SMP di Kampuang Nan Limo, SMA Negeri 2 Bukittinggi dan melanjutkan ke FISIP UI pada 2004.
Dia pernah menjadi Ketua HMI Komisariat UI. Ikut mendirikan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Tan Malaka, menjadi Sekretaris Dr. Harry Albert Poeze. Pernah menjadi Redaktur Buletin Madilog dan menulis buku "Filosofi Negara Menurut Tan Malaka" (2004).
BUKAN hanya cendekiawan, dari Minang juga muncul politisi dan pebisnis gigih membela Jokowi dan Prabowo, yakni Dr. H. Jeffrie Geovanie, M.Si. Dia pengusaha sukses yang kini duduk sebagai Ketua Dewan PSI. Tinggal di Singapura dan mondar mandir di Indonesia.
Sebagai politisi Golkar, Jeffrie sempat menduduki kursi parlemen Senayan pada rentang periode 2009-2014 dari dapil Sumatera Barat I. Pada 2012, dia hijrah ke Nasdem dan menggagas pendirian PSI, Partai Solidaritas Indonesia.
Jeffrie menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Sastra Universitas Nasional, Jakarta. Merampungkan pendidikan S2 di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) Jakarta. Melanjutkan Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi di Univ. Udayana, Bali.
Memulai terjun ke bisnis sejak menjadi Marketing Division Staff, American Express Bank Ltd (Amex)di Jakarta, kemudian melesat sebagai Direktur di Trego Holdings Ltd di Singapura dan Direktur Bank Arta Prima di Jakarta. Bisnisnya merambah bidang hotel dan properti.
Jeffrie lahir di Jakarta 5 Agustus 1967 dari orang tua yang keduanya berasal dari Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Ayahnya adalah seorang profesional dengan tugas terakhir di yayasan milik PBB yang menangani pengungsi Vietnam di Pulau Galang, meninggal di masa kecilnya sedangkan ibunya adalah seorang PNS.
Pada tahun 2002, Jeffrie mendirikan Syafii Maarif Foundation -- Maarif Institute yang aktif mengkaji isu-isu budaya dan kemanusiaan. Dia juga mendirikan Lembaga Indonesia untuk Semua. Jeffrie juga aktif sebagai anggota Dewan Penasihat Pusat Studi Strategis dan Internasional.
PENDUKUNG militan Jokowi Prabowo dari Sumatera yang melesat ke pentas politik nasional adalah Muhammad Qodari, S.Psi., M.A. atau disingkat M. Qodari - dan sekarang populer disebut "Mister Q". Dia pendiri Indo Barometer (IB), lembaga riset independen, yang memotret perilaku sosial-politik masyarakat Indonesia.
M. Qodari meraih gelar Doktor Ilmu Politik tahun 2016 di Fisipol, Universitas Gadjah Mada Menyelesaikan Program Pasca Sarjana (S-2), di University of Essex, Inggris.
M. Qodari membikin heboh panggung politik saat mendengungkan Jokowi-Prabowo 2024 (Jokpro2024). Dia menggebu-gebu berbicara tentang dukungannya terkait Jokpro2024 dengan memakai kaos bergambar Jokowi-Prabowo.
DARI nama nama pengamat politik muda di atas ada H. Zulfan Lindan, politisi senior dan juga gigih membela Jokowi Prabowo. Zulfan kelahiran Banda Aceh, 1 Oktober 1956. Terakhir diberhentikan dari Nasdem terkait pernyataan "Anies baswedan sebagai Antitesa Jokowi". Sebelumnya merupakan anggota DPR RI Fraksi Partai NasDem. Selain PDIP.
Dia terjun ke politik atas ajakan Taufik Kiemas dan menjadi anggota DPR RI dari Fraksi PDIP dari dapil Aceh NAD-II. Hijrah ke Partai NasDem sebagai Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Bidang Energi, SDA dan Lingkungan Hidup.
Alumni Universitas Jayabaya ini sejak 1999 hingga 2004, berkantor DPR RI Senayan, Jakarta. Sejak 2013, bergabung di Partai NasDem bersama Surya Paloh. Pencalonan Anies Baswedan sebagai Capres Nasdem memisahkan mereka di politik. Komisaris Independen Jasa Marga ini kini menjadi pengamat dan tidak lagi berpartai.
Nama nama yang disebut di atas bukanlah cendekiawan kaleng kaleng. Mereka memiliki kontribusi besar dalam meluruskan isu negatif kepada Jokowi dan Prabowo di sosial media.
Terbukti, hasil survei terbaru dari Poltracking Indonesia mayoritas masyarakat Indonesia puas dengan kinerja Presiden Jokowi. Lembaga survei pimpinan Hanta Yuda ini mencatat, masyarakat yang puas dengan kinerja Presiden Jokowi mencapai 86,5 persen. Angka ini diperoleh dari gabungan jumlah responden yang mengaku sangat puas, dan cukup puas.
Sinyalemen negatif pada kepemimpinan Jokowi disuarakan oleh 13,5% yang kalah Pilpres tapi menguasai dunia maya. Di kotak suara mereka keok. Termehek mehek. Di dunia maya mereka berjaya karena bebas melipatgandakan akun, dan lantang - sehingga seolah olah mewakili suara besar. Padahal ya, 13,5% itu.
Kembali ke topik cendekiawan Minang dan pemerintah Jokowi. Negeri Minangkabau merupakan salahsatu pemilik saham terbesar pendirian RI. Tiga dari sembilan perumus Pancasila adalah orang Minang, yaitu H.Agus Salim, Moh Hatta dan Muh Yamin. Mereka dihormati di ibukota dan diabadikan sebagai nama jalan, di pusat Jakarta seperti Jl. Sutan Sjahrir, Â Jl. Abdul Muis, Jl. HR Rasuna Said, Â selain jalan H Agus Salim, Jl. Muhamad Yamin. Semua berdarah Minang.
Bung Hatta bersama sama Bung Karno diabadikan sebagai nama bandara utama negara setara dengan Charles De Gaulle di Paris, Prancis, JFK di New York - AS. Nama Buya Hamka dijadikan nama masjid dan Universitas. Para sejarahwan, cendekiawan dan wartawan memulihkan nama Tan Malaka sebagai "Bapak Republik".
Namun kualitas cendekiawan Minang di Sumatera Barat, merosot 50 tahun terakhir, sejak agama menjadi politik di Sumatera Barat. Lebih parah lagi sejak Sumbar dikuasai kader PKS, yang berideologi Ikhwanul Muslimin (IM). Â Sehingga kawasan Minangkabau menjelma menjadi provinsi sektarian-intoleran, menerapkan ketat Syariat Islam dan pemaksaan jilbab di sekolah sekolah negeri.
Warga Minang membanggakan "ABS-SBK" (Adat Basandi Syarak - Syarak Basandi Kitabullah), sebagai sikap tunduk kedaulatan Budaya Besar Minangkabau kepada Kitab Umat Islam, notabene ajaran agama dari negeri asing, yaitu Kerajaan Arab Saudi. ***