PEMBAGIAN HADITS SECARA KUALITAS
Â
Â
Disusun oleh: Siti Nur Azizah, Elok Anugerah Gusti dan Achmad Sulthan Nafi'
Â
Â
Â
AbstrakÂ
Seorang muslim harus belajar untuk mengatasi bahwa hadis Nabi SAW sebagai panduan hidup setelah Al-Qur'an. Hukum-hukum manusia yang tidak ditentukan oleh hukum, bagaimana cara mengamalkannya, tidak dijelaskan dalam ayat Al-Qur'an secara mutlak dan jelas, hal ini membuat para mukmin menyadari perlunya mencari solusi dalam masalah ini melalui al-hadis. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan jenis penelitian yang digunakan adalah studi kepustakaan (library research). Tujuan dari penelitian ini agar pembaca dapat mempelajari dan memahami hadits dari segi kualitasnya yaitu hadits shohih, hadits hasan dan hadits dhoif yang ditinjau baik dari definisi, syarat-syaratnya, ciri-cirinya dan contohnya.
Kata kunci: Hadits, Sahih, Hasan, Dhaif.
      Â
A. Pendahuluan
   Hadits merupakan sumber ajaran Islam yang kedua telah dibukukan pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, khilafah kelima Bani Umayyah. Sedangkan sebelumnya hadits-- hadits Nabi SAW masih terdengar dalam ingatan para sahabat untuk kepentingan dan pegangan mereka sendiri. Umat Islam di dunia harus menyadari bahwa hadits Rasulullah SAW sebagai pedoman hidup yang kedua setelah AlQuran. Tingkah laku manusia yaang tidak ditegaskan ketentuan hukumnya, cara mengamalkannya, tidak dirinci dengan ayat AlQuran secara mutlak dan secara jelas, hal ini membuat para muhaditsin sadar akan perlunya mencari penyelesaian dalam hal tersebut dengan al-hadits.
   Dalam meneliti kekuatan hadits serta kelemahan hadits serta kelemahan hadits dan untuk dijadikan hujjah hukum, serta untuk mengamalkan Hadits, perlu difahami hadits--hadits yang berkembang baik dari segi kwalitas mapun kwantitas. Dalam makalah ini penulis akan membahas ; hadits shahih dan hasan, syaratnya, macam--macamnya dan contohnya, serta Hadits Dhaif ( dari sudut sandaran Sanadnya), dhaif dari sudut perawinya serta kehujahan hadits shahis dan hadits hasan. Terakhir akan ditutup dengan beberapa kesimpulan.
Â
B. Hadits Shahih
1. Pengertian Hadits Shahih
      Kata shahih menurut bahasa dari kata shahha, yashihhu, suhhan wa shihhatan wa shahahan, yang menurut bahasa berarti yang sehat, yang selamat, yang benar, yang sah dan yang benar. Para ulama biasa menyebut kata shahih itu sebagai lawan kata dari kata saqim (sakit). Maka hadits shahih menurut bahasa berarti hadits yang sah, hadits yang sehat atau hadits yang selamat.
      Hadits Shahih didefinisikan oleh Ibnu Ash Shalah, sebagai berikut :
     "Hadits yang disandarkan kepada Nabi saw yang sanadnya bersambung, diriwayatkan leh (perawi) yang adil dan dhabit hingga sampai akhir sanad, tidak ada kejanggalan dan tidak berillat".
      Ibnu Hajar al-Asqalani, mendefinisikan lebih ringkas yaitu :  "Hadits yang diriwayatkan oleh orang--orang yang adil, sempurna kedzabittannya, bersambung sanadnya, tidak berillat dan tidak syadz".
      Dari kedua pengertian di atas maka dapat difahami bahwa hadits shahih merupakan hadits yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sanadnya bersambung, perawinya yang adil, kuat ingatannya atau kecerdasannya, tidak ada cacat atau rusak.
Â
2. Syarat -- syarat Hadits Shohih
Adapun syarat agar suatu hadits dapat dikatakan shahih, apabila telah memenuhi lima syarat :
Sanadnya bersambung
Maksudnya adalah setiap rangkaian perawi dalam sanad tersebut memiliki hubungan guru dan murid. Hal ini bisa diketahui dengan melihat biografi masing-masing rawi di kitab, jurnal atau buku lainnya. Biasanya dicantumkan nama guru dan muridnya, namun apabila tidak disebutkan bisa juga diketahui dengan melihat perjalanan ilmiah atau tahun wafatnya.
Tidak ada syaz
Ada banyak pengertian syaz, di antara pengertian tersebut sebagian mengatakan, syaz adalah periwayatan seorang perawi tsiqah yang bertolak belakang dengan periwayatan perawi yang lebih tsiqah darinya. Ada juga yang mengatakan syaz adalah sebuah riwayat yang maqbul (diterima) bertentangan dengan periwayatan yang lebih diterima/baik dari periwayatannya. Dari dua pengertian tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa syaz adalah kondisi sebuah hadis yang bertentangan dengan yang lebih baik kualitasnya dari hadis itu sendiri.
Tidak ada illat
Illat adalah cacat yang terdapat dalam sebuah kesalahan yang tidak disengaja. Untuk mengetahui illat dalam sebuah hadis adalah dengan cara membandingkan antar periwayatan yang tsiqah.
Perawinya 'adil
Imam Ibnu Hajar mengatakan perawi yang adil adalah perawi yang menjaga ketakwaan dan menjauhi dosa kecil. Artinya orang 'adil adalah orang yang senantiasa menjauhkan diri dari perbuatan dosa atau yang mengikuti hawa nafsunya. Ada lima syarat perawi disebut 'adil, yaitu: (1) Muslim; (2) Menjauhi perbuatan fasiq; (3) bukan orang yang teledor; (4) mukallaf (balig dan berakal); (5) menjaga muru'ah. Muru'ah di sini artinya sangat lokalistik, sesuai dengan ada dan kebiasaan daerah perawi hidup.
Perawinya dhabith.
Dhabit ada dua jenis dhabith shadr dan dhabit kitab. Yang dimaksud dengan dhabit shadr adalah kuat hafalannya. Ukuran kuat hafalannya adalah ia yakin akan apa yang dia ingat dan apabila diminta untuk menyebutkan dia tidak butuh bantuan lainnya, seperti buku. Sedangkan dhabith kitab adalah tulisan yang benar-benar dijaga oleh penulis dan itu ditulis langsung dari asalnya.
3. Pembagian Hadits Shahih
Para ulama ahli hadits membagi hadits--hadits menjadi dua macam yaitu :
a. Hadits Shahih Li-Dzatih
Ialah hadits shahih dengan sendiriya, artinya hadits shahih yang memiliki lima syarat atau kiteria sebagaimana disebutkan pada persyaratan di atas, atau hadits shahih adalah :
"hadist yang melengkapi setinggi-tinggi sifat yang mengharuskan kita menerimanya"
Dengan demikian penyebutan hadist shahih li dzatih dalam pemakaiannya  sehari-hari pada dasarnya cukup memakai sebutan dengan hadist shahih.
Adapun contoh hadist Li-dzatih:
: : ( : )
"Dari Ibnu Umar ra. Â Rasulullah SAW bersabda: "Dasar (pokok) Islam itu ada lima perkara : mengakui tidak ada tuhan selain Allah dan mengaku bahwa Muhammad adalah Rasul Allah , menegakkan Sholat (sembahyang), membayar zakat, menunaikan ibadah haji dan menunaikan puasa dibulan Ramadhan" (HR. Bukhari dan Muslim).[1]
Â
Hadist Shahih Li-Ghairih.
Yang dimaksud dengan hadist Li-Ghairih adalah Hadist yang keshahihannya dibantu adanya keterangan lain. Hadist pada kategori ini pada mulanya memiliki kelemahan pada aspek kedhabitannya.Sehingga dianggap tidak memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai Hadist shahih. Contoh hadist shahih LiGhairihi :
: : " "
Artinya : "Dari Abu Hurairah Bahwasahnya Rasulullah SAW bersabda: "sekiranya aku tidak menyusahkan ummatku tentulah aku menyuruh mereka bersunggi (menyikat gigi) disetiap mengerjakan Sholat."(HR. Bukhari dan Tirmidzi)
Â
Kehujjahan Hadist Shahih
Para Ulama sependapat bahwa hadist ahad yang shahih dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan syariat islam, namun mereka berbeda pendapat, Apabila hadist kategori ini dijadikan untuk menetapkan soal-soal aqidah.
Perbedaan di atas berpangkal pada perbedaan penilaian mereka tentang faedah yang diperoleh dari hadist ahad yang shahih, yaitu apakah hadist semacam itu memberi faedah qothi sebagaimana hadist mutawatir, maka hadist-hadist tersebut dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan masalah-masalah aqidah. Akan tetapi yang menganggap hanya member faidah zhanni, berarti hadist-hadist tersebut tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan soal ini.
Para ulama dalam hal ini berbeda pendapat, sebagai berikut :
Pertama : menurut sebagian ulama bahwa hadist shahih tidak memberi faidah qathi sehingga tidak bisa dijadikan hujjah untuk menetapkan soal aqidah.
Kedua : menurut An-Nawawi bahwa hadist-hadist shahih yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim memberikan qaidah qathi.
Ketiga : Pendapat Ibn Hazm, bahwa semua hadist shahih memberikan faidah qathi, tanpa dibedakan apakah diriwayatkan oleh kedua ulama di atas atau bukan jika memenuhi syarat ke shahih-hannya, adalah sama dalam memberikan faidahnya.
Â
C. Hadist Hasan
Pengertian Hadist Hasan
Menurut pendapat Ibnu Hajar, "Hadist hasan adalah hadist yang dinukilkan oleh orang yang adil, yang kurang kuat ingatannya, yang muttasil sanadnya, tidak cacat dan tidak ganjil."[2]
Imam Tirmidzi mengartikan hadist hasan sebagai berikut : "Tiap-tiap hadist yang pada sanadnya tidak terdapat perawi yang tertuduh dusta (pada matan-nya) tidak ada kejanggalan (syadz) dan (hadist tersebut) diriwayatkan pula melalui jalan lain".[3]
Dari uraian di atas maka dapat difahami bahwa hadist Hasan tidak memperlihatkan kelemahan dalam sanadnya kurang kesempurnaan hafalannya. Disamping itu pula hadist hasan hampir sama dengan hadist shahih, perbedaannya hanya mengenai hafalan, di mana hadist hasan rawinya tidak kuat hafalannya.
Â
Syarat-syarat Hadist Hasan
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi suatu hadist yang dikategorikan sebagai hadist hasan, yaitu:
Para perawinya yang adil, Ke-Dhabith-an perawinya dibawah perawi Hadist shahih, Sanad-sanadnya bersambung, Tidak terdapat kejanggalan atau syadz dan Tidak mengandung  illat.
Â
Pembagian Hadist Hasan
Para ulama hadist membagi Hasan menjadi dua bagian yaitu :
Hadist Hasan Li-Dzatih
Yang dimaksud hadist hasan Li-Dzatih adalah hadist hasan dengan sendirinya, yakni hadist yang telah memenuhi persyaratan hadist hasan yang lima. Menurut Ibn Ash-Shalah, pada hadist hasan Li-Dzatih para perawinya terkenal kebaikannya, akan tetapi daya ingatannya atau daya kekuatan hafalan belum sampai kepada derajat hafalan para perawi yang shahih.[4] Contoh Hadist Hasan Li-Dzatih adalah sebagai berikut :
" "
Artinya: "Barang siapa menuntut ilmu pengetahuan agar bersaing dengan para ulama, atau agar dipuji orang-orang bodoh, atau agar mendapatkan pandangan orang-orang terhadap dirinya, maka dia telah cukup dengan ilmunya untuk masuk neraka." (HR. Abu Dawud)
Hadist Hasan Li-Ghairih
Hadist Hasan Li-Ghairih adalah hadist yang sanadnya tidak sepi dari seorang mastur-tak nyata keahliannya, bukan pelupa yang banyak salahnya, tidak tampak adanya sebab yang menjadikannya fasik dan matan hadistnya adalah baik berdasarkan pernyataan yang semisal dan semakna dari sesuatu segi yang lain".[5]
Hadist Hasan Li-Ghairihi ialah Hadist Hasan yang bukan dengan sendirinya, artinya Hadist yang menduduki kualitas Hasan, karena dibantu oleh keterangan Hadist lain yang sanadnya Hasan. Jadi Hadist yang pertama itu terangkat derajatnya oleh Hadist yang kedua, dan yang pertama itu disebut Hadist Hasan.
Contoh Rasulullah SAW, bersabda :
" "
Artinya: Hak bagi seorang Muslim mandi di hari Jumat, hendak mengusap salah seorang dari mereka wangi-wangian keluarganya, jika ia tidak memperoleh airpun cukup dengan wangiwangian".(H.R.Ahmad)
Hadist dapat menjadi Hadist Hasan Li-Ghairih, karena dibantu oleh Hadist yang lain semakna dengannya atau karena banyak yang meriwayatkannya.
c. Kehujjahan Hadist Hasan
Sebagaimana Hadist Shahih, menurut para ulama ahli Hadist, bahwa Hadist Hasan, Â baik Hasan Li-dzatihi maupun Hasan Li-Ghairihi, juga dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu hukum, harus diamalkan. Hanya saja terdapat perbedaan pandangan diantara mereka dalam soal penempatan Rutbah (urutannya), yang disebabkan oleh kualitasnya masing-masing.
Â
D. Hadist Dhaif
Pengertian Hadist Dhaif
Kata Dhaif menurut bahasa yang berarti lemah, sebagai lawan dari Qawiy yang kuat. Sebagai lawan dari kata shahih, kata Dhaif secara bahasa berarti Hadist yang lemah, yang sakit atau yang tidak kuat.[6]
Secara Terminilogis, para ulama mendefinisikan secara berbeda-beda. Akan tetapi pada dasarnya mengandung maksud yang sama, Pendapat An-Nawawi : Â "Hadist yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat Hadist Shahih dan syarat-syarat Hadist Hasan."[7]
Pembagian Hadits Dhaif
a. Dhaif dari sudut sandaran matannya.
Dhaif dari sudut sandaran matannya, Â maka hal ini terbagi dua macam, yaitu:
Hadits Mauquf, ialah Hadits yang diriwayatkan dari para sahabat, berupa perkataan, perbuatan dan taqrirnya[8].
Artinya Ibnu Umar berkata: Bila kau berada diwaktu sore, jangan menunggu datangnya diwaktu pagi hari, dan bila kau berada diwaktu pagi jangan menunggu datangnya waktu sore hari, Ambillah dari waktu sehatmu persediaan untuk waktu sakitmu dan dari waktu hidupmu untuk persediaan matimu." (Riwayat Bukhari)
Hadits Maqhtu, ialah Hadits  yang diriwayatkan dari Tabiin, berupa perkataan, perbuatan atau taqrirnya. Contoh : seperti perkataan Sufyan Ats-Tsaury, seorang Tabiin:
"Termasuk Sunnah, ialah mengerjakan sembahyang 12 rakaat setelah sembahyang idul fitri , dan 6 rakaat sembahyang idul Adha.
Dhaif dari sudut matannya.
Hadits Syadz, ialah Hadits yang diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqah atau terpercaya, akan tetapi kandungan haditsnya bertentangan dengan (kandungan Hadits) yang diriwayatkan oleh para perawi yang lebih kuat ke-tsiqahannya.[9] Contohnya, Â "Rasulullah SAW, bila telah selesai sembahyang sunnat dua rakaat fajar, beliau berbaring miring diatas pinggang kanannya."
Hadits Bukhari diatas yang bersanad Abdullah bin Yazid, Said bin Abi Ayyub, Abul Aswad, Urwah bin Zubair dan Aisyah r.a dan riwayat dari rawi-rawi yang lain yang lebih tsiqah yang meriwayatkan atas dasar fiil (perbuatan Nabi).
Â
Dhaif dari salah satu sudutnya, baik sanad ataupun matan secara bergantian.
Yang dimaksud bergantian disini adalah ke-Dhaifan tersebut kadang-kadang terjadi pada sanad dan kadang-kadang pada matan, yang termasuk hadits yaitu:
1. Hadits Maqlub, ialah Hadits yang terjadi mukhalafah (menyalahkan hadits lain), disebabkan mendahulukan dan mengakhirkan.
Tukar menukar yang dikarenakan mendahulukan sesuatu pada satu dan mengakhirkan pada tempat lain, adakalanya terjadi pada matan hadits dan adakalanya terjadi pada sanad hadits.
Contoh: Tukar menukar yang terjadi pada matan , Hadits Muslim dari Abu Hurairah r.a
Artinya: "... dan seseorang yang bersedekah dengan sesuatu yang sedekah yang disembunyikan, hingga tangan kanannya tak mengetahui apa-apa yang telah dibelanjakan oleh tangan kirinya".Â
Hadits ini terjadi pemutarbalikan dengan Hadits riwayat Bukhari atau riwayat Muslim Sendiri, pada tempat lain, yang berbunyi.
"(hingga tangan, kirinya tak mengetahui apa-apa yang dibelanjakan tangan kanannya.)".Â
Tukar menukar pada sanad dapat terjadi, misalnya rawi Kaab bin Murrah bertukar dengan Murrah bin Kaab dan Muslim bin Wahid, bertukar dengan Wahid dan Muslim.Â
Hadits Mudraf
Kata Mudraf menurut bahasa artinya yang disisipkan.Secara terminologi hadits mudraf ialah hadits yang didalamnya terdapat sisipan atau tambahan.
Hadits Mushahhaf
Hadits Muhahhaf ialah Hadits yang terdapat perbedaan dengan hadits yang diriwayatkan oleh tsiqah, karena didalamnya terdapat beberapa huruf yang diubah. Pengubahan ini juga bias terjadi pada lafadz atau pada makna, sehingga maksud hadits menjadi jauh berbeda dari makna, dan maksud semula.
Dhaif dari sudut matan dan sanadnya secara bersama-samaÂ
Yang termasuk hadits dhaif dari sudut matan dan sanadnya secara bersama-sama yaitu:
Hadits Maudhu
Hadits yang disanadkan dari Rasululah SAW secara dibuat-buat dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan, melakukan dan menetapkan.[10]
Hadits Munkar
Ialah hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya/jujur".[11]
 Dhaif dari segi persambungan sanadnya
Hadits-hadits yang termasuk dalam kategori Dhaif atau lemah dari sudut persambungan sanadnya ialah: Hadits Mursal, Hadits Mungqathi, hadits Mudhal, dan Hadits Mudallas.
Hadits Mursal
Hadits Mursal ialah hadits yang gugur sanadnya setelah tabiin. Yang dimaksud gugur disini ialah nama sanad terakhir, yakni nama sahabat tang tidak disebutkan, padahal sahabat adalah oang pertama menerima Hadits dari Rasulullah SAW.Â
Hadits Mungqathi
Ialah Hadits yang gugur pada sanadnya. Seorang perawi atau pada sanad tersebut disebutkan seorang yang tidak dikenal namanya.[12]
Hadits Mudhal
Hadits yang gugur dua sanadnya atau lebih, secara berturut-turut, baik (gugurnya itu) antara sahabat dengan tabiin, atau antara tabiin dengan tabiin.[13]
Berhujjah dengan Hadits Dhaif
Para ulama sepakat melarang  meriwayatkan hadits dhaif bukan maudhu. Adapun hadits dhaif  bukan hadits maudhu maka diperselisihkan tentang boleh atau tidaknya diriwayatkan untuk berhujjah. Dalam hal ini ada beberapa pendapat:Â
Melarang secara mutlak  dan membolehkan
Ibnu Hajar Al-Asqalani, ulama hadits yang memeperbolehkan berhujjah dengan hadits dhaif  untuk keutamaan amal, memberikan 3 syarat: a. Hadits Dhaif itu tidak keterlaluan.Â
Dasar Amal yang ditunjukan oleh hadits Dhaif tersebut, masih dibawah suatu dasar yang dibenarkan oleh hadits yang dapat diamalkan
(Shahih atau Hasan)
Dalam mengamalkannya tidak mengitikadkan bahwa hadits tersebut benar-benar bersumber dari Nabi. Tetapi tujuan ikhtiyath (hati-hati) belakaÂ
Dari beberapa uraian diatas maka dapatlah disimpulkan bahwa apabila menggunakan hadits Dhaif untuk dijadikan suatu sugesti amalan maka dapatlah kita pergunakan hal ini memotifasi bagi masyarakat.Untuk memperbanyak amalan-amalannya, hadits yang diteranhkan harus selektif mungkin juga sampai tidak masuk akal atau rasional.
Â
Kesimpulan
Dari beberapa uraian diatas, maka dapatlah diambil beberapa kesimpulan.Â
Hadits shahih merupakan hadits yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yanga adil dan dhabit hingga sampai akhir sanad tidak ada kejanggalan dan tidak berikat. Hadits shahih ini juga terbagi menjadi dua macam yaitu shahih lizathihi dan shahih lighairi.
Hadits hasan merupakan hadits yang dinukilkan leh orang yang adil, tapi kurang kuat ingatannya yang muttasil sanadnya, tidak cacat dan tidak ganjil. Hadits hasan ini juga terbagi menjadi dua yaitu: Hadits Shahih lizathihi dan Hadits Shahih li-ghairihi.
Hadits Dhaif adalah, Hadits yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan hadits hasan. Atau dapat juga diartikan hadits yang kehilangan, satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan.
Referensi
Â
An-Nawawi, At-Taqrib An-nawawi Fann Ushul Hadits, Abdul arrasman Muhammad, Kairo,tt
At-Tarmudzi, Sunan At-Turmudzi, Dar al-Fikr, Bairut, 1980
Fathur Rahman, Ikhtisar Musthalahuul Hadits, Al-Maarif, Bandung, Cet. V, 1987
Hasbi Ash-Shidiqi, Diroyah Hadits, Bulan Bintang, Jakarta, 1986
Ibnu Hajar As-Qalani, Fath Al-Bari, Dar Al-Fikr wa.Maktabah. AlSalafiyah, tt
Ibnu Ash-Shalda, Abu Amr Usman bin Abd ar-Radiman, "Ulum AlHadits,"Maktabah Al-Islamiyah, Madinah, 1972
Muhammad Nashiruddin Al-Bani, Silsilah HaditsAl-Dhaif wa AlMaudhuah,MaktabahAl-Maarif, Riyadh,tt
Muhammad Jamal Al-Din Al-Qasimi, Qowaid at-Tahdith min Funun Mutshalah Al-hadits, Dar Al-Kutub, Bairut, 1989
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits, Bulan Bintang, Jakarta, 1992
Kaedah Keshahihan Sanad Hadits,Bulan Bintang, Jakarta, 1995
Subnhi Ahsh-Shahih, Ulum Al-Hadits wa Musthalahuh, Dar Al-Ilm Al-Malayin, Bairut, 1977
Zainuddin Hamidi, et Al, Terjemah Hadits Shahih Bukhari, Widjaya, Jakarta,1992
Zufran Resman, Kajia Sunnah Nabi SAW sebagai sumber hukum islam, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, Cet. I. 1995Â