Sunan Gunung Djati-Perhatikan kalimat-kalimat berikut ini: “Ia memerhatikannya dengan seksama” “Dewi memedulikan anak-anak jalanan” Kita sering salah kaprah dalam berbahasa Indonesia. Salah kaprah artinya kesalahan yang terus dilakukan, berulang-ulang, dan pelakunya tidak menyadari sebagai kesalahan karena merasa benar dan tidak ada yang mengoreksi. Itulah yang terjadi dalam “budaya berbahasa” kita selama ini. Ya, kita, termasuk saya. Saya juga baru menyadari beberapa kesalahkaprahan itu belakangan ini, sejak menulis buku Kamus Jurnalistik (Simbiosa, Bandung, 2008). Buku-buku saya terdahulu mengandung juga kesalahkaprahan itu. Baca atau perhatikan kembali kalimat di atas, utamanya kata “memerhatikan” dan “memedulikan”. Terasa janggal ‘kan? Padahal, itulah yang benar, sesuai dengan kaidah tata bahasa. Selama ini, kita lebih akrab dengan ejaan yang salah: memperhatikan, mempedulikan. Bahkan, untuk kata “peduli” pun, masih ada yang salah tulis: “perduli” (ada huruf r). Padahal juga, kita juga akrab dengan ejaan yang benar, seperti “memerlukan” (kata dasar “perlu”, bukan “memperlukan”), “memahami” ( “paham”, bukan “mempahami”), “mematuhi” (patuh, bukan “mempatuhi”), dan sebagainya. Aturan mainnya, huruf “p” sebuah kata menjadi luluh, hilang, berganti menjadi “m” jika diawali imbuhan atau prefix “me-”. Selain contoh di atas, berikut contoh-contoh lainnya: percaya – memercayai (bukan mempercayai) patuh – mematuhi (bukan mempatuhi) posisi – memosisikan (bukan memposisikan) paham – memahami (bukan mempahami) perlu – memerlukan (bukan memperlukan) patok – mematok (x mempatok) pacar – memacari (x mempacari) pasrah – memasrahkan (x mempasrahkan) pilih – memilih (x mempilih) puncak – memuncaki (x mempuncaki) pendek – memendekkan (x mempendekkan) pusing – memusingkan (x mempusingkan) perintah – memerintah (x memperintah) punah — memunahkan (x mempunahkan) Anda bisa menambahkan contoh lain. Demikianlah pelajaran bahasa Indonesia kita kali ini. Mari mulai akrabi kata “memerhatikan”, dan “memedulikan”, plus contoh-contoh tersebut. Yang benar memang kadang dianggap aneh atau asing.
Mempunyai, Bukan Memunyai Bagaimana dengan kata “punya”? Apakah ketika berimbuhan me- ditulis “memunyai”. Mestinya begitu, tapi ternyata menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang benar (baku) adalah “mempunyai”. Ada kesan tidak konsisten, namun konon karena akar kata “punya” itu “empunya”. Inilah “persembahan” KBBI tentang kata “punya”: pu·nya 1 v menaruh (dl arti memiliki): ia sudah — uang pembeli sepeda; 2 v memiliki: siapa yg — rumah ini; 3 n milik; yg dimiliki: yg hilang — saya, bukan — Tuan; – kerja berhajat (spt mengadakan perayaan perkawinan dsb); ber·pu·nya v 1 ada yg empunya: harta tidak ~; 2 sudah bersuami (beristri); sudah bertunangan: rupanya dia sudah ~; 3 berada; kaya: anak orang ~; mem·pu·nyai v memiliki; menaruh: perguruan itu ~ lima buah fakultas; mem·pu·nya·kan v 1 ark menjadikan milik; 2 cak mempunyai; ke·pu·nya·an n yg dipunyai (oleh); milik: sekalian itu menjadi ~ kita; yg hilang ~ saya, bukan ~ Tuan (KBBI Online). [
ASM Romli,
Pengasuh Kolom Bahasa Jurnalistik Sunan Gunung Djati yang terbit setiap hari Sabtu]
KEMBALI KE ARTIKEL