Kegagalan dalam membina rumah tangga partai yang harmonis dan kegagalam dalam memenangkan pemilu legeslatif dan presiden, adalah sebuah cermin ketidakberesan pemimpin partai dalam mengelola partainya. Partai golkar yang seharusnya memiliki banyak peluang pada pemilu, dan melaksanakan musyawarah nasional sesuai mekanisme partai, justru berseberangan dengan sejumlah pengurus partainya. Ada kesan belum jalannya musyawarah untuk mencapai mufakat. Demikian juga partai persatuan pembangunan yang seharusnya memiliki satu mekanisme kepengurusan partai malah pecah menjadi dualisme kepengurusan partai. Kalau ini menjadi virus partai dan menjadi sebuah trend baru, mau dibawa kemana masa depan demokrasi kita?
Disadari atau tidak bahwa sebuah citra publik sangat mahal harganya. Ketika sebuah partai mengalami perpecahan dan tidak diantisipasi dengan baik maka cepat atau lambat akan ditinggalkan oleh pengurusnya dan pendukungnya. Idealnya apapun persoalan internal partai harus diselesaikan secara musyawarah mencapai mufakat. Pada sisi lain seorang pemimpin partai harus memiliki empati dan interospeksi dengan mengedepankan tujuan demokrasi dan bukan individu atau golongan. Masa depan partai sangat ditentukan oleh pemimpin partainya.
Kita semua berharap apapun perselisihan yang terjadi pada internal partai harus diselesaikan dengan kebesaran hati sehingga tidak menjadi konflik berkepanjangan yang akhirnya diketahui oleh publik. Kita juga semua tahu bahwa semua orang yang hidup dalam sebuah partai memiliki banyak kepentingan. Tetapi lebih mengedepankan kepentingan rakyat dan bangsa adalah sebuah tindakan yang mulia dan terpuji.