[caption id="attachment_97116" align="alignright" width="298" caption="Ilustrasi/Admin (Tribun Jabar)"][/caption] PSSI mungkin bisa bangkrut. Gara-gara ulah suporter Indonesia. Kalau selama ini organisasi pimpinan Nurdin Halid itu bisa serta biasa mungkir, cuci tangan, sebagai fihak yang ikut bertanggung jawab apabila terjadi kecelakaan yang menimpa suporter, kini sepertinya tak bisa mengelak. Federasi Sepakbola Asia telah memutuskan denda ribuan ringgit Malaysia kepada PSSI. Semua itu terjadi karena ulah dungu dan tidak elegan suporter Indonesia saat mendukung timnas futsal Indonesia berlaga melawan Malaysia. Suporter Indonesia itu tidak berdiri, untuk menghormat saat lagu kebangsaan Malaysia diperdengarkan. Mungkin ini kabar bagus. Mudah-mudahan pada pelbagai
event sepakbola internasional lainnya akan semakin banyak suporter Indonesia yang melecehkan negara lain. Sehingga PSSI kena denda dan denda lagi. Mungkin kemudian solusi yang akan dipilih oleh PSSI adalah kembali mungkir bila peristiwa serupa terjadi. Misalnya dengan berkilah bahwa para suporter Indonesia yang berulah itu “merupakan suporter-suporter liar dan karena itu kami tidak ikut bertanggung jawab.” Suporter liar. Suporter yang harus dinaturalisasikan, diorganisasikan ? Wacana mengenai topik ini muncul dalam posting sahabat saya,
Panji Kartiko di Facebook. Ia menyebutnya dalam salah satu seri artikel-artikel lawas. Kita hargai niat baiknya untuk berbagi wawasan mengenai masalah satu ini. Tulisannya itu melemparkan saya untuk surut ke belakang, di tahun 2000-an.
Hari suporter nasional. Tanggal 12 Juli 2000, bertempat di kantor Redaksi Tabloid BOLA, Palmerah Selatan, terjadi momen sejarah bagi perjalanan perkembangan suporter sepakbola Indonesia. Saat itu, sebuah kesepakatan telah diambil, sebagaimana dilaporkan oleh Tabloid BOLA (14/7/2000) tersebut. “Dalam dialog seusai santap siang, para kelompok suporter pembaru menetapkan tanggal 12 Juli sebagai Hari Suporter Nasional (HSN). Mungkin di antara negara-negara penggila sepakbola, hanya Indonesia saja yang memiliki hari bagi suporter sepakbola. Kelompok suporter yang bersepakat saat itu adalah Aremania, The Jakmania, dan Pasoepati, yang sudah kerap beraksi dengan segala kreativitasnya, serta Viking Persib Fans Club yang ingin menjejaki langkah langkah ketiga pendahulunya. ‘Kelak tiap tahun kita akan memperingati hari persaudaraan antarsuporter se-Indonesia dengan kegiatan-kegiatan positif bersifat sosial. Kita akan berkumpul lagi seperti ini. Terima kasih kepada BOLA yang telah menjembatani dan memberi perhatian secara aktif terhadap perkembangan suporter di Indonesia,’ papar
Bambang Haryanto dari Departemen Humas dan Media Pasoepati.
Bambang-lah yang mengusulkan penetapan HSN dan semua peserta mendukungnya. Peristiwa ini diharapkan menjadi momentum penyatuan visi dan mempererat tali silaturahmi antarkelompok suporter yang beragam. Para kelompok suporter diwakili para pentolannya masing-masing. Sebut saja Yuli Sugiarto dan Muhammad Noer dari Aremania. Mayor Haristanto selaku Presiden Pasoepati. The Jak langsung dipimpin Ferry Indrasjarief dan Faisal, sementara Viking diwakili Eri Hendrian dan Nandang Leo Rukaran. Acara dipandu Sigit Nugroho, Koordinator Liputan Sepakbola Nasional BOLA. Dialog informal berjalan penuh keakraban dalam semangat kesetaraan. Mereka saling berbagi pengalaman dan bertukar pikiran dalam mengorganisasikan kelompoknya. Peserta sepakat bahwa wadah kelompok suporter bisa menjadi sarana untuk menularkan virus positif, seperti persaudaraan, sportivitas, serta antikekerasan. ‘Inilah salah satu cara untuk mengikis sikap fanatisme sempit di kalangan suporter’ sebut M. Noer dari Aremania.” Setahun kemudian, seperti dilaporkan lagi oleh Tabloid BOLA (14/8/2001), Asosiasi Suporter Sepakbola Indonesia (ASSI) dideklarasikan. Diiringi ilustrasi gegap gempita nyanyian bersemangat dari suporter Jakmania lengkap dengan drumnya, para perwakilan kelompok suporter kita itu menandatangani prasasti saat deklarasinya di Gedung Yayasan Tenaga Kerja (YTKI), Jakarta. Dalam tabloid tersebut telah pula dikutip pendapat dari mereka yang hadir. Antara lain, Ahmad Lanjir (Laskar Benteng Persita), Andri Kurniawan (Semen Padang Fans Klub),
Bambang Haryanto (Pencetus Hari Suporter Nasional), Beni Setiawan (Panser Biru PSIS), Faisal Karim (Persebaya Fans Klub), Ferry Indrasjarief (The Jakmania Jakarta), Heru Joko (Viking Persib), Indra Pangeran (The Macz Man), Lukman (Balad Persib), Mayor Haristanto (Pasoepati), Nurul (Aremania), Prayitno Hadi (PKT Fans Klub) dan juga Reni Rohaeni (Lady Vikers). Tokoh kunci yang tidak dikutip, tetapi penting adalah Eko Haryanto (Bonekmania Persebaya).
Bawa pulang Alya Rohali. Semangat untuk merayakan pendirian dan meneguhkan eksistensi ASSI tersebut bahkan diusung dalam acara kuis di televisi,
Siapa Berani ?, di Indosiar, 12 Maret 2002. Dalam kuis itu para pentolan ASSI bertanding adu cerdas melawan kelompok suporter The Aremania (Malang), Jakmania (Jakarta), Pasoepati (Solo), dan Viking (Bandung). Saya, Taufik Ismail (almarhum), dan Ryan yang saudaranya Panji, Sigit Nugroho, dan Erwin Fitriansyah, masuk kelompok ASSI. Kami berlatih di sekolahnya Sherina, berkat bantuan Eko Haryanto Bonek yang guru di sekolah itu. Sementara Panji dan Gigi bergabung di kubu Pasoepati, baik yang datang khusus dari Solo mau pun dari Pasoepati Jakarta. Itulah sepotong masa-masa indah sebagai suporter sepakbola. Slogan ASSI di acara kuis itu adalah, “Bawa Pulang Alya Rohali.” Alya bersama Helmy Yahya adalah
host acara. Slogan itu tertera di kaos dan juga dalam lirik lagu kami. Saat latihan sebelum pentas,
floor director acara itu senyum-senyum mendengar slogan kami. Di Jakarta Post Helmy Yahya bilang, “penampilan kelompok suporter itu merupakan salah satu acara
Siapa Berani ? yang paling baik.” Tetapi polesan bedak ala Helmy Yahya itu seperti tidak berarti apa-apa. Ketika seusai acara, kantin Indosiar menjadi ajang perang berupa olahraga baru. Berwujud lempar-lemparan kursi dan hujan umpatan antara suporter Jakarta melawan Bandung. Bahkan kemudian terjadi aksi pencegatan, penganiayaan, dan bahkan diduga juga penyerobotan harta benda, ketika kelompok suporter Jakarta mencegat mobil suporter Bandung. Kasus ini dilaporkan kepada polisi, tetapi segera dilupakan oleh jaman. Kecuali dendam kesumat yang membara di dada yang merasa teraniaya. Tiang dan pilar yang didirikan atas nama persahabatan antarsuporter yang diharapkan mampu menyangga rumah ASSI, robohlah sudah. Tindak
kerusuhan, anarkis dan tawuran antarsuporter sepakbola di kancah sepakbola Indonesia bahkan semakin menjadi merajalela.
Binatang jadi-jadian. Tindak anarkis seusai mengikuti acara kuis di Indosiar di atas tadi merupakan perbuatan kelompok suporter “resmi,” bukan “liar.” Karena pentolannya ikut pula aktif berperan serta. Jadi hemat saya, pembuatan batas antara suporter resmi dan suporter liar, tak mudah dilakukan. Keterlibatan individu dalam organisasi kelompok suporter bersifat cair. Bisa masuk, keluar, patuh atau tidak patuh, semuanya bebas saja dilakukan. Setiap waktu. Kita para suporter ibarat pasir dalam sebuah mangkuk. Sepertinya bersatu, tetapi senyatanya terpisah-pisah. Jadi impian teman-teman dan juga impian saya di tahun 2000an tentang eksistensi ASSI, boleh jadi dipandu niatan bawah sadar untuk meniru organisasi semacam KNPI, AMPI, dan sejenisnya. Organisasi seperti ini sebenarnya merupakan jenis binatang jadi-jadian. Ia sengaja dibentuk sebagai alat pemerintah Orde Baru untuk mengontrol generasi muda. Organisasi seperti itu diberi restu, diberi dana, pimpinannya harus cocok sama pemerintah. Tetapi sekaligus dibuat gemuk, malas, sehingga tidak muncul fikiran-fikiran kritis terhadap pemerintah otoriter yang memberi mereka segalanya. Pimpinan organisasi semacam seringkali merupakan kader, calon untuk menduduki kursi-kursi menteri dalam pemerintahan. ASSI tidak memiliki kemewahan seperti itu. Maka wajar, bila organisasi yang berilusi sebagai payung organisasi suporter sepakbola Indonesia itu kini hanya tinggal sebagai kenangan. Bahkan ketika hiruk-pikuk wacana konggres atau sarasehan yang digagas oleh PWI untuk mengoreksi kondisi persepakbolaan nasional, di Malang, Maret 2010 ini, tak ada suara suporter yang ikut berbunyi di media massa. Padahal sebagai salah satu pilar industri sepakbola, bila suporter bersepakat melakukan boikot total, tidak menonton sepakbola, dampaknya akan luar biasa. Tidak ada atau tidak eksisnya ASSI di saat-saat genting persepakbolaan nasional seperti dewasa ini, kiranya tidak perlu diratapi. Pakar ekonomi atensi,
Michael H. Goldhaber, menegaskan betapa di tengah era maraknya beragam media sosial yang membuka seluas-luasnya transparensi, baik itu media
blog,
Facebook sampai
Twitter, memang membuat organisasi menjadi tidak terlalu penting lagi. Tembok-tembok organisasi birokrasi bahkan sampai universitas pun, menurutnya, kini menjadi bangunan yang serba tembus pandang. Orang-orang semakin saling berhubungan dengan orang. Bukan dengan organisasi. Sehingga kini adalah jamannya para tokoh. Juga jamannya gagasan. Para tokoh dan pemilik gagasan itu tergabung dengan
entourage-nya dalam komunitas atau jaringan yang lebih egaliter, yang diikat oleh kesamaan visi dan cita-cita. Seorang jenius pemasaran dunia digital paling moncer saat kini,
Seth Godin menyebut kondisi di atas sebagai era keemasan bagi
cheap leader, pemimpin “murahan.” Karena menurutnya, di luaran sana, terdapat ribuan atau jutaan orang yang menanti hadirnya pemimpin-pemimpin mereka. Modal sang pemimpin itu hanyalah gagasan yang visioner dan mampu menular sebagai ideavirus. Bukan lagi pangkat, wibawa atau duit milyar-milyaran. Kasus demo maya yang masif dalam membela Bibit Samad Rianto-Chandra Hamzah sampai Prita Mulyasari, merupakan contoh betapa kita orang-orang biasa mampu melakukan sebuah “revolusi.” Apalagi hanya melawan ide dangkal seperti RPM Konten-nya seorang menteri baru yang beraksi sebagai penangkal petir (silakan baca Richard W. Brislin dalam The Art of Getting Things Done : A Practical Guide to the Use of Power, 1991), yang semata dicuatkan untuk mengurangi tekanan publik kepada bosnya yang tersudut akibat skandal Bank Century. Suporter memang kelompok "liar," apalagi bila sedang berkerumun. Menghimpun mereka, menjinakkan atau menaturalisasikan mereka seperti halnya ulah pemerintah Orde Baru terhadap KNPI, AMPI atau Pam Swakarsa (termasuk pelaku demo bayaran dengan sosok-sosok anak-anak pelajar ), adalah suatu kemustahilan. Mengatur suporter itu seperti menggembala kucing. Sehingga tindak kerusuhan demi kerusuhan oleh mereka, termasuk hilangnya nyawa suporter sepakbola kita secara sia-sia, akan menjadi daftar yang pasti semakin panjang saja di kemudian hari. Demikian pula semakin banyaknya kerusuhan dilakukan oleh para suporter kita di luar negeri, membuat semakin banyak denda yang akan dijatuhkan kepada PSSI, juga membuat semakin sering pula dilarangnya tim-tim Indonesia bertanding di luar negeri. Mungkin terasa sinis, tetapi barangkali itu justru merupakan kabar yang baik. Memang ini suatu gagasan yang berlandaskan pada rasa putus asa dan tiadanya harapan bagi masa depan sepakbola Indonesia. Biarlah sepakbola Indonesia dan suporternya terpuruk sampai kedasar, dan barangkali sesudahnya akan muncul arus balik. Sesuatu aksi yang radikal. Karena tanpa aksi radikal, para pemangku kepentingan sepakbola kita akan terus merasa nyaman walau dengan keadaan di saat penyakit kanker yang menggerogoti sepakbola kita sudah mencapai stadium yang sudah sangat lanjut. Kanker itu, tak jemu saya sebut, adalah :
korupsi, korupsi dan korupsi. Aksi radikal itu kini tinggal bersandar kepada pemanfaatan
media-media sosial. Semakin masifnya suporter atau pencinta sepakbola memiliki blog, mengelola akun Facebook dan Twitter, semua itu boleh jadi merupakan ujung lorong yang cerah bagi masa depan sepakbola kita. Alasannya, pertama, kita dapat merujuk ujaran seorang blogger, mantan wartawan CNN di Beijing dan Tokyo dan kini peneliti di Harvard,
Rebecca McKinnon. Ia bilang bahwa seseorang lebih mampu menyerap dan mengelaborasi kembali informasi secara lebih mendalam bila yang bersangkutan dilibatkan dalam diskusi mengenai materi tersebut. Bahkan mereka memiliki pemahaman lebih mendalam lagi bila dirinya mampu menuliskan opini tentang hal bersangkutan di ruangan publik. Semakin mendalamnya pengetahuan para suporter sepakbola kita, yang juga meningkat secara kuantitatif itu, akan memberi bobot wacana yang lebih signifikan guna menemukan solusi secara masif dan demokratis dari problem sepakbola kita. Lokal dan nasional. Ijinkanlah saya bermimpi, alangkah hebatnya bila semakin banyak suporter sepakbola kita yang mau menjadi seorang blogger. Kita semua bisa menulis apa saja, tentang sepakbola Indonesia. Termasuk mengritisi pengelolaan sepakbola kotanya, syukur-syukur pula sampai mau berpikir berlingkup nasional, juga mendunia. Seorang jenius dalam bidang perangkat lunak
open source, Linus Torvald, telah dikutip oleh Eric Steven Raymond dalam makalahnya yang terkenal, The Cathedral and the Bazaar (1999), tentang tesis sentralnya yang berbunyi :
"given enough eyeballs, all bugs are shallow." Oleh Raymond proposisi ini disebutnya sebagai Hukum Linus Pertama. Maknanya adalah, bahwa semakin luas tersebarnya sumber-sumber kode (perangkat lunak) untuk diakses, dipelototi, dikaji dan dilakukan percobaan oleh masyarakat, maka semakin cepat pula semua
bugs, cacat cela, dari perangkat lunak itu mudah ditemukan untuk dibereskan. Pesan Hukum Linus itu bagi kita, sesama suporter sepakbola adalah : semakin banyak suporter sepakbola kita menjadi blogger, semakin banyak mereka mampu menulis tentang segala seluk beluk pengelolaan sepakbola Indonesia, maka semakin mudah dikuak pula adanya beragam tindak kriminal yang selama ini diam-diam menjadi kanker yang menggerogoti jiwa dan raga sepakbola kita. Kedua, kita bisa catat apa yang Churchill bilang, “
to jaw-jaw is always better than to war-war.” Adu bacot lebih baik dibanding adu otot. Adu olok lebih baik dibanding adu golok. Melalui pemanfaatan media sosial, kita para suporter misalnya, dapat mencontoh aksi suporter
Glasgow Celtic vs Glasgow Rangers di Skotlandia. Perseteruan mereka yang bahkan berlandaskan agama pun, tetapi perang mereka meledak di dunia maya dengan canda, secara berbudaya. Tak ada darah tertumpah. Suporter Indonesia harus pula bergerak ke arah sana. Ketiga, melalui media sosial pula kita dapat diasah untuk berpikir dan memiliki wawasan yang lebih luas dari sekadar pikiran sempit tentang haus kemenangan atau pun merasakan pedih akibat kekalahan klub-klub yang kita dukung. Sikap katak dalam tempurung itu, harus disingkirkan. Di tengah atmosfir penyelenggaraan Piala Dunia 2010 bulan Juni mendatang, marilah kita merenung, di mana posisi persepakbolaan kita saat ini ? Sejak tahun Piala Dunia di Paris 1938, saat itu Indonesia masih masuk sebagai negara jajahan Belanda, Indonesia tak pernah masuk lagi sebagai finalis Piala Dunia. Saya sendiri pernah ikut mendukung timnas pada turnamen tingkat Asia Tenggara pada final
Piala Tiger 2004 di Singapura, sambil mengusung spanduk “Bangkit Indonesia !” harus belajar menelan kecewa. Ponaryo Astaman dan kawan-kawan kalah di kandang atau pun di tandang melawan sang juara Singapura ! Suporter sepakbola Indonesia, marilah bermimpi agar timnas kita berhasil menapak pentas dunia. Langkah pertama untuk itu, marilah bergerak untuk ikut serta membersihkan
bugs pada tubuh PSSI kita. Manfaatkan media-media sosial itu secara bijak dan bermanfaat untuk mempercerdas diri, di mana hal itu
kini dibutuhkan untuk menggulirkan revolusi. Target kita dalam jangka pendek adalah : memensiunkan Nurdin Halid dan kroni-kroninya dari kursi PSSI. Karena mereka bercokol di PSSI semata untuk mempertahankan sumber uangnya, sementara urusan tentang prestasi adalah masa bodoh, kita bisa mengumpulkan koin demi koin untuk bekal pensiun mereka. Agar di ujung ikhtiar ini rakyat Indonesia mampu merebut haknya, untuk memiliki PSSI-nya kembali ! Sahabat-sahabat sesama suporter sepakbola Indonesia, saya berbangga bisa berbagi impian dengan Anda. Link :
http://suporter.blogspot.com/2010_03_01_archive.html#3769827122643411956
KEMBALI KE ARTIKEL