Raja-raja yang memerintah Pakuan Pajajaran adalah:
• Sri Baduga Maharaja (1482 - 1521)
• Surawisesa (1521 - 1535)
• Ratu Dewata (1535 - 1534)
• Ratu Sakti (1543 - 1551)
• Ratu Nilakendra (1551 - 1567)
• Raga Mulya atau Prabu Suryakencana (1567 - 1579)
Pada jaman Raja Surawisesa, Pakuan Pajajaran membuat perjanjian persahabatan dengan Potugis yang tercantum pada Tugu Pajajaran-Portugis, Prasasti Kebon Kopi, dimana Portugis diijinkan untuk membuat gudang dagangnya di Sunda Kalapa, agar Portugis membantu dalam menghadapi Kerajaan Demak. Pada 1527, armada Demak dibawah Sultan Falatehan, panglima asal Gujarat, merebut Banten, Cirebon dan Sunda Kalapa, setelah sebelumnya melumpuhkan Majapahit dan sejumlah kerajaan Hindu lainnya. Wilayah-wilayah tersebut akhirnya juga memeluk agama Islam, serta Sunda Kelapa dirubah menjadi Jayakarta di bawah Banten, yang kemudian lepas dari Pajajaran menjadi Kesultanan Banten dengan Hasanuddin sebagai Sultan dan Syeh maulana Yusuf sebagai putra mahkota. Namun Kerajaan Pakuan Pajajaran tetap bertahan.
Berdasarkan alur cerita Kerajaan Sumedang Larang yang beribukota di Kutamaya, empat bersaudara Panglima Perang Pajajaran yaitu Jayaperkosa, Sanghyang Hawu, Terong Peot dan Nanganan diperbantukan untuk memperkuat dan membawa amanat agar Kerajaan Sumedang Larang meneruskan pemerintahan Pajajaran apabila Pajajaran berakhir. Pangeran Geusan Ulun adalah putra Pangeran Santri, beserta rakyat Sumedang sudah memeluk Islam sehingga tidak menjadi sasaran Demak (Mataram). Namun keempat Panglima yang menjadi tumpuan membuat Raja Sumedang Larang yang merasa juga sebagai calon raja Pajajaran terjun ke kancah peperangan.
Versi lain menyebutkan bahwa Cirebon menyerang Sumedang Larang dikarenakan Permaisuri Cirebon, Harisbaya, lari ke Sumedang untuk dipersunting Pangeran Geusan Ulun yang tampan, putih dan tinggi. Sampai akhirnya Kerajaan Sumedang Larang diserahkan oleh Pangeran Geusan Ulun kepada Mataram dan pemerintahan diteruskan oleh turunannya dari permaisuri Harisbaya menjadi daerah kebupatian. Versi lainnya adalah Pangeran Geusan Ulun adalah putra Sultan Cirebon yang diculik pada saat bayi oleh keempat Panglima tersebut beberapa tahun sebelumnya. Bayi tersebut adalah anak permaisuri yang Putri China, yang kemudian bernama Harisbaya. Harisbaya berusaha menyusul anaknya ke Sumedang Larang. Pangeran Santri yang dititipi ahli waris Pajajaran yang asal Cirebon, mengangkatnya menjadi Raja Anom Sumedang.
Pada 1578, Cirebon, Demak dan Bali menaklukan Sumedang Larang, Pangeran Geusan Ulun terbunuh. Berakhirlah kerajaan Sumedang Larang tanpa memiliki keturunan. Pusat kerajaan dipindahkan ke kota Sumedang yang sekarang dan pemerintahan sementara dipegang oleh Raja Bali sampai akhirnya Sumedang diserahkan kepada turunan Permaisuri Sultan Cirebon sebagai kabupatian pada 1620.
Pangeran Geusan Ulun terbunuh sebelum Pajajaran jatuh. Apakah juga keempat Panglima terbunuh? Namun rakyat percaya bahwa keempat Panglima menghindar ke Selatan, yang oleh sebagian rakyat Jawa Barat bersama-sama dengan Prabu Suryakencana menghilang (tilem) ke dalam hutan Sancang.
Dari catatan sejarah yang tersebar, Demak dipimpin langsung Sultan Agung kembali menyusun serangan terhadap Pajajaran, dibantu oleh Cirebon dan Bali. Saat menghadapi Demak dan sekutunya, Pajajaran diserang dari belakang oleh pasukan Maulana Yusuf, Sultan Banten. Akhirnya Kerajaan Pajajaran berakhir pada tahun 1579. Sultan Maulana Yusuf sendiri menganggap dirinya sah meneruskan kekuasaan Pajajaran, karena merupakan keturunan dari salah satu puteri Sri Baduga Maharaja.
Menurut cerita, sisa dari para perwira (punggawa) Pajajaran lainnya akhirnya mengasingkan diri ke hutan di daerah Lebak, Banten. Keturunan dari perwira itu sekarang biasa kita sebut sebagai orang Baduy.