Beberapa tahun terakhir ini, alam mulai tidak bersahabat. Bencana datang silih berganti, datang dan pergi meninggalkan kesedihan. Bencana yang terjadi seharusnya menjadikan pelajaran buat umat manusia. Bisa jadi bencana yang hadir karena manusia lalai menjaga alam sekitar. Jika alam murka pada manusia ini hal yang wajar. Manusia menjadikan alam hanya untuk sekedar ekspolitasi ekonomi. Tidak ada itikat baik untuk terus menjaga alam yang ada. Alam yang seharusnya menjadi sahabat manusia, kini menemu titik paling rawan. Ada baiknya kita renungi sebuah tembang yang berjudul “Berita Kepada Kawan” dinyanyikan oleh Ebit G Ade, pada tahun 80-an.
“Perjalanan ini terasa sangat menyedihkan. Sayang engkau tak duduk di sampingku, kawan. Banyak cerita yang mestinya kau saksikan di tanah kering bebatuan. Ohoo.ooo..ohooo, tubuhku terguncang dihempas batu jalanan. Hati bergetar menampa kering rerumputan. Perjalanan inipun seperti jadi saksi gembala kecil menagis sedih. Oho..ohooo..ohooo, kawan coba dengar apa jawabnya. Ketika ia tanya mengapa. Bapak ibunya telah lama mati. Ditelan bencana tanah ini. Sesampainya di laut aku kabarkan semuanya, kepada karang, kepada ombak, kepada matahari. Tetapi semua diam, tetapi semua bisu. Tinggalah aku sendiri terpaku menatap langit. Barangkali di sana ada jawabnya. Mengapa di tanahku terjadi bencana. Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa. Atau alam mulia enggan, bersahabat dengan kita. Coba kita tanya pada rumput yang bergoyang.......”
****
Munjab melangkahkan kakinya yang terasa berat. Dia pandangi langit Jakarta yang nampak cerah. Langit Jakarta nampaknya tersenyum ramah padanya. Namun hati Munjab masih tidak menyadari kehadiran langit yang tersenyum. Pandangannya terus menerawang melintasi batas-batas negeri. Entah apa saat ini yang membuat pikiran Munjab berkecamuk. Nampaknya Munjab sedang mengalami kegundahan hati. Munjab mengingat percakapannya dengan Sabrina Yumiko dua minggu yang lalu.
“Mas Munjab, Bapak ingin Mas jadi PNS”
“Sabrina, Mas tidak berminat jadi PNS”
“Kenapa Mas, ada yang salah dengan PNS?”
“Sabrina, biarkan saja orang lain yang jadi PNS. Mas akan tetap memilih pekerjaan Mas saat ini”
“Bapak dan Ibu tidak suka dengan pekerjaan Mas Saat ini”
“Sabrina, adakah yang salah dengan pekerjaan Mas?”
“Bapak dan Ibu tidak suka Mas bekerja sebagai tukang sampah”
“Mas mengerti bukan Bapak dan Ibu yang tidak suka. Tapi Sabrina malu jika kelak memiliki pendamping hidup tukang sampah. Sabrina malu pada teman-teman jika kelak punya suami bau sampah?”
“Sabrina tidak seperti itu Mas. Kelak, Sabrina akan mencintai Mas Munjab sepenuhnya. Apapun pekerjaan Mas Munjab, Sabrina tetap ikhlas. Asalkan itu pekerjaan itu halal”
“Jika Sabrina masih berat dengan pilihan pekerjaan ini. Lamaran itu akan Mas batalkan”
“Maafkan Sabrina Mas, Bapak dan Ibu itu tidak suka punya menantu tukang sampah”
***
Munjab mengumpulkan beberapa sampah sekitar kontarakkannya. Beberapa bulan ini pekerjaannya hanyalah bergelut dengan sampah. Semenjak lulus dari Teknik Lingkungan UI, pekerjaan Munjab hanyalah bergelut dengan sampah. Munjab sempat melamar pekerjaan sebagai PNS Pemda Jakarta, namun dia batalkan. Menjadi rahasia umum, menjadi PNS harus menggunakan uang sogok. Munjab memilih mundur dari peluang menjadi PNS.
Pekerjaan mengurus sampah adalah pilihan terakhir. Orang Jakarta sangat membenci sampah. Saking bencinya mereka membuang sampah sembarangan. Akhirnya bencana banjir setiap tahun melanda Jakarta. Tidak ada orang yang sedia mengurus sampah. Bagi sebagian orang, mengurus sampah adalah pekerjaan menjijikan. Semenjak kuliah di UI, Munjab telah melakukan riset pengolahan sampah. Riset yang dia lakukan terkait pengolahan dan pemanfaatan sampah bagi lingkungan.
“Munjab ini ada surat”
Lek Kardiman memberikan surat pada Munjab. Saat itu Munjab sedang mengumpulan sampah-sampah yang akan dikirim ke Bekasi. Munjab memisahkan sampah plastik, kertas, botol, dan beberapa sampah bekas makanan. Jika rencana berjalan lancar, Munjab akan mendirikan Pabrik pengolahan sampah di Bekasi. Walapun pabrik itu harus didirikan dari nol, Munjab yakin akan berhasil.
“Surat dari siapa Lek?”
“Tidak ada namanya, mungkin surat kaleng”
Munjab mengamati surat putih yang diberikan oleh Lek Kardiman. Surat itu dikirim tanpa nama jelas. Setelah selesai bergelut dengan sampah-sampahnya, Munjab membaca surat itu. Kenapa harus surat? Kenapa tidak telephon saja? Batin Munjab berkecamuk penuh dengan berbagai pertanyaan. Jaman modern seperti ini masih ada orang suka menulis surat dengan kertas putih? Orang seperti ini, biasanya mempunyai karakter melankolis.
Dear Mas Munjab
Asalamualaikum wr wb
“Mas Munjab, maafkan Sabrina. Terimakasih telah hadir memberikan semangat pada Sabrina. Terima kasih telah mengajarkan Sabrina tentang arti kesabaran. Mas Munjab telah mengajarkan Sabarina tentang arti berbagi kebahagiaan. Mas Munjab hadir mengisi hari-hari Sabrina yang terkadang rapuh. Mas Munjab telah mengisi kebahagiaan hidup Sabrina. Mas Munjab maafkan Sabrina. Hubungan kita harus berakhir sampai di sini. Sabrina harus mengikut kemauan Bapak dan Ibu. Sabrina sudah berusaha menjelaskan pada mereka, tentang pekerjaan Mas Munjab. Namun mereka tidak mau mengerti Mas. Lamaran Mas Munjab pada Sabrina harus selesai di sini. Selesai wisuda, Sabrina akan menikah dengan lelaki pilihan Bapak dan Ibu. Lelaki itu sudah bekerja di Humas Kementerian Lingkungan Hidup Jakarta. Maafkan Sabrina, semoga kelak Mas Munjab mendapatkan jodoh yang terbaik”
Jkt, 10 Desember 2014
Ttd
(Sabrina Yumiko Aini)
Munjab memegang erat surat yang ditulis oleh Sabrina Yumiko. Pernikahan yang dia dambakan kini telah Pupus. Gara-gara pekerjaannya sebagai tukang sampah, cintanya terpenggal. Munjab tidak mengerti tentang keganjilan hidup yang dijalani. Cintanya kini tidak menemukan bentuk yang sempurna. Sabrina Yumiko Aini lebih memilih menikah dengan lelaki lain. Munjab biarkan cinta Yumiko pupus bersama gundukan sampah yang di depan kontrakannya. Kelak, cinta itu akan menemukan bentuk yang lebih sempurna.
*****
Sudah tiga tahun berlalu sejak pernikahan Sabrina. Saat pernikahan itu, Munjab tidak bisa hadir. Undangan untuk menjadi mahasiswa di University of Tokyo diterima Munjab. Saat itu Munjab mendapatkan beasiswa Magister Teknik Lingkungan di kampus tersebut. Selama di Jepang, Munjab juga belajar teknik pengolahan sampah. Munjab ingin membangun pabrik pengolahan sampah di kawasan Bekasi. Cinta Munjab pada Sabrina juga telah lama pupus. Munjab berharap, Kenangan cinta itu telah hilang, menjauh, dan tidak pernah kembali.
“Pak Munjab, ada tamu”
Salah seorang staff Munjab mengatakan jika ada tamu datang. Saat itu sedang meneliti berkas beberapa project pengembangan pabrik yang dia bangun. Pabrik Pengolahan sampah yang dia bangun sudah mulai berkembang.
“Iya, Pak Darmin, persilahkan masuk saja”
Munjab menyebut lelaki setengah baya itu dengan nama Pak Darmin. Dari luar masuklah seorang wanita muda, mengunakan jaket almamater dan dipadu jilbab ungu. Tatapan gadis muda itu? Hidung yang dia miliki? Lesung pipit yang dia miliki, juga sama? Gadis muda menggunakan almamater Universitas Indonesia itu, Sabrina Yumiko Aini? Kenapa wajah gadis itu mirip dengannya?
“Angelina Yumiko Aini. Saya dari kampus Universitas Indonesia. Saya dari jurusan Teknik Lingkungan, tertarik untuk melakukan riset tentang sampah. Ini terkait dengan skripsi saya. Apakah saya bisa bekerja sama dengan pabrik yang Bapak pimpin?”
“Iy, ya..boleh saja” Munjab gugup, bayangan wajah Sabrina kini hadir kembali hadapannya.
“Saya datang ke tempat ini atas rekomendasi Kakak saya. Namanya Sabrina Yumiko”
Munjab pandangi sejenak lesung pipit pada gadis itu. Munjab beristighfar, cinta itu tidak boleh hadir kembali. Cinta yang dulu membawa luka, harus dibuang sejauh mungkin. Mungkinkah bayangan Sabrina Yumiko tergantikan oleh kehadiran Angelina Yumiko? Mungkinkah Angelina Yumiko Aini hadir menyemai cinta lelaki sampah? Hidup ini memang ganjil, bahkan lebih ganjil dari kisah cinta lelaki sampah. Tembang berjudul “Berita Kepada Kawan’ milik Ebit G Ade, masih terus menjadi kesukaan Munjab Suparmin.
The End.