Dalam perjalanan pulang bersama sahabat saya, tiba - tiba handphone saya berdering, ada panggilan dari orang nomor satu di daerah ini. Dalam sambungan telephone itu, beliau minta untuk menemuinya di rumah salah satu mantan Camat di seputaran Wae Nakeng.
Permintaan untuk ketemu ini, sebulan setelah saya menolak tanda tangan rekomendasi izin usaha salah satu pengusaha di daerah ini.
Dalam hati saya, ini pasti berurusan dengan pengusaha yang meminta rekomendasi saya beberapa waktu lalu. Ketika saya bercerita dengan teman saya, dia malah menyarankan saya untuk temui saja.
Dugaan saya ternyata benar, sesampainya dirumah mantan Camat, disana sudah ada pengusaha yang sudah siap dengan dokumen - dokumenya.
Orang nomor satu ini mengawali diskusinya soal pembangunan daerah, arah kebijakan daerah lima tahun kedepan, serta diskusi dengan berbagai macam tema. Diskusinya cair dan mengalir, maklum dulu sama - sama satu tim dalam suksesi Pilkada.
Diujung pembicaraan, beliau meminta saya untuk menandatangani rekomendasi izin usaha pengusaha ini. Dengan segala hormat dan argumentasi saya menolaknya.
Saya sampaikan, bagi saya tanda tangan itu sangat mudah, yang terpenting adalah prosesnya melalui musyawarah dengan warga. Jika warga saya menyetujuinya, saya pun pasti menyetujuinya.
Sayapun menyarankan, agar mereka datang dan temui orang yang dituakan di Desa. Saya juga berkelakar, kalo jalan menuju desa di aspal, ini memudahkan saya untuk membangun argumentasi dengan warga untuk mendapat persetujuan mereka.
Usai diskusi dirumah mantan camat itu, hati saya berkata, ini saya sedang menghadapi tembok besar. Kedepanya, saya pasti akan head to head dengan tembok besar ini, atau melawan kaki tanganya di Desa.