Saya suka bahasanya yang penuh kata pengibaratan. Tetapi, lebih dari itu ternyata buku ini menurut saya mengisahkan seluk-beluk kehidupan dalam diri manusia. Semua tokoh baik tokoh berupa manusia maupun yang bukan merupakan pengibaratan dari bagian jiwa dan raga manusia. Tidak jauh beda dengan kisah Laila dan Majnun, yang dibuat oleh penulisnya untuk menggambarkan cinta seorang hamba kepada Tuhannya.
Dalam kisah Rama dan Sinta pun saya pahami demikian. Rama yang berperan sebagai tokoh di pihak kebenaran menggambarkan naluri keaikan manusia, dan Rahwana menggambarkan hati busuk manusia. Sang penulis Sindhunata begitu luar biasa menyusun kata-kata, hampir di setiap kata dan kalimat ada makna yang bisa dipelajari.
Siang malam buku ini saya baca. Seluruh aspek kehidupan manusia ada di dalamnya. Ada satu adegan dalam kisah ini yang menurut saya sama dengan ajaran agama Islam dalam sebuah hadits HR. Tirmidzi no. 3479, dari Abu Hurairah, “Berdoalah kepada Allah dalam keadaan yakin akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai.” Adegan ini adalah ketika Anoman si Kera Putih menawarkan diri untuk menjadi duta Rama menjemput Sinta di Istana Rahwana. Ia bilang akan membawa Shinta kembali sebelum matahari terbenam esok. Prajurit kera marah, Anoman dianggap sombong.
Rama menanyakan kesaktian apa yang dimiliki kera putih ini hingga berani mengatakan akan membawa Sinta kembali dalam waktu satu hari, padahal ia belum tahu dimana istana Rahwana. Jawaban Anoman, "Karena bakti hamba dan keyakinan hamba bahwa Sang Pencipta akan selalu menolong hamba," begitu kurang lebihnya jawaban Anoman. Ia yakin bahwa Yang Maha kuasa akan menolongnya. Anoman selalu berprasangka baik pada Tuhannya. Anoman tidak merasa kuat.
Ajaran tentang hubungan sebab-akibat dalam kehidupan sangat kental dalam cerita ini. Contohnya ketika Subali dan Sugriwa menjadi kera. Keduanya pun menyadari bahwa apa yang mereka alami adalah untuk kebaikan mereka dan kehidupan. Ini juga diajarkan dalam Al Quran. Semua ketetapan Tuhan adalah untuk kebaikan manusia. Ketika ada dewa menghentikan tapa Subali dan memberi beberapa kesaktian, Subali meminta agar dikembalikan menjadi manusia, dewa tersebut menawarkan pada keduanya: mau berubah menjadi manusia tapi berhati kera atau tetap berwujud kera tapi berhati mulia. Keduanya memilih yang terbaik, tunduk pada ketetapan Tuhan mereka.
Memang, manfaat mesti lebih diutamakan daripada gengsi atau rasa jaim. Ketika Subali dan Sugriwa bertemu usai tapanya dihentikan oleh dewa, mereka berbincang-bincang. Keduanya senang karena mendapat penghargaan untuk menciptakan kedamaian. Memang manusia harus bangga bila bisa memberi manfaat, bukan karena mempunyai tampang yang bagus.
Subali bertanya mau tinggal dimana pada Sugriwa, Sugriwa menunjuk gubuk yang terbuat dari kayu, "Inilah istana kita, istana kesabaran jiwa." Subali tersenyum, "Ya istana yang bersih dari nafsu apapun, termasuk nafsu berkuasa. dalam hatilah kebahagiaan sejati bersemayam, nafsulah yang merusak semua kebahagiaan."
Dalam ajaran tasawuf yang pernah saya baca, bahwa manusia yang ingin mensucikan diri harus telanjang dari kehidupan dunia. Dalam diri manusia ada hati dan nafsu yang tidak bisa hidup bersama, jika hati kuat, nafsu mati, sebaliknya jika nafsu kuat maka hati mati.
Seolah-olah kisah ini mengajarkanku tentang seluk-beluk kehidupan di dunia dan Al Quran mengajarkan konsepnya. Begitu pelajaran yang saya dapatkan dari kisah ini, tapi sayang ketika nonton filmnya di youtube banyak pesan yang tidak tersampaikan.
NB: Ini hanyalah pemahaman pribadi saya, bukan ajaran agama. saya bukan seorang ustadz. Menurut saya, manusia yang pandai adalah mereka yang yang bisa mengambil manfaat dari sesuatu bahkan dari sesuatu yang sangat merugikan sekalipun.
Dalam ajaran agama Rasulullah SAW bersabda; “Hikmah itu adalah barang yang hilang milik orang yang beriman. Di mana saja ia menemukannya, maka ambillah.” (HR. Tirmidzi). Artinya kita harus pandai-pandai mengambil hikmah. Kisah ini menguatkan naluri kebaikan saya. Tetapi, petunjuk itu datangnya dari Yang Maha Memberi Petunjuk, sedangkan film, cerita, kisah, buku, kyai, dan seamcamnya hanyalah perantara.