Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Mahalnya Pendidikan, Merosotnya Calon Pemimpin Bangsa

11 September 2011   00:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:04 332 0
Menggagas dunia pendidikan kita, selalu memancing orang untuk berpendapat, paling tidak seperti memberi tempat bagi siapa saja untuk mengeluarkan uneg-uneg, keluhan, rasa ketidak-puasan, sampai kegeraman. Indikator yang paling tampak adalah semakin tertutupnya kesempatan bagi anak-anak bangsa, terutama mayoritas dari golongan tidak kaya, untuk meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi, katakan bisa lulus sarjana. Kita tahu persis, seberapa banyak golongan tidak kaya kita. Nggak harus pakai data statistik, coba lihat di kebanyakan daerah kita, di kampung kita, terutama di luar perkotaan, kebanyakan mereka adalah golongan tidak mampu.

Biaya Kuliah Era Soeharto Murah

Selalu orang membandingkan dengan era Soeharto, di mana pendidikan dikondisikan dalam harga yang bisa terbeli bagi siapa saja, bagi semua anak bangsa. Terasa banget fairnya. Pendidikan, selain bisa dikenyam oleh siapa saja, yang jelas siapa anak bangsa yang pintar, akan mendapatkan jalan untuk menyelesaikan pendidikannya, untuk menjadi individu yang handal. Waktu saya kuliah di UGM tahun 1989 sampai selesai, biaya SPP hanya Rp 110.ooo,- per semester.

Pendidikan Tinggi Semakin Tidak Terjangkau

Sekarang ini biaya begitu mahalnya, terutama biaya kuliah. Kesempatan bagi untuk kuliah di universitas negeri, semakin tertutup bagi mereka dari kebanyakn ekonomi lemah, dan semakin terbuka bagi mereka yang ber-orang tua mampu (baca kaya). Ironisnya, yang saya dengar, anak yang kemampuannya pas-pasan, kalau tidak mau dibilang tidak memenuhi syarat minimal, bisa tahu-tahu muncul kuliah bareng dengan anak yang memang cerdas, tentu saja orang tuanya kaya (maaf kaya itu relatif, tetapi maksud saya kaya yang bisa  membayar beratus-ratus juta untuk sumbangan kuliah).

Kampus saya dulu di Fakultas Kedokteran UGM, tahun 1989, parkiran kendaraan diisi sepeda motor, itupun hanya dimiliki oleh paling banter sepertiga seluruh mahasiswa, sisanya naik bus umum, bersepeda dan jalan kaki. Beberapa waktu lalu, saya mampir ke kampus saya itu untuk mencari lteratur tesis saya, betapa kaget mata saya. Kampus itu telah menjadi kampus yang sangat bagus, apalagi dibandingkan dengan jaman saya dulu. Yang mau saya ceritakan adalah, sepeda-sepeda motor yang dulu tidak ada lagi, yang ada adalah mobil-mobil terbaru, yang memenuhi sebuah jalan dan area parkir dalam kampus itu. Weiish... borju semua nih mahasiswa sekarang. Wong dulu, dosen-dosen saya saja mobilnya butut-butut.

Akibat

Pendidikan saat ini menurut saya :

1. Keterjangkauannya makin jauh bagi semua rakyat. Ketidak-adilan mengenyam pendidikan semakin nampak.

2. Produk lulusan sarjana nya, lebih tidak peka terhadap keadaan lingkungan (sosial, politik, ekonomi), karena  background mereka sudah tidak mendapatkan tantangan hidup.

3. Calon-calon pemimpin negara, era sekarang adalah era yang sangat sedikit mengenal realita kehidupan, yang ada hanya cenderung menjadi pribadi yang individualistis, materialistis, mungkin semangat nasionalis yang rendah, dan maaf saya cemas mereka akan menjadi pejabat yang korup. Seorang teman mengeluhkan, betapa mahasiswa saat ini, tidak peka dan responsif dengan carut marut bangsa ini. Padahal mahasiswa adalah elemen dinamis, potensial dan berenergi tinggi untuk menjadi garda depan pengontrol bangsa ini. Apakah ini karena mahasiswa yang masuk adalah dari kalangan mampu, yang tinggal duduk manis belajar ?

4. Sementara tunas-tunas muda dari kalangan ekonomi tidak mampu, yang banyak dan berpotensi menjadi pemimpin negara, semakin tertutup mengenyam pendidikan yang tinggi. Sehingga bangsa ini kehilangan kesempatan untuk mendapatkan sumber calon pemimpin bangsa yang bagus.

Setidaknya itu yang terlintas di benak saya pagi ini.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun