Dalam laporan hasil auditnya kepada DPR, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan ada pelanggaran hukum, ada rekayasa, dan ada penyalahgunaan wewenang dan jabatan dalam pengucuran dana talangan (bail out) sebesar lebih dari Rp6,7 triliun kepada Bank Century, sehingga menimbulkan potensi kerugian negara.
Setelah melakukan pemeriksaan demi pemeriksaan terhadap saksi dan ahli, termasuk Wakil Presiden Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Pansus juga sudah menemukan banyak kejanggalan dan pelanggaran dalam kebijakan bail out Century tersebut. Rancangan rekomendasi Pansus pun sudah mengerucut ke dua nama yang dinilai paling bertanggung jawab dalam skandal Century: Boediono dan Sri Mulyani! Bahkan, kini Pansus juga telah mengantongi nama pihak-pihak yang diduga ikut menikmati aliran dana dari Century.
Anggota Pansus Century dari Fraksi PDI Perjuangan Prof. Hendrawan Supratikno menyatakan, ada dua dugaan terkait penyelamatan dan penggunaan dana yang diterima Bank Century. Pertama, penyelamatan dilakukan karena ada kepentingan dari deposan besar di bank itu. Kedua, kepentingan dari deposan besar ini terkait dengan pembiayaan kelompok politik tertentu. Tanpa membuka aliran dana fasilitas pembiayaan jangka pendek (FPJP) dan bail out Bank Century, sulit untuk membuktikan benar-tidaknya kedua hipotesis itu.
Menurut Hendrawan, tidak tertutup kemungkinan ada partai politik yang sakarang ada di Pansus menerima dana dari Century. Jika ini benar, semua pihak seharusnya jujur dan mau mengakui. Tapi, menurut saya, implikasinya juga tidak ringan: parpol tersebut bisa dianulir perolehan suaranya pada Pemilu 2009 jika terbukti menerima dana haram. Jika dana haram itu juga mengalir ke capres-cawapres tertentu, maka keikutsertaan mereka dalam Pilpres 2009 juga bisa dianulir. Ini bisa menimbulkan problem ketatanegaraan yang cukup pelik. Tapi apa boleh buat, kebenaran dan keadilan harus ditegakkan.
Ketua Fraksi Partai Demokrat (FPD) DPR Anas Urbaningrum yang juga anggota Pansus Century menyatakan, “Kami ingin aliran dana bisa diungkap dengan terang. Ini adalah salah satu bagian yang penting.” (Kompas, Minggu 31 Januari 2010 halaman 1). Kita semua, saya kira, juga sependapat dengan Anas.
Dalam kasus Bank Century, ada dua aliran atau penggunaan dana dari bank itu yang menjadi pertanyaan publik. Pertama, data tentang aliran dana FPJP yang diterima Bank Century pada 14-18 November 2008 sebesar Rp821,33 miliar. Kedua, data penggunaan dana bail out sebesar Rp6,7 triliun yang diterima Bank Century antara 24 November 2008 dan Juli 2009.
Pansus masih punya waktu untuk membuka data aliran dana dari Bank Century, karena waktu kerjanya hingga 4 Maret 2010. BPK juga bersedia menyerahkan data tentang aliran dana itu pada Februari ini. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bahkan sudah menyerahkan data tentang aliran dana ini kepada Pansus pada Jumat (29/1/2010) lalu ketika Pansus menggelar rapat konsultasi dengan BPK dan PPATK. Menindaklanjuti rapat konsultasi itu, Pansus pun mengirimkan surat ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat meminta penetapan izin memperoleh dokumen terkait kasus Century. Dokumen yang diminta terkait rapat-rapat Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) di mana Sri Mulyani menjadi ketua dan Boediono anggota, serta data aliran dana.
Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak hadir dalam rapat konsultasi itu meskipun diundang, dan ini patut disesalkan mengingat MA mau hadir saat diundang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Istana Bogor, Jawa Barat, Kamis (21/1/2010), bersama lima pimpinan lembaga tinggi negara lainnya, yakni Ketua MPR HM Taufiq Kiemas, Ketua DPR Marzuki Alie, Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman, Ketua BPK Hadi Purnomo, dan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD. Mengapa MA ketika diundang DPR tidak mau hadir, sementara ketika diundang SBY mau hadir? Apakah lembaga yudikatif ini telah terkooptasi oleh eksekutif? Ini bisa melanggar prinsip trias politika di mana eksekutif, legislatif dan yudikatif mestinya melakukan check and balance.
Salah satu fraksi di Pansus Century mencatat, sekurang-kurangnya ada 58 pelanggaran dalam skandal Century, mulai dari merger (penggabungan), pemberian FPJP, hingga bail out. Bank Century adalah hasil merger dari tiga bank, yakni Bank Pikko, Bank Danpac, dan Bank CIC. Kini Bank Century telah berganti nama menjadi Bank Mutiara.
Kembali ke soal pedang bermata dua, Fraksi Partai Golkar (FPG) DPR berpendapat, ada dua kemungkinan rekomendasi fraksi itu terkait skandal Century. Pertama, merekomendasikan proses penegakan hukum oleh KPK. Kedua, merekomendasikan agar Wapres Boediono diproses secara konstitusional. Tapi proses penegakan hukum itu hanya boleh pada pejabat di bawah presiden dan wakil presiden. Ketika presiden dan wapres diduga terlibat, maka tidak boleh ke KPK, tetapi harus melalui proses konstitusi.
Jika rancangan rekomendasi ini benar-benar menjadi sikap final FPG, maka akan menimbulkan ambiguitas. Mengapa untuk pejabat setingkat menteri ke bawah bisa diproses secara hukum, tetapi untuk pejabat setingkat wapres dan presiden prosesnya hanya secara konstitusi? Proses konstitusi ini bisa ditafsirkan sebagai pemakzulan, karena jika nanti presiden dan wapres terindikasi terlibat, maka hak angket akan ditindaklanjuti dengan hak menyatakan pendapat, kemudian hak menyatakan pendapat ini dibawa ke MK sebelum ke MPR.
Apakah sikap sementara FPG ini tidak bertentangan dengan asas equality before the law (kesetaraan di depan hukum)? Apalagi Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Kalau hanya pejabat setingkat menteri yang bisa diproses secara hukum, maka anekdot bahwa hukum itu ibarat pedang bermata satu yang hanya tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas, akan kian menemukan kebenarannya.
Ibarat pedang, maka hukum seharusnya adalah pedang bermata dua, yang tajam ke bawah tetapi sekaligus tajam ke atas. Kalau memang ada indikasi pelanggaran pidana dalam kasus Century, maka siapa pun tak bisa mengelak, baik Menteri Keuangan Sri Mulyani, Wakil Presiden Boediono, maupun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Mereka harus diproses secara hukum. Ini sesuai prinsip equality before the law. Dalam konteks ini, Pansus Century dan KPK harus berjalan secara simultan dan bersinergi, dan keduanya pun bisa saling mengawasi dan melengkapi. Sementara Pansus bekerja, KPK juga harus bertindak cepat menyelidiki indikasi pidana dalam bail out Bank Century, dengan memeriksa Sri Mulyani dan Boediono. Proses politik di DPR adalah satu hal, sementara proses hukum di KPK adalah hal lain. Namun keduanya bisa saling melengkapi.
Tegakkan hukum, kebenaran, dan keadilan, kendati langit mungkin akan runtuh.