Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

(Masih) Kulihat Bening di Matamu (3)

15 Oktober 2014   12:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:57 58 4





“Assalamu’alaikum.. “

“Wa’alaikumsalam.” Sambut si Sul di serambi masjid sambil menyalamiku.

“Gimana kabarnya nih... eee.. dah beberapa hari ini saya tidak melihatmu.”



“Ah, mas Arif saja yang beberapa hari ini tidak sholat tarawih berjamaah di masjid kan?” Si Sul malah menyerangku dengan ledekannya yang membuat aku jadi malu.



“Kemarin sore saya juga ke rumah mas, tapi hanya ketemu mamak, katanya mas Arif belum pulang.” Tanpa komando si Sul bercerita.

“Iya, saya memang beberapa hari ini ada urusan, jadi selalu pulang terlambat ketika maghrib.” Hati-hati kujelaskan pada si Sul.

“O ya mas. Rangkaian Nuzulul Qur’an di masjid Ar Rahman Kauman kali ini ada kegiatan bedah buku Kang Abik lo. Di aula lantai bawah.”

Seksama kuperhatikan Sul memberikan informasi kepadaku.

“Moderatornya juga penulis katanya. Tapi saya kurang tahu siapa. Datang ya mas, nanti bareng. Bonceng saya, ya...?”

Pinta Sul seperti anak kecil saja. Tapi yang jelas aku tahu pasti, bahwa Sul penggemar beratnya Kang Abik. Kegiatan bedah buku ini pasti akan dia ikuti. Meskipun dengan menyisihkan waktu luang diantara kesibukannya sebagai takmir masjid yang mengurusi kegiatan ramadhan ini dari tarawih, TPA, hingga buka bersama remaja masjid.

“Ok..”. sambutku menyetujui.” Tapi kapan nih.. jangan-jangan tabrakan dengan jadwal pekerjaanku.”

Tenang mas, acaranya hari Minggu kok, 20 Juli jam 15.30.



***

Selesai sholat ashar segera saja aku bergegas menuju Masjid. “Sul pasti sudah menungguku.” Gumamku sepanjang jalan menuju masjid. Dan dugaanku benar. Sul sudah melap sepeda motor kebanggannya. Sepeda motor tahun 90an warna merah bertangki seksi.. hehe...

“Alhamdulillah... Mas Arif akhirnya datang juga”.

“Sebentar ya Mas, saya selesaikan dulu.”

“Siiipp...”

Tak berapa lama, jalan beraspal menuju Ar Rahman kami susuri. Banyak sekali para pedagang berjualan di pinggir-pinggir jalan. Menjajakan penganan khas ramadhan, ada kolak, es buah, es campur, lengkap pokoknya. Ramadhan mubarak. Membawa berkah untuk semua umat. Mereka yang biasanya tidak berjualan akhirnya bisa mengais rejeki di bulan ramadhan. Mereka yang mampu biasanya masak sendiri karena ramadhan akhirnya membeli juga. Saling membutuhkan. Keyakinanku rahmad Allahlah yang menjadikan semua ini.

Aula sudah penuh, kursi paling depan sudah terisi, tinggal bagian tengah ada satu kursi, sisanya di bagian belakang.

“Wah.. mas mungkin mereka tadi sholat ashar di sini ya mas, jam segini ruangan sudah penuh.” Cerocos Sul.

Iya mungkin Sul” sergahku mengiyakan sambil mata mencari-cari tempat duduk yang mungkin bisa kami duduki berdua tanpa terpisah.

“Silakan mas, sebelah sini.” sapa ramah seorang laki-laki berkopiah putih dan berkoko putih pula.

“Terima kasih.”

Dengan tenang kutunggu acara dimulai. Masih lima menit lagi acara dimulai. Tapi sepertinya si Sul semakin gelisah saja. Dia mungkin tidak sabar menunggu idolanya datang dan duduk bicara di panggung yang berada di depan kami.

“Mohon perhatian. Peserta bedah buku yang masih berada di luar dimohon segera menempati kursi yang tersedia di ruang aula, karena acara akan segera dimulai, terima kasih”

Tak berselang berapa lama. Diiringi sholawat badar, seorang lelaki paruh baya berjenggot tak begitu panjang, berkacamata dengan kopiah khasnya, koko warna coklat keabuan serta jas hitam dipadu dengan celana hitam tampak serasi. Dialah Habiburrahman El Shirazy sang penulis best seller Ayat-ayat cinta. Di belakangnya seorang perempuan bergamis biru toska dengan jilbab menutup sebagian tubuhnya berjalan mengiringi.

Subhanallah... bergetar tubuhku. Jantungku berdegup lebih kencang. Tanganku dingin. Perasaanku tidak karuan.

Sul yang berada di sebelahku tak mempedulikanku. Dia sibuk dengan pandangan matanya yang tidak mau beralih. Melihat ke depan. Memperhatikan dengan seksama idolanya, Kang Abik.

***

Niiit..niiit...niiit...

Pelan namun pasti. Seolah tak mau kalah dengan bunyi jarum jam di ruangan ini. Sebuah alat yang tak semua orang ingin memakainya. Alat penyambung nyawa manusia. Andai itu terputus, putus sudah semua amalan kehidupan manusia. Kecuali tiga hal pastinya. Ilmu yang bermanfaat, doa anak yang sholeh dan amal jariyah.

.

.

Niiiiiiiiittttttttt.....

“Astagfirullahal’adim... Allahuakbar... Ya Allah apa yang harus kulakukan? Mega, Mega. Bangun... susteeeerrrrr... tolongg... neeeetttt....neeetttttt....”

Kreeetttt....

“Assalamu’alaikum... Maaf bapak, ibu, saya periksa dulu pasiennya. Silakan bapak ibu keluar ruangan dulu.”

Beringsut kami ke luar ruangan.

Astagfirullahal’adzim... ternyata aku hanya mimpi. Ya Allah berikan kekuatan kepadaku untuk menghadapi semua ini. Berikan kekuatan kepada Mega, untuk melanjutkan hidupnya kembali. Berikan kesempatan kedua bagi kami untuk menjalani salah satu bentuk ibadah kepadaMu.

21.37

Memang mimpi dan seperti hanya mimpi.

Jelas terlihat tadi di atas panggung. Menjadi moderator penulis terkenal. Mega, gadis bergamis biru. Gadis yang pernah dan selalu singgah di hatiku. Waktu hujan hari pertama puasa ramadhan tahun ini tak sengaja kutemui di depan rumah makan padang. Cerdas dan anggun menahkodai acara bedah buku. Waktu awal hingga usai acara, tak satupun peserta beringsut dari tempat duduknya. Kang abik memang magnet bagi siapapun yang mendengarkan segala ucapannya. Lembut dan penuh ilmu.

Usai acara kutunggu Mega di depan aula. Berharap dia melewati koridor samping aula menuju ke luar masjid. Benar. Keberuntungan masih berpihak padaku. Gadis dengan ransel hitam berjalan menuju arah jalan raya. Ragu aku menyapanya. Takut dia akan marah atau tidak mengenalku lagi. Mengekor aku di belakangnya. Megapun mantap berjalan.

Ciiiiiiiiiiiiiiiiiiiitttttt..... duaarrrrrr...

“Astagfirullahal’adzim... innalillahi wainailaihi rojiun..”

“Mega...!!!”

Berlari secepat kilat aku menuju arah mobil yang menabrak gapura masjid. Tempat Mega berdiri. Aku terkesiap. Gamis biru itu berlumuran darah. Isi tas ransel hitam yang dia bawa berhamburan.

Ya Allah.. apa yang terjadi. Andai dan andai saja. Tadi aku menyapa, pasti hal ini tidak akan terjadi. Mobil itu pasti tak akan menabrak Mega. Gadis yang selalu aku impikan.



***

Sepuluh Dhulhijah telah lewat. Mata gadis itu masih tertutup.

Niiit... niiit... niiit... hanya itu teman setianya.

Sesabar dan sesetia aku duduk di samping pembaringannya. Sekali dua puluh empat jam, dua kali hingga kini sudah berapa hari tak mampu kuhitung lagi. Langkah kakiku selalu panjang menuju sendu ruanganmu tanpa alunan simpony menyejukkan. Hanya alunan ayat suciNya mampu aku berikan untukmu. Air mata itu melegakanku. Ketika aku menatapmu. Meskipun remuk redam dalam hatiku. Tapi aku harus kuat untukmu. Aku akan ada untuk hidupmu yang kedua.

.

.

Kembali sunyi

Maafkan Arif mak, usaha untuk mengajak pulang seorang mantu belum bisa Arif penuhi.

***



Sudut ICU, 18 Dhulhijah 1435 H

Umi Azzurasantika

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun