Marwah Muslim Naloliu
Oleh: Sunaryo Adhiatmoko
Saat tiba, istri Naloliu tergopoh menggelar tikar pandan di halaman rumahnya yang beratap ilalang. Kami bercengkerama tentang hari-hari di Amanuban. Paceklik yang kerap tiba saat kemarau datang, juga musim tanam jagung sekali setahun.
Fragmen kehidupan yang mengingatkan saya, saat datang ke Mogadishu, Somalia, dua tahun lalu. Ada rasa bersalah, kenapa tidak mengunjungi Muslim Naloliu dulu, sebelum ke Mogadishu.
Kenyataannya, di kawasan ujung timur Indonesia, dekat dengan Timor Timur itu, ketimpangannya nyata. Pembangunan tak berjalan, pendidikan tertinggal, kesejahteraan terbelakang dan akses pada keadilan tercekat, oleh pesta pora demokrasi yang menghabiskan triliunan dana, untuk memproduksi sistem korup dan melahirkan koruptor.
“Kami tidak punya cukup jagung untuk menjamu”, lembut Muslim Naloliu beralasan.
“Untuk apa?”
“Bapak dan masyarakat, akan gotong royong bangun rumah kami, walau setetes air kami ingin menjamu”, terang Naloliu.
“Itu tidak wajib, juga bukan syarat?”
“Tidak, Bapak sudah berbuat baik, kami wajib membalas kebaikan Bapak. Tapi, saat ini kami gagal panen jagung. Belum bisa Bapak”, Naloliu bersikukuh.
Sementara bagimu, gratis itu menghancurkan harga diri. Sebaliknya, mereka yang berpendidikan, tak punya urat malu berlaku korupsi. Mereka mengemis proyek untuk ongkos politik, pemilu dan pilkada. Saya pun pamit dari rumah Muslim Naloliu, dengan dada bergemuruh, urat malu, dan hikmah tentang marwah yang hakiki.