Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Undak Usuk Politik Sunda

22 Juli 2010   02:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:41 637 0
Sunan Gunung Djati-Nampaknya sudah lama diperdebatakan undak usuk kaitannya dengan bahasa, perlu tidaknya undak usuk dipergunakan dalam komunikasi masyarakat Sunda sekarang ketika justru pada saat yang sama bahasa nasional telah mengubah bahasa ibu keseharian terutama di kota-kota besar. Hampir sudah menjadi pengetahuan umum bahwa sejatinya undak usuk yang berkembang dalam pakumbuhan bahasa Sunda adalah sebagai pengaruh dari bahasa Jawa ketika Parahiyangan dikuasai Mataram (Sultan Agung) pada abad ke-17 seperti ditulis para ahli bahasa semacam Ayatrohaedi (1980), Tini Kartini (1977), Husain Widjadjakusumah (1971) atau dalam telaah lebih awal pra kemerdekaan sebagaimana yang ditulis C. Coolsma (1913), DK Ardiwinata (1916), J. Kats dan M. Soeriadirja (1927) dan R. Satjadibrata (1943). Tentu saja Mataram menguasai tatar Pasundan bukan hanya dari sisi fisik saja, namun juga penguasaan epistemologi dalam hal ini bahasa. Sebentuk kolonisasi bahasa untuk mempertahankan kuasa dan wibawa. Ini menunjukkan bagaimana eratnya bahasa relasinya dengan politik. George Orwell pernah menulis, ‘Bahasa politik dirancang untuk membuat kebohongan kelihatan jujur dan pembunuhan nampak sopan’ (2004). Ketika bahasa sebagai lambang paling kentara dari konstruksi budaya yang dibelakangnya terbentang pandangan hidup, cita-cita, gagasan, sistem kepercayaan. falsafah sudah dapat dipengaruhi dan ’dikendalikan’ maka penguasaan itu akan dianggap sebagai satu ’takdir’ yang musti diterima dengan lapang. Politik bahasa seperti ini yang disebut Gramsci sebagai hegemoni atau reifikasi dalam pemaknaan Milan Kundera. Budaya seperti definisi EB Taylor sebagai gugusan hal yang kompleks terbentang mulai urusan pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan serta kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Atau dalam istilah Clifford Geertz budaya sebagai serangkaian cerita mengenai diri kita yang kita ceritakan pada diri kita sendiri. Kita dapat membayangkan bagaimana biasnya cerita budaya itu ketika justru bahasa yang mewadahinya sudah tidak otentik lagi, gagasan yang diriwayatkannya sudah dipenuhi oleh kepentingan-kepentingan politik yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan akar kultural Ki Sunda itu sendiri. Cultural Studies Cultural Studies yang didirikan pada tahun 1964 dengan para penggagasnya semacam Richard Hoggart, Raymond Williams, EP Thompson, dan Stuart Hall minimal dapat mendeteksi penguasaan-penguasaan budaya-bahasa seperti itu. Kalau kita membaca literasi tradisonal Pasundan pra Mataram akan kita temukan bahasa Sunda egalitarian yang sama sekali tidak mencerminkan hierarki dan undak usuk yang rumit. Bahasa yang pada akhirnya menawarkan cermin sosial, politik dan budaya yang juga sangat terbuka, transfaran, tidak heurin ku letah. Rakyat dan raja terbangun dalam sebuah relasi kekuasaan yang basajan dan tanpa sekat yang ketat. Masyarakat dan raja dapat ngadu bako satu meja sehingga tidak perlu lagi melakukan konspirasi untuk memasukkan mata anggaran dana aspirasi yang hakikatnya tidak lebih adalah konstitusionalisasi praktek korupsi. Historiografi tradisional yang dibuat abad 16 seperti Amanat Galunggung, Siksakandang Karesian, atau Carita Parahiyangan dengan jelas berbicara dengan gaya bahasa seperti ini. Inilah yang dalam kajian budaya komunikasi dikatakan dengan ”kumunikasi konteks rendah”, komunikasi yang bruk-brak. Sebaliknya, akan mudah kita temui ragam bahasa yang penuh undak usuk pada literasi pasca abad 17. Seperti dapat dibaca dalam Wawacan Pandjiwulung (Raden Muhammad Musa, 1913), Pangeran Kornel (R. Memed Sastrahadiprawira 1930) Mantri Jero (R. Memed Sastrahadiprawira 1928), Wawacan Purnama Alam (R. Soeriadireja, 1956), Wawacan Rengganis (1957), dan sebagainya yang kita sebut dengan komunikasi konteks tinggi, komunikasi ”heurin ku letah”. Mengimbasi politik Ternyata undak usuk ini bukan sekadar persoalan fenomena kebahasaan yang bertalian dengan urusan rengkuh, lentong, dan pasemon, namun juga mambawa imbas yang sangat besar dalam pergaulan dan relasi politik etnis Sunda sampai saat ini. Sebuah formula politik Sunda yang tidak vokal, kumaha anu dibendo, tidak berani mengambil keputusan dengan cepat, mangga ngiringan wae, someah ka semah (dalam arti negatif), teu payaan (sensitif dan sentimentil). Inilah jawaban dari abennya militansi manusia Sunda sehingga hari ini sulit kita menemukan tokoh nasional yang dapat diperhitungkan yang datang dari Sunda yang secara nominal sebenaranya adalah etnis terbesar setelah Jawa. Menjadi tidak aneh seandianya wacana kepemimpinan nasional setiap Pemilu tidak ada satupun yang datang dari Sunda dengan basis kultural yang kokoh. Inilah yang menjadi bibit buit masyarakat Sunda hanya menjadi bancakan dari sekian banyak partai tanpa orang Sundanya sendiri menjadi bagian penentu di dalamnya bahkan partai-partai baru sekalipun acapkali menjadikan tatar Padjajaran sebagai laboratorium raihan suaranya. Mereka tahu sepenuhnya bahwa Sunda kiwari hanya sekadar merujuk kepada makna geografi dengan sekumpulan manusianya yang serba anomali. Bahkan di kampung halamannya sendiri ki Sunda itu semakin ngarangrangan. Jati ka silih ku junti menjadi fenomena sehari-hari. Latar psikologis seperti ini yang menjadi modal sosial tempo hari Kurtosuwiryo memobilisasi ratusan ribu ’mang karta’ dan ’mang wirya’ untuk antri berada di belakangnya mendukung target polilitk ideologisnya yang nyamuni. Ini pula yang menjadi sababiyah sekian banyak ormas ’garis keras’ menggarap masyarakat Sunda untuk menjadi anggotanya karena mereka faham masyarakat Sunda sedang kehilangan haluan kulturalnya. Haluan kultural yang kian redup yang pada gilirannya akan mengakibatkan seseorang (dan suku) ngagugu terhadap apapun yang dikatakan ’orang luar’ padahal seperti pernah ditulis Haji Hasan Mustapa, seorang filsuf dan sastrawan terkemuka: Lamun jalma kudu ngagugu kabeh kana kahayang batur, tangtu ripuh anu ngagugu ngenah anu digugu//Lamun jalma embung ngagugu kana kahayang batur, tangtu ripuh nu hayang digugu, ngenah nu embung ngagugu//Anu matak rapihna lamun silih gugu, satengah jeung satengah, sakadar henteu matak ripuh salah saurang. Tentu saja situasi seperti ini harus lekas diakhiri. Undak usuk bahasa kalau sepakat dipertahankan maka tidak semestinya mambawa pengaruh psikologis dalam kehidupan sosial politik. Spirit Padjajaran pra Mataram harus lekas ditumbuhkembangkan karena kultur seperti ini nampaknya yang sebanding lurus dengan nilai-nilai rasionalitas demokrasi kekinian. Asep Salahudin, wakil rektor IAILM Suryalaya Tasikmalaya [Kompas Jabar, Rabu, 07 Juli 2010]

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun