Sejak beberapa dekade, pendidikan di Indonesia dengan segala upaya melalui berbagai kebijakan nasional terutama dalam penataan kurikulum masih belum mampu untuk memperbaiki kinerja belajar anak-anak di Indonesia. Sebagai ukurannya dapatlah dirujuk hasil PISA (the Programme for International Student Assessment) tahun 2012 telah menempatkan anak-anak Indonesia berada pada posisi ke-64 dari 65 negara yang disurvei untuk bidang matematika, membaca, dan sains dikaitkan dengan permasalahan kehidupan. Secara kritis dapat dilihat bahwa ada sesuatu yang keliru dalam proses interaksi guru dan siswa dalam pendidikan di Indonesia.
Ukuran-ukuran keberhasilan dalam pendidikan anak yang saat ini mayoritas tertanam di benak para orangtua adalah bagaimana anak-anak mereka dapat memperoleh nilai ujian (yang notabene fokus pada kemampuan kognitif dan dipersempit pada menghafal penyelesaian soal). Kegagalan dalam capaian nilai ini akan menjadi alasan pada kegagalan anak untuk memperoleh sekolah favorit. Sekali lagi juga perlu digaris bawahi bahwa sekolah favorit adalah sekola yang siswanya lulus dengan nilai ujian yang tinggi pada jenis soal seperti disebutkan tadi. Ini yang menjadikan rantai kinerja pendidikan berjalan pada hal-hal yang tidak substansial bagi kehidupan anak di masa dewasa mereka.
Dapat disadari bersama, bahwa sesungguhnya dengan tersedianya sumber belajar dengan berbagai bentuk media yang demikian beragam, hal ini akan menjadi peluang bagi perbaikan kinerja belajar anak. Hanya saja memang ada periode transisi yang menempatkan guru atau pengelola pendidikan dengan anak-anak (siswa). Guru atau pengelola pendidikan yang dapat dianggap sebagai digital immigrant memilik kecenderungan tidak mudah beradaptasi dengan teknologi informasi dan komunikasi. Sementara siswa yang merupakan digital native cenderung cepat beradaptasi dan nyaman dengan teknologi informasi dan komunikasi. Kesenjangan ini yang perlu dicarikan alternatif dalam usaha memperbaiki kualitas pendidikan.
Salah satu alternatif adalah mengubah fokus interaksi guru dan siswa. Guru dan pengelola pendidikan fokus pada transfer nilai-nilai dan moral dalam kehidupan ang diukur misalnya pada seberapa siswa memiliki sikap berbagi dengan sesama, kemampuan berfikir kritis, kemampuan bekerjasama, kemampuan belajar dengan cepat, religiusitas yang tinggi, kreativitas dan hal-hal lain yang akan bersifat langgeng dan dapat diwariskan. Keterampilan dan pengetahuan seperti itu yang sebenarnya akan terus-menerus digunakan oleh anak-anak setelah dewasa nanti. Sementara ilmu pengetahuan yang bersifat knowledge akan cenderung berubah seiring dengan penemuan-penemuan baru dalam sains dan teknologi. Untuk yang kedua ini maka strategi pembelajaran yang memanfaatkan berbagai sumber belajar, rekan belajar yang luas, pelibatan belajar dengan para ahli, berbasis teknologi informasi dan komunikasi akan dapat diterapkan.
Perubahan dalam pengelolaan pendidikan ini yang diharapkan akan dapat meningkatkan kualitas pendidikan. Tentu ide ini bukan suatu yang dapat diselesaikan dalam waktu beberapa tahun. Perlu perubahan dan kesadaran para pelaku dan pengambil kebijakan pendidikan. Ini semua dapat dilakukan mulai sekarang untuk dapat menemui kemanfaatan bonus demografi Indonesia pada tahun 2045.