Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Maafkan Pak Polisi Kalau Saya Berburuk Sangka

21 Maret 2011   14:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:35 133 0
Berbekal sebuah nama, sebut saja pak Anu oleh seorang teman saya diminta menemui di loket 110. Saya berencana datang lebih awal agar tidak kedahuluan orang lain. Bisa ngobrol berdua, santai , tidak "kemrungsung" dan saya akan ngomong secukupnya  dengan suara klesik-klesik saja.

Jogja diguyur hujan semalam. Jalan-jalan masih basah. Beberapa genangan air tersisa di jalan yang saya lalui. Gerimis ringan kadang  menyaput pagi. Matahari belum menampakkan diri pada jam setengah delapan ini. Walau udara dingin terasa menggigit, orang-orang berhamburan di jalan dengan sepeda, sepeda motor, mobil atau moda angkutan lain untuk menuju ke tempat kerja masing-masing.

Ternyata nyali saya ciut ! Di depan loket 110 itu ada ruang tunggu yang bisa memuat dua puluhan orang. Disediakan kursi yang diatur rapi, ruangan berventilasi cukup luas lewat pintu dan jendela yang dibuka lebar.  Satu set kipas angin yang belum dinyalakan menempel di langit-langit ruangan. Tiga orang yang lebih dulu menunggu di situ agak kaget ketika saya nyelonong masuk ruang tunggu sambil memberi salam selamat pagi. Saya duduk di samping salah satu dari tiga orang itu. Seorang bapak yang sebagian rambutnya memutih, dengan tampilan tampak sehat pada usia sekitar lima puluhan tahun.

"Sudah lama bapak menunggu?" - saya mencoba memecah kebekuan. "Belum. Sekitar sepuluh menit". Saya mengangguk kecil. "Kira-kira jam berapa loket ini buka ya pak?". Bapak yang saya tanya terdiam sesaat. Ada terbersit keraguan di wajahnya. "Mungkin sebentar lagi. Petugas lagi pada apel pagi" - jawabnya dengan nada ramah. Saya mengangguk lebih dalam. Satu dua orang mulai berdatangan. Pada saat loket dibuka, lebih dari separo ruang tunggu itu terisi. Hati saya semakin gundah dengan banyak orang di ruang tunggu itu. Hem !

Saya mencoba tetap tenang.  Sesekali saya lihat tulisan di secarik kertas yang saya kantongi di saku baju: pak Anu. Dari kaca bening di atas loket sebagai pemisah ruang tunggu dengan ruang kerja yang kordennya disibakkan, terlihat  empat orang petugas berseragam polisi  sedang menata dan menyiapkan alat-alat perlengkapan kerja. Saya jadi ragu. Saya kuatkan tekat untuk mendekat pintu terbuka disamping loket untuk bertemu pak Anu. Tapi pak Anu yang mana, saya belum kenal. Dalam benak saya pak Anu seorang sipil, bukan polisi.  Keraguan saya muncul karena takut ditangkap dan dituduh berusaha menyuap ! Kemudian saya digelandang ke ruang pemeriksaan disaksikan puluhan orang yang hadir di situ dengan penuh cibiran.  Saya takut !

Satu-satu orang dalam ruang tunggu itu dipanggil masuk ruang kerja berdasarkan berkas dalam stop map yang ditumpuk di loket saat mereka datang. Bapak yang di samping saya dipanggil nomor urut dua. Sementara saya belum menumpuk berkas di loket karena berkas yang saya miliki baru sebatas foto kopi KTP dan surat keterangan sehat dari dokter umum. Saya ingin bertemu pak Anu dulu. Harapan saya beliau bisa membantu saya mendapatkan SIM C dengan cepat, tidak ribet atas rekomendasi dari teman.

Karena keberanian saya untuk bertemu pak Anu tidak kunjung datang, saya ngeloyor keluar dari ruang tunggu. Saya menelusuri lorong panjang dan melewati beberapa loket yang sepi dari pengunjung. Di ujung lorong, di depan pintu terbuka yang pada kusennya tertempel tulisan "loket 101"  saya berhenti. Agak kagok ketika menengok ke kanan dua orang polisi yang masing-masing sedang memeriksa setumpuk berkas memperhatikan saya. Saya mundur beberapa langkah. Kemudian saya balik kanan untuk langsung meninggalkan  kantor polisi. Sebelumnya saya comot selembar brosur tata cara pengurusan SIM yang dipajang di meja informasi dekat pintu loket 101 itu.

Keesokan harinya saya baru nelpon teman yang ngasih rekomendasi. Saya ceritakan bahwa kemarin saya sudah ke kantor polisi. Saya ceritakan kejadian awal sampai akhir di kantor polisi sepagi kemarin. Namun saya belum berhasil menemui pak Anu. Saya ragu. Saya takut. Teman saya tertawa ngakak. "Biasa saja, jangan takut" - teman saya memberi semangat. "Kalau ditanya dari mana, bilang saja taman pak Dadap. Pak Anu pasti kenal pak Dadap" - sambung teman saya. Saya diam. Saya dengarkan teman saya nerocos ngomong: "Begini, kalau bertemu langsung saja to the point. Minta dibantu mendapatkan SIM C. Ikuti saran-sarannya. Mungkin di loket sekian temui pak ini, di tempat ujian praktek temui pak siapa lagi. Jangan lupa menyelipkan uang seratus lima puluh ribu diamplopi". "Cara ngasih uangnya ?" - saya menyela pembicaraan. "Pakai  stop map, selipkan di situ sekalian kopi KTP dan surat keterangan dari dokter". Saya merasa mantap atas saran teman tadi. "Pak Anu itu polisi atau sipil ?" - pertanyaan saya mengakhiri pembicaraan. "Polisi !" - jawab teman saya. "Hah ?!" saya kaget !

Kedua kalinya datang ke kantor polisi ini saya tidak celinguan lagi. Tidak harus datang pagi-pagi. Kepercayaan diri saya meningkat. Saya langsung menuju ke ruang tunggu loket 110. Tinggal beberapa kursi tersisa di deretan belakang. Saya duduk di salah satunya. Kadang saya berdiri untuk memastikan barangkali pak Anu ada di ruang kerja. Yang saya amati nama yang tertempel di dada pak polisi. Ada setengah jam  saya duduk di ruang tunggu itu. Untuk mengusir kejenuhan saya seling ngobrol dengan seorang ibu setengah baya di samping kiri saya. Lama kelamaan saya sadar, betapa bodoh awak ! Diantara kelebatan  orang  yang dipanggil masuk-keluar ruang itu saya menangkap nama salah satu petugas : B. Anugrah. Mudah-mudahan ini yang dimaksud teman saya pak Anu. Namun bagaimana  menemuinya, sementara orang antri satu-satu dipanggil untuk masuk ke ruangan. Kalau saya nyelonong masuk ruangan langsung menyodorkan berkas ke pak Anu.....?

Saya  tidak mau tersiksa oleh pikiran-pikiran bodoh, keraguan, prasangka buruk dan lainnya. Saya putuskan untuk segera keluar dari ruang tunggu itu. Saya menuju ke loket 101.  Memberi salam selamat pagi kepada petugas  seorang polwan dan seorang polisi di loket itu. Menyodorkan  foto kopi KTP dan surat keterangan sehat dari dokter kemudian saya diberi seberkas formulir di dalam stop map yang harus saya isi. Berkas itu saya kembalikan ke petugas setelah saya isi seperlunya. Diperiksa, saya diminta menunggu sejenak. Tak lama kemudian saya harus ikut ujian tertulis. Saya tergagap. Tiga puluh tahun yang lalu saya pernah ikut ujian serupa. Namum saya tidak ingat soalnya.

Saya nyaris lulus ! Dari tiga puluh soal, jawaban saya yang benar sembilan belas. Syarat lulus minimal harus dua puluh jawaban benar. Saya pasrah. Seminggu kemudian saya harus mengulang. Saya ngeloyor pulang. Pada ujian tertulis ke dua saya baru lulus. Sebelumnya saya belajar kilat dari internet anak saya. Saya tidak ingin gagal. Kejutan-kejutan selalu saya alami untuk mendapatkan SIM C ini. Begitu lulus ujian tertulis langsung harus ikut ujian praktek. Waduh, saya tidak siap. Namun biarlah mengalir saja. Saya ikuti prosedurnya. Saya tidak lulus ujian praktek. Membikin zig-zag diantara tonggak beton saya gagal. Membuat angka delapan lebih mudah. Saya harus mengulang empat hari kemudian. Alhamdulillah, pada ujian praktek ke dua saya lulus, karena saya mempersiapkan diri dengan seksama. Pada malam hari sebelum ujian, di halaman mesjid dekat rumah saya berlatih membuat zig-zag. Botol-botol bekas sirup saya pasang berbaris layaknya tonggak beton seperti di tempat ujian praktek. Pada awalnya banyak gagal, namun saya berusaha terus untuk bisa melakukan dengan sempurna. Pada hari yang sama setelah lulus ujian praktek langsung pengambilan foto. Sebelumnya membayar seratus ribu rupiah di Bank BPD dekat Loket 101. Tak lebih dari sepuluh menit mengantri, foto diambil dan yang sangat mengejutkan dua menit kemudian SIM  C saya sudah di tangan. Saya terpana !

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun