Jum'at lalu, dalam perjalanan menuju Yogya di sebuah pagi yang cerah, kendaraan penulis berhenti di pinggir jalan untuk membeli makanan kecil sebagai pengganjal perut yang kosong karena belum sarapan. sementara cacing-cacing perut mulai berulah, minta dikasihani. Jatuhlah pilihan pada penjual gorengan yang mangkal di pinggir jalan, seorang pemuda yang mungkin masih berusia 20an.
Gorengan terbukti ampuh menenangkan cacing-cacing untuk kembali diam. Apalagi udara terasa dingin, cocok untuk makan gorengan. Sayang, tidak ada sahabat sang gorengan, yaitu kopi. Maklum, penjualnya bukan bertempat di warung kecil, tapi ia penjaja gorengan yg berkeliling dengan sepeda motor tua untuk menjajakan gorengannya.
Selesai menikmati gorengan, penulis dan teman-teman berniat melanjutkan perjalanan. Tentu, sebelumnya harus membayar total harga gorengan, Rp. 15.500. Penulis pun menyodorkan uang Rp. 16.000, berarti ada kembalian Rp. 500. Tapi diluar perkiraan, penjual gorengan mengembalikan Rp. 1.000 bukan Rp. 500. Penulis pun kaget,
"Kok kembali Rp. 1.000?".
"Gak papa mas, saya ga ada uang Rp. 500." jawab si penjual.
Penulis, "Ga papa mas ambil aja Rp. 16.000."
"Saya ikhlas mas."Tolak si penjual.
Penulis melanjutkan perjalanan dengan perasaan takjub atas keikhlasan si penjual gorengan.
Di hari selanjutnya, hari Ahad, Penulis mampir ke sebuah toko oleh-oleh khas Yogya yang besar dan sangat terkenal. Penulis memilih beberapa makanan sebagai oleh-oleh sebelum meninggalkan kota Yogya. Selesai memilih, penulispun menuju kasir untuk membayar barang yang dibawa.
Di atas kendaraan, penulis iseng melihat-lihat nota pembelian. Hah....!!! mata penulis tertuju pada satu item barang yang ternyata ada ketidaksesuaian harga antara harga yang tertera di toko dan harga di nota. Di toko barang tersebut berharga Rp. 18.000, sementara yang tertera dinota pembelian tertera Rp. 25.000. Penulis ingat harga barang tersebut, karena sempat menanyakannya ke SPG.
Ada perbedaan yang jelas anatara penjual gorengan dengan pemilik toko oleh-oleh. Bukan karena nilai uangnya yang menjadi perhatian penulis, tapi sikap dan integritasnya. Mungkin uang Rp. 500 tidak berarti bagi kita, bahkan sering kita anggap remeh dan tidak sering ditinggal di rumah, tapi bagi si penjual gorengan Rp. 500 sangat berarti. Meskipun Rp. 500 sangat berarti bagi dia, dia rela memberikannya untuk konsumennya. Sementara Rp. 7.000 tidak seberapa nilainya bagi si pemilik toko, tapi si pemilik toko memilih menipu konsumennya dan menjual integritasnya demi Rp. 7.000.
Ternyata, orang yang punya usaha besar dan banyak uangnya belum tentu kaya, karena orang kaya selalu merasa cukup atas rezeki yang dimiliknya, sehingga mau memberikan kelebihan rezekinya untuk orang lain, seperti yang ditunjukkan oleh si penjual gorengan. Sementara si pemilik toko, selalu merasa kurang atas uang yang dimilikinya. Jangankan memberikan sebagian rezekinya untuk orang lain, malahan selalu berusaha mendapat uang sebanyak-banyaknya dengan cara apapun.
Apalah artinya banyak harta, tapi hatinya merasa miskin.
Si Penjual gorengan ternyata jauh lebih kaya daripada si pemilik toko.
Salam Super Joyo