Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Misteri Candi Borobudur

11 Januari 2015   05:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:23 277 1
Kehidupan ini sudah ada yang mengatur. Tidak ada yang dapat dilepaskan dari campur kekuasaan Allah SWT. Bahkan daun yang jatuh dari mohon di malam yang gelap tidak bisa adalah kehendak-Nya. Seluruh kehidupan alam semesta ini berjalan sangat teratur. Bagi orang yang mau berpikir, tentu saja ini adalah bukti nyata kebesaran Sang Pencipta. Manusia hanyalah bagian terkecil kehidupan alam semesta raya. Hingga kelak alam raya ini akan musnah pun sudah ada yang mengatur. Jagad raya dan isinya, hanya bagian kecil dari ciptaan-Nya. Nikmat Allah SWT mana yang tidak kita syukuri?

*****

“Munjab, jadi hari ini berangkat ke Magelang?”

Ardian mengagetkan Munjab yang sedang asyik membaca buku di perpustakaan kampus Universitas Indonesia. Munjab sedang membaca Sejarah pendirian Candi Borobudur. Munjab, memang mengambil studi ilmu politik, namun dia  juga senang membaca buku-buku Sejarah. Bagi dirinya, ilmu sejarah adalah bagian terpenting pembangunan peradaban sebuah negeri. Bangsa yang tidak mau  belajar dari sejarah, bangsa itu pasti akan gagal. Sejarah berisi kisah  kebesaran sebuah peradaban suatu bangsa. Sejarah juga menceritakan bagiamana sebuah bangsa kemudian menemui kehancurannya.

“Jadi, hari Minggu aku berangat. Kamu jadi ikut tidak?

“Aku nyusul saja hari Selasa. Masih ada tugas paper yang belum selesai”

“Begitu yah? Nanti aku kasih alamatnya. Kamu langsung menyusul aku setelah tugas selesai”

“Oke, bos besar”

Munjab dan Ardian adalah seorang sahabat karib. Mereka  memang berbeda fakultas di kampus Universitas Indonesia. Munjab,  salah satu mahasiswa fakultas ilmu sosial ilmu politik. Sedangkan Ardian, salah satu mahasiswa fakultas MIPA. Mereka dipertemukan dalam organisasi Lembaga Dakwah Kampus. Mereka sama-sama terlibat dalam kegiatan yang sering dilaksanakan oleh lembaga dakwah kampus. Bulan ini mereka bermaksud melakukan penelitian ke Magelang. Daerah yang sempat terkena guyuran lahar Merapi, itu tempat yang akan mereka tuju.

****

Hari Minggu, Munjab berangkat sendirian ke Magelang tanpa ditemani Ardian. Setelah selesai dengan papernya Ardian akan menyusul. Munjab hendak melakukan riset tentang sejarah pendirian candi Borobudur. Dalam benaknya masih banyak misteri yang harus dipecahkan. Munjab ingin mengetahui langsung kondisi  daerah tersebut. Beberapa hari ini , media massa juga memberitakan sosok  misterius yang hadir di sekitaran Borobudur. Headline beberapa media Massa menyebutkan ada seorang laki-laki bertubuh tinggi besar terbang di sekitar pelataran Candi. Lelaki itu mengenakan pakaian kebesaran raja Jaman Majapahit. Setidaknya, informasi itu yang dia dapatkan dari pemberitaan media massa. Bagi Munjab, berita itu hanya omong kosong yang dibuat oleh wartawan.

Berita tersebut mungkin hanya cerita tahayul yang dibuat oleh masyarakat. Agar lebih fantastis, media massa membuat headline yang lebih heboh. Media massa memang tidak utuh menampilkan fakta. Terkadang mereka mendapatkan berita yang asal-asalan. Berita-berita tahayul seperti ini memang masih digemari oleh sebagian masyarakat Indonesia. Pada saat ilmu pengetahuan menghendaki pemikiran rasional. Masih ada juga masyarakat berpikiran irasional, mempercayai cerita tahayul.

Munjab masih khusyuk membaca Al Quran di stasiun Tanah Abang. Jam  sudah menunjukkan angka sepuluh malam. Namun kereta Gaya Malam jurusan Jakarta-Magelang-Yogyakarta belum juga datang. Tidak biasanya kereta telat datang sampai larut malam. Tidak ada penjelasan dari manajeman jika kereta akan datang terlambat. Jika kereta tidak datang, Munjab berkeinginan untuk menginap di mushola stasiun. Munjab, bepikir akan lebih baik melanjutkan perjalanan besok pagi. Di dalam stasiun juga sudah mulai sepi. Munjab hanya berteman dengan dingin angin malam. Tengah malam, stasiun kereta Tanah Abang terasa angker.

Bulu-bulu kuduk Munjab berasa agak merinding. Untuk menghilangkan perasaan angker, Munjab khusyuk membaca Al Qur’an. Belum selesai membaca Al Quran satu juz, Kereta Gaya Malam akhirnya datang. Perasaan Munjab lega, tidak jadi menginap di mushola stasiun Tanah Abang. Munjab, memasuki kereta Gaya Baru Malam. Dia mencari nomor kursi 13 gerbong 13 sesuai yang tertulis di tiket yang dia pegang. Isi dalam kereta itu juga hanya beberapa orang. Aneh, tidak biasanya kereta berisi sedikit orang. Munjab hendak menyapa beberapa orang, namun tatapan mereka kosong. Dia urungkan saja niatnya untuk menyapa orang-orang tersebut.

Munjab duduk di kursi no 13 dan urutan gerbong 13. Pikiran Munjab masih menerawang kondisi kereta yang sepi. Kenapa tidak ada pemberitahuan sebelumnya dari Manajemen Kereta? Munjab berdoa dalam hati, memohon perlindungan dari Allah SWT. Dia pandangi tiket kereta yang dia beli malam itu. Dia baca sejenak tentang tiket kereta itu. Munjab terhenyak seketika, ada yang aneh dengan tanggal yang tertulis? Dia kucek matanya sekali lagi untuk meyakinkan. Dalam tiket itu tertulis tanggal 13 Maret 1983. Berarti tiket itu sudah berusia kurang lebih 31 tahun. Bulu kuduk Munjab merinding saat itu juga. Lalu siapa orang-orang yang berada dalam kereta? Tatapan mata penumpang itu sangat aneh. Mereka saling diam tidak berbicara sepatah kata pun. Munjab makin terhenyak, dinding depan tertulis jadwal pemberangkatan kereta tanggal 13 Maret 1983.

Kereta melaju dengan kecepatan tinggi. Munjab masih sedikit bingung dengan kondisi dalam kereta. Matanya mulia berasa mengantuk berat. Seharian ini Munjab memang belum tidur. Munjab hendak memejamkan matanya. Di bawah kolong tempat duduk dia dapati sebuah koran lawas. Dia ambil, hendak membacanya untuk menghilangkan kantuk. Ketika membaca tanggal yang tertulis di koran tersebut dia terkejut. Munjab ingin segera keluar dari dalam kereta. Bagaimana tidak? Tanggal di koran tertulis 14 Maret 1983. Headline koran tersebut tertulis, kecelakan hebat kereta Jakarta-Magelang-Yogyakarta, tanggal 13 Maret 1983. Di sana juga tertulis jumlah korban meninggal sejumlah 200 orang.

*****

Hawa dingin dalam kereta membuat Munjab tertidur lelap. Munjab tidak tahu kondisi yang terjadi di dalam kereta tersebut. Mungkin Munjab terlalu lelah, sehingga cepat tertidur. Al Quran yang dia baca masih belum tertutup. Al Qur’an itu masih terbuka berada di pangkuannya. Orang-orang aneh dalam kereta hendak mendatangi Munjab beramai-ramai. Tatapan mata mereka kosong dan menyeramkan. Melihat Al Qur’an di pangkuan Munjab orang-orang itu hilang seketika. Munjab tidak menyadari kejadian itu. Kereta masih melaju menuju Magelang dengan kecepatan tinggi.

Ketika terbangun, Munjab dapati kereta sudah berhenti. Orang-orang berwajah aneh dalam kereta juga sudah tidak ada. Munjab mengucek matanya, dia lihat ke luar masih sangat gelap. Di stasiun Muntilan Magelang pun masih sangat sepi. Munjab segera keluar dari kereta, entah kenapa dia berasa sangat lapar. Selang 10 menit, kereta itu kembali berjalan menuju stasiun terakhir yaitu Yogyakarta. Munjab bergegas menuju warung Makan yang ada di stasiun. Kebetulan ada seorang wanita yang masih berjaga di warung tersebut.

“Bu, ada soto ayam tidak?”

Munjab bertanya pada seorang wanita penjaga warung. Namun, wanita penjaga warung itu nampak aneh. Tatapan matanya juga aneh, sepertinya dia tidak suka dengan orang asing. Wanita itu masih terdiam, dia membuat sebua soto ayam untuk Munjab. Tetap saja dia tidak berbicara apa-apa. Munjab melahap soto di hadapannya, perutanya yang lapar kenyang seketika. Dia pandangi sekitar Stasiun Muntilan masih sangat sepi. Setelah selesai makan Munjab meninggalkan dua puluh ribu rupiah pada wanita penjaga warung. Munjab bergegas meninggalkan warung tersebut. Tatapan kosong wanita penjaga warung itu, dia lupakan sejenak.

Munjab berharap ada tukang ojek yang sedia mengantarkan ke losmen untuk beristirahat. Setelah beristirahat, jam tiga sore Munjab berencana mendatangi kawasan Candi Borobudur. Al Qur'an kecil itu dia baca kembali. Dalam gelap remang-remang Munjab berusaha membacanya. Al Qur’an kecil itu menjadi teman Munjab di  saat sepi sekalipun. Membaca Al Qur’an membuat hatinya tenang. Hal tersebut sejenak membuat dia lupa kejadian-kejadian aneh beberapa jam yang lalu. Dari seberang rel muncul lelaki setengah baya memakai baju koko putih. Wajah lelaki setengah baya itu tampak bersahaja.

“Mas, hendak ke mana dan dari mana?” Lelaki setengah baya tersebut menyapa Munjab

“Saya Munjab. Pak, saya dari Jakarta hendak ke Borobudur”. Munjab mengenalkan diri pada lelaki setengah baya yang duduk di sampingnya.

“Jam berapa Mas Munjab datang dari Jakarta?”

“Saya naik kereta Gaya Malam, berangkat jam sepuluh Pak”

“Jam sepuluh? Mas, itu tidak mungkin. Kok cepat banget?”

“iya Pak, saya berangkat jam sepuluh malam”

“Mas Munjab, kalau berangkat jam sepuluh malam seharusnya sampai di sini jam delapan pagi. Sekarang jam 12 malam. Tidak mungkin kereta berjalan selama dua jam?”

Munjab tampak bingung mendengar penjelasan lelaki setengah baya tersebut. Dia pandangi jam yang ada di tangannya. Benar, jam masih menunjukkan angka dua belas malam. Munjab kaget dan tidak menyadari kejadian beberapa jam lalu. Keganjilan dan misteri yang tidak dapat di ukur dengan akal sehat. Kereta yang dia tumpangi tadi masih terasa mengerikan.

“Iya Pak, benar ini masih jam dua belas malam”

“Mas Munjab menginap di rumah saya dulu. Besok siang baru melanjutkan perjalanan”

“Boleh Pak, saya berterima kasih atas kebaikan Bapak”

“Nama saya Hariadi. Panggil saja dengan nama Pak Hariadi”

Ternyata lelaki baik hati tersebut bernama Hariadi. Malam itu juga Munjab menginap di rumah Pak Hariadi. Rumah Pak Hariadi cukup sederhana, namun nyaman. Di rumah itu tinggal juga anak Pak Hariadi. Kebetulan anaknya adalah seorang putri yang masih kuliah di Universitas Negeri Yogyakarta. Konsentrasi pendidikan yang diambil adalah Pendidikan Sejarah. Munjab berasa senang,  besok pagi ada seorang yang bisa diajak berdiskusi mengenai sejarah. Munjab merebahkan badannya di kamar belakang. Dia terlelap ketika mendengar suara seorang wanita membaca Al Quran.

Munjab terbangun, jam di tangan menunjukkan angka 4.30 pagi. Munjab bergegas mengambil air wudlu. Shalat subuh dilakukan berjamaah di rumah, sebagai imam adalah Pak Hariadi. Setelah selesai shalat subuh Munjab mengobrol dengan Pak Hariadi. Dia ingin mengetahui tentang misteri lelaki aneh yang sering hadir pelataran  candi Borobudur. Berita lelaki aneh berpakaian raja Majapahit itu menggemparkan para pelaku sejarah.

“Pak, benarkah dengan berita lelaki aneh tersebut?”

“Mas Munjab, jangan percaya dengan berita tahayul itu”

“Tapi berita itu menggemparkan Pak?”

“Berita itu dibesarkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Mereka mencari uang dengan menyebarkan cerita tahayul. Perbuatan seperti itu sangat tercela”

“Bagiamana dengan kondisi masyarakat sekitar candi Pak?"

“Mereka adem ayem. Toh memang berita itu tidak benar. Hanya cerita tahayul tidak bertanggung jawab. Mana ada lelaki besar, terbang di pelataran candi, menggunakan pakaian kebesaran raja Majapahit? Itukan hanya ada dalam cerita dongeng?”

“Bapak benar. Seharusnya kami jeli membaca kejadian tersebut”

“Kalau Mas Munjab masih penasaran? Siang ini datang aja ke Pelataran Candi Borobudur. Silakan tanya pada warga sekitar. Pasti, jawaban mereka sama dengan penjelasan saya tadi”

“Baiklah Pak, siang ini saya langsung ke Candi Borobudur. Mungkin saya di sana dua hari. Saya mohon pamit juga, mungkin sudah tidak mampir ke rumah ini. Terima kasih atas bantuan dan kebaikan Bapak dan keluarga”

Jam sebelas siang Munjab hendak berangkat ke Candi Borobudur. Dia pandangi sejenak rumah tempat tempat dia singggah. Rumah tersebut nampak sepi. Putri Pak Hardian juga tidak banyak bicara. Jika bertatap muka dengan Munjab gadis itu hanya tersenyum. Gadis berjilbab itu tampaknya memang pemalu. Munjab juga tidak berani bertegur sama dengan gadis itu. Sebelum berangkat ke Candi Borobudur, Munjab sempatkan photo dengan mereka berdua. Kelak photo itu akan menjadi kenangan.

Sebelum berangkat, Munjab temukan koran yang sama dengan koran yang dia baca di kereta. Bedanya, koran tersebut ada sedikit bercak darah kering di bagian depan. Munjab sangat kaget melihat koran yang berada di atas lemari tersebut. Munjab pergi ke Magelang hendak memecahkan misteri lelaki di pelataran Candi Borobodur. Kini, dia malah menjumpai misteri yang membuat bulu kuduknya merinding. Semua keganjilan dan misteri tersebut belum mampu dia pecahkan.

*****

Misteri tentang lelaki di pelataran Candi Borobudur, memang tahayul. Munjab telah melakukan penyelidikan sendiri ke hampir seluruh warga sekitar candi. Berita tersebut hanya dibuat oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Demi mendapatkan sejumlah uang mereka menjual berita palsu. Sudah hampir enam bulan Munjab selesai melakukan penyelidikan itu. Berita tentang misteri candi Borobudur tersebut juga telah hilang digantikan dengan berita-berita yang lain.

Munjab tiba-tiba rindu dengan sosok Pak Hariadi dan anak gadisnya. Dia bulatkan tekad untuk liburan ke Magelang lagi. Kali ini dia memilih kereta pagi, untuk menghindari kejadian misterius malam itu terulang lagi. Rindu Munjab benar-benar tidak bisa dibendung lagi. Sesampai di stasiun Muntilan Magelang, Munjab kaget bukan kepalang. Warung tempat dia makan malam itu sudah tidak ada lagi. Dia tanyakan pada lelaki yang duduk di sekitar stasiun.

“Pak, warung soto yang di samping rel, kok tidak ada?”

“Warung yang mana Mas?”

“Warung, sebelah sini Pak?”

“Di sini sudah tidak ada warung Mas, sejak tahun 1983. Tahun itu terjadi kecelakan kereta Magelang-Yogyakarta-Jakarta. Sehingga pinggiran rel harus steril dari pedagang”

Munjab merinding mendengar penjelasan lelaki tersebut. Lalu siapa wanita penjual soto enam bulan yang lalu? Wanita yang enggan berbicara tersebut? Apakah hubungannya dengan kecelakaan kereta tahun 1983? Munjab meminta lelaki tersebut ke rumah Pak Hariadi. Dia ingin meminta keterangan pada dia tentang kecelakaan kereta tahun 1983. Barang kali Pak Hariadi tahu mengenai kecelakaan maut tersebut. Sesampainya di rumah Pak Hariadi, Munjab bertambah kaget. Rumah itu sudah kosong. Rumah itu hanya menyisakan dinding tanpa atap.

“Pak, apa yang  terjadi di rumah ini?"

“Rumah yang mana Mas?”

“Rumah di hadapan kita Pak?”

“Mas, rumah itu milik Pak Hariadi. Rumah ini sudah lama kosong Mas. Hampir 31 tahun rumah ini tanpa penghuni. Pak Hariadi dan putrinya meninggal dalam kecelakan kereta Magelang-Jakarta tahun 1983. Naas, saat itu Pak Hariadi sedang mengantar putrinya untuk liburan ke Jakarta”

Munjab terhenyak dengan misteri yang dia jalani. Dia raih photo yang diambil saat bersama Pak Hariadi dan Putrinya enam bulan lalu. Munjab semakin  kaget, photo itu hanya dia seorang diri. Di belakang Munjab hanya ada sebuah rumah yang telah hancur. Pak Hariadi dan putrinya tidak ada dalam photo tersebut.

Langkah kaki Munjab terhenti, di depan puing rumah. Dia dapati koran berisi berita kecelakaan kereta Gaya Malam jurusan Jakarta-Magelang, 13 Maret 1983. Di sana terpampang photo Pak Hariadi dan putrinya. Misteri Candi Borobur yang dia hendak pecahkan dulu selesai. Kini muncul misteri kecelakaan kereta Gaya Malam Jurusan Jakarta-Magelang tahun 1983.

The End

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun