Begitu gampangnya keputusan dijatuhkan tanpa pertimbangan matang hanya berdasar berita yang berkembang di media sosial dan media massa. Selain menyangkut citra lembaga dalam hal ini  SMAN 1 Banguntapan, hal ini juga menyangkut citra guru sebagai objek yang dikenai sanksi.
Sekarang kita telaah soal sanksi tersebut. Begitu banyak pertanyaan yang menghambur di kepala saya begitu Ngarso Dalem selaku Gubernur DIY Â berujar di media massa bahwa pihaknya telah menjatuhkan sanksi terhadap Kasek dan para guru SMAN 1 Banguntapan. Pertanyaan utama adalah, apa target dari sanksi tersebut ?
Bisa jadi ini adalah kebijakan untuk membuat jera kepada para pejabat sekolah agar tidak  bermain-main dengan sikap intoleransi di DIY.Sikap itu ada benarnya dan  bisa difahami bahwa Gubernur memang harus menjaga predikat  DIY sebagai wilayah yang toleran.
Tetapi dalam kasus SMAN 1 Banguntapan ini, adakah  aturan yang dilanggar oleh  Kasek dan para guru ? Apakah pihak sekolah  ( dalam hal ini Kasek dan para guru ) menjadi secara otomatis bersikap intoleran ketika mereka berinisiatif menciptakan nuansa religius di sekolah ?
Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 yang mengatur bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
Pasal tersebut jelas menyebut bahwa sistem pendidikan nasional itu diselenggarakan dengan tujuan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan  serta akhlak mulia , baru kemudian mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk itu  pemerintah mengaturnya dengan Undang-Undang.
Kembali pada kasus SMAN 1 Banguntapan Bantul, sanksi  telah  diterima oleh Kasek dan para guru, meski sampai opini ini saya tulis, belum terungkap secara jelas bentuk pemaksaan yang dimaksudkan sebagai  dasar menjatuhkan sanksi kepada mereka.
Konon ada bukti CCTV yang menurut Irjen Kemendikbud RI bisa dikategorikan sebagai bentuk pemaksaan terhadap siswi. Tapi seperti apa bentuk tindakan tersebut sampai saat ini tidak diungkap kepublik agar kesimpang siuran pemahaman publik ini tidak semakin melebar.
Dalam pandangan saya yang sangat awam dengan prosedur dan tata cara administrasi aturan hukum, sanksi yang dijatuhkan Gubernur terhadap Kasek dan para guru sangat tergesa. Sebab, Gubernur keburu menjatuhkan sanksi sebelum membentuk Tim Investigasi terhadap kasus yang terjadi di SMAN 1 Banguntapan.
Sanksi yang dijatuhkan kepada  Kasek dan para guru, hendaknya didasarkan pada hasil temuan Tim Investigasi bukan sekedar asumsi maupun opini publik yang  tersiar di media massa maupun media sosial.
Ketergesaan kebijakan Gubernur ini akhir berdampak semakin memperlebar pro-kontra dikalangan publik. Kelompok yang pro sanksi akan menilai sikap Gubernur sebagai bentuk sikap tegas, sementara pada  kelompok sisi yang lain menilai bahwa sikap Gubernur  kali ini sangat tidak bijak.
Tetapi secara pribadi sampai saat ini masih berharap bahwa statement yang dilontarkan Gubernur itu belum ditindak lanjuti dengan Surat Keputusan resmi. Sebab, hal ini akan berdampak buruk terhadap manajemen dan kepemimpinan kepala sekolah di DIY.
Saya masih percaya,  kalau toh benar Kasek dan para guru di SMAN 1 Banguntapan meminta para siswinya untuk berjilbab,  tujuan utamanya adalah  untuk membentuk karakter para siswanya menjadi lulusan yang bertakwa dan jauh  dari niatan untuk intoleran atau menanamkan faham-faham radikal.
 Niatan luhur itu tentunya perlu kita dukung dan  kita berikan apresiasi.  Jika kemudian  niatan luhur yang  direalisasikan dalam bentuk aturan itu dinilai salah, maka aturannya yang harus dibenahi dan disempurnakan.
Dalam kasus ini, kita semua tentu faham bahwa sekolah  bukan sekadar tempat untuk membuat anak menjadi pandai secara kognisi tetapi lebih dari itu. Sekolah merupakan wahana membentuk mental dan kekuatan para siswanya. Â