Kak Ilham hanya bekerja sebagai seorang guru sekolah dasar. Dengan pekerjaan itu Kak Ilham hanya mendapatkan gaji kurang lebih 2 dua juta perbulan. Uang duta juta rupiah untuk hidup di Jakarta sangat tidak mencukupi. Aku sendiri termasuk wanita yang tidak pandai mengatur keuangan rumah tangga. Jika ada kekurangan uang untuk membeli sesuatu aku lebih suka menumpahkan kekesalan pada Kak Ilham. Aku marah-marah tidak jelas pada Kak Ilham suamiku sendiri.
Aku memang dilahirkan dari darah Sumatra yang sifatnya keras, yaitu Padang Pariaman. Sedangkan Kak Ilham dilahirkan dengan kultur Jawa Yogyakarta yang halus. Jika sedang marah, kata-kata kerasku sering muncul secara spontan. Jika aku marah-marah, Kak Ilham memilih diam dan mengalah. Pada suatu pagi cekcok kecil itu terjadi, ini memang salahku.
“Kak. Carilah kerja tambahan yang lain” Aku membuka pembicaraan. Namun Kak Ilham nampak tidak mau serius menanggapi omonganku.
“Iya dek, sabar yah. Kak Ilham sedang berpikir mencari usaha tambahan” Kak Ilham tampak tenang berbicara padaku.
“Sampai kapan Kak. Sampai kita mati kelaparan?” Suaraku agak keras dan meninggi. Namun Kak Ilham tampak diam.
“Inshaallah. Kak Ilham dapatkan usaha tambahan itu”
“Jangan nanti-nanti Kak. Kita butuh uang banyak untuk Putri. Windi tidak mau Putri menderita kelak” Aku gendong putri yang tadi sudah terbangun dari tidur. Putri nampak bergerak-gerak dalam gendonganku. Mungkin Putri tahu kalau uminya sedang marah-marah sama abinya.
‘Iya, Kak Ilham ngerti kok Dek. Sabar Kak Ilham sedang berusaha. Mungkin Allah sedang menguji kita” Kak Ilham tetap tenang. Dia tidak membalas suara keras yang keluar dari mulutku.
“Sudahlah. Bulan depan pulangkan Windi ke Padang!”
Suaraku yang terakhir sangat keras dan kasar. Aku serahkan Putri dalam gendongan Kak Ilham. Tentu saja Kak Ilham sangat kaget dengan permintaanku yang terakhir. Dalam gedongan Kak Ilham, Putri malah tertidur nyenyak. Aku masuk ke kamar dan membanting pintu dengan keras. Nampak Kak Ilham mengehela nafas yang panjang melihat kemarahanku.
Kemarahanku berlangsung lama, hingga satu bulan. Aku tidak berbuat apa-apa buat Kak Ilham. Untuk sarapan pagi tidak pernah aku buatkan lagi. Sekedar teh manis hangat pun juga tidak aku buatkan. Urusan rumah dari mencuci dan menyeterika, semua dikerjakan oleh Kak Ilham. Putri juga lebih banyak tidur dengan Kak Ilham. Kelihatannya Putri lebih nyaman dan tenang dengan Kak Ilham.
Malam hari jika Kak Ilham hendak menciumku, aku lebih suka diam. Aku sama sekali tidak menanggapi permintaan Kak Ilham. Untuk sekedar mencium kening saja tidak aku ijinkan. Rasa cintaku pada Kak Ilham telah hampir hilang. Hingga pada suatu malam Jumat, Kak Ilham berusaha memelukku dari belakang. Tetapi aku acuh dan tidak menghiraukan keinginan Kak Ilham. Dia sudah memeluku hangat dan mesra, namun kemarahanku belum juga hilang.
“Dek. Apakah cinta itu telah hilang. Begitu bencikah Windi sama Kak Ilham? Sehingga untuk menciummu saja, Kak Ilham sudah tidak kamu ijinkan? Bicaralah Dek, jangan biarkan Kak Ilham tersiksa. Kak Ilham sangat mencintaimu Dek. Karena harta, cintamu pada Kak Ilham pupus?”
Kak Ilham mencoba bicara. Dia duduk di sampingku. Aku tetap saja acuh pada Kak Ilham. Entahlah, hatiku benar-benar telah membatu. Kebaikkan dan kasih sayang Kak Ilham seakan tidak berarti apa-apa buat hidupku.
“Sudahlah Kak. Pulangkan saja Windi ke Padang. Windi mau tinggal sama Mamak” Aku jawab pertanyaan Kak Ilham. Nampak dia menghela nafas panjang.
“Dek, tidak mungkin Kak Ilham pulangkan kamu ke Padang. Kamu adalah istriku yang sangat aku cintai. Kak Ilham tidak mau kehilangan kamu dek. Windi, sejak menikah kamu telah mengisi hati Kak Ilham. Sesulit apapun Kak Ilham akan berusaha membahagiakan kamu dan Putri”
Malam itu tetap tidak aku biarkan Kak Ilham memelukku. Tidak sedikitipun aku biarkan Kak Ilham mencium bibirku. Hatiku masih keras membatu dan tidak goyah oleh perkataan Kak Ilham. Akhirnya Kak llham tidur di kamar depan bersama Putri. Ketika jam tiga pagi Kak Ilham membangunkanku untuk shalat Tahajjud, aku tetap diam tidak bergeming. Kaki Ilham melaksanakan shalat sendirian, dia tampak menangis.
****
“Kak Ilham berangkat kerja dulu ya Dek. Baju putih ini nanti tolong dicuci yang bersih. Baju putih ini kesayangan Kak Ilham. Windi yang membelikan buat Kak Ilham. Baju putih sebagai tanda cinta Windi buat Kak Ilham. Windi belikan sehari setelah kita menikah. Dengan baju itu, Windi berikrar akan tetap mencintai Kak Ilham. Sesulit apapun hidup yang kita jalani. Kamu masih ingat kan Dek?”
Aku masih saja diam tidak menghiraukan permintaan Kak Ilham. Kak Ilham mencium keningku, dia tersenyum padaku. Kak Ilham melangkah pergi ke kantornya menaiki motor bututnya. Hingga sore hari tiba Kak Ilham belum pulang ke rumah.
Aku tunggu hingga malam hari, Kak Ilham juga belum pulang. Putri menangis dalam pangkuanku, mungkin mulai rindu dengan Kak Ilham. Malam itu aku menangis sejadi-jadinya, mengutuk kebodohaku sendiri. Di penghujung malam, aku bersimpuh menangis memohon ampun pada Allah SWT. Kak Ilham belum pulang hingga pagi. Sudah aku coba telpon nomor HP Kak Ilham, namun malah mail box. Aku sudah coba hubungi teman-temannya, tidak ada yang tahu keberadaan Kak Ilham. Aku hubungi sekolah tempat Kak Ilham mengajar juga tidak ada yang mengetahui keberadaannya.
Sudah dua bulan tidak ada kabar dari Kak Ilham. Aku menangis setiap malam, mengutuk kesalahanku. Kini Kak Ilham telah pergi dariku. Kak Ilham benar-benar menghillang dari hidupku. Tiap malam aku peluk baju putih Kak Ilham. Aku menangis hingga air mataku membasahi baju putih Kak Ilham. Kerinduan itu menyeruak hingga langit tujuh. Kak Ilham telah mengilang entah ke mana. Meninggalkan aku dan Putri dalam kesepian.
****
Aku pandangi kontrakkan kecilku, ada kenangan bersama Kak Ilham di sini. Ada fragmen bahagia bersama Kak Ilham. Namun justru aku telah menghancurkannya. Kunci rumah telah aku serahkan pada yang empunya rumah. Aku harus pulang ke Padang dan hidup di sana. Jika masih di sini, sangat sulit aku melupakan Kak Ilham. Aku biarkan kenangan indah itu menghilang. Aku gendong Putri yang masih tertidur. Aku pandangi baju putih milik Kak Ilham, aku peluk erat. Kemudian aku masukkan ke dalam tasku. Hanya baju inilah kenangan yang ditinggalkan oleh Kak Ilham.
Sudah banyak orang berjejal di Pelabuhan Tanjung Priok. Kapal Fery Gajayana akan membawaku dari Jakarta ke Padang Pariaman. Antrian sangat berjejal, hingga membuatk susah bernafas. Putri masih tidur dalam gendonganku. Aku semakin lelah dengan kondisi ini. Rasa rindu pada Kak Ilham hadir kembali.
Tiba-tiba aku lihat seorang di ujung kapal Gajayana. Laki-laki itu berbaju putih, wajahnya, tinggi badannya, aku sangat kenal. Kak Ilham, benarkah itu? Aku berterik-teriak dan melambaikan tangan memanggil nama Kak llham. Namun sesosok berbaju putih itu tidak mendengar teriakanku. Sesosok berbaju putih itu tetap diam.
“Kak Ilham....Kak llham. Ini Windi Kak, Windi mencintai Kak Ilham. Windi tidak mau kehilangan Kak Ilham”
Aku berteriak sangat dengan suara yang sangat keras. Namun sesosok berbaju putih itu tetap diam tidak mendengar suaraku. Sesosok berbaju putih itu menghilang dari pandanganku. Nafasku yang tersengal, tubuhku ambruk ke tanah pelabuhan Tanjung Priok. Bayang wajah Kak llham telah pupus dari hidupku dan tidak pernah kembali.