"Mau ke mana, mbak ?" tanya Parjan mendahului.
"Hanya jalan-jalan kok, mas !" jawabnya.
"Mbak ini rumahnya mana, kok saya belum pernah lihat ?!" tanya Parjan kembali.
"Akh masak sih, saya saudaranya bu Prawiro yang di Jakarta." kata wanita itu sembari menunjuk arah kampung sebelah.
"Oo..!" kata Parjan seperti sudah paham.
Parjan lalu memperhatikan wanita itu dari dari ujung rambut sampai pangkal kaki. Sungguh luar biasa cantiknya ! Wanita itu tersenyum manis.
"Mas ada waktu tidak ?" tanya wanita itu.
"E, memangnya kenapa ?" tanya Parjan penasaran.
"Kalau mau, temani aku duduk-duduk di gubuk itu !" pinta wanita cantik itu agak manja.
"Oh ya, mau-mau !" jawab Parjan mantap.
Parjan seperti mimpi saja bisa duduk berduaan dengan wanita secantik itu. Gairah libidonya semakin naik. Apalagi wanita itu seperti sengaja duduk membelakangi Parjan. Kesempatan itu tidak di sia-siakan oleh Parjan untuk memandangi sekujur tubuh wanita cantik itu. Lekuk-lekuk tubuhnya, pinggul, pantat, rambut, pipi, paha dan betisnya. Aduhai,Parjan betul-betul terpesona.Baru memperhatikan seperti itu, wanita itu membalik menatap Parjan. Ia tidak marah, tetapi justru malah tersenyum manis dan makin manja.
"Mas, sini !" kata wanita itu.
"E, jangan mbak ?" jawab Parjan geragapan.
"Ayolah ! Masak duduk berdekatan saja tidak mau ?" rayu wanita cantik itu.
"Aku...Aku mau pulang saja,mbak !" jawab Parjan sekenanya.
Jantung Parjan seperti mau copot, berdebar- debar gugup tidak karuan. Parjan berlarian berat meninggalkan tempat itu. Tetapi ia tidak pulang ke rumahnya, melainkan ke tempat tongkrongan teman-temannya. Dengan kata yang yang di lebih-lebihkan Parjan mengajak dua teman akrabnya.
"Apa betul ?" tanya Parman temannya.
"Iya, ayo buktikan kalau tidak percaya ?" tantang Parjan mantap.
Mereka menuju gubuk di pinggir kampung itu.
"Nah, itu orangnya masih ada !" kata Parjan bersemangat.
"Wow, cantik sekali !" celetuk Kirno teman satunya.
Semua terbelalak, lidahnya ngeliur, jantungnya berdetak keras tidak karuan melihat sesosok wanita cantik yang sangat menggoda itu. Ia kelihatan pasrah pucat pasi tidak berdaya. Namun sungguh menarik dengan tubuh dan kulit yang putih mulus itu. Wuih, rasanya ingin sekali segera mendekap tubuh wanita itu.
"E, mas-mas mau apa ?" tanya wanita itu
"Hanya mau lihat, mbak saja !" jawab Parman polos.
"Rumahnya mana, kok tiduran di sini !" tanya Kirno makin penasaran.
"Saya saudaranya bu Prawiro dari Jakarta !" jawab wanita itu melemah.
"He, teruskan tidak ?!" seru Parjan sambil mengetip-ngetip matanya membeli isyarat pada wanita itu.
"Apa, mas !" tanya wanita itu agak heran.
"Ellaah..!" sergah Parjan.
"Mas-mas tidak takut terkena aids ?" kata wanita itu.
"Ah, tidak mungkin !" celetuk Parman.
"Ya, terserah mas-mas saja. Sebelumnya sudah saya ingatkan ! Ayo, siapa dulu yang berani ?!" sahut wanita itu sembari melepas satu persatu benik pakaiannya sampai tampaklah dada montok putih mulus itu. Tiga lelaki itu terperangah gerah. Mereka membuka satu persatu pakaiannya. Mereka sudah lupa diri, tidak ingat lagi pada anak dan istri.
"Saya dulu !" seru Parjan memburu.
Parjan segera naik ke panggung gubuk itu penuh nafsu. Peristiwa terjadi luar biasa, wanita itu tiba-tiba hilang dalam sekejap. Terdengar di tempat itu jeritan dan tangisan yang melengking-lengking. Terlihat di gubuk itu sebuah glondongan kayu tua yang tergeletak sudah cukup lama. Ketiga lelaki itu terperangkap kaku tidak bisa bergerak dan berkata-kata. Mereka berusaha memakai celananya, lalu berlarian tunggang langgang di tengah gelap menjelang waktu maghrib itu.
Selang tiga hari berikutnya mereka bermain ke rumah bu Prawiro di kampung sebelah.
"Tumben main ke sini !" sambut bu Prawiro.
"Iya bu, silaturahmi !" jawab Parjan.
"Apakah ibu mempunyai saudara perempuan di Jakarta ?" tanya Kirno.
"Mengapa kau tanyakan itu ?" tanya bu Prawiro keheranan.
"Tidak apa-apa, hanya ingin tahu aja !" jawab Parjan.
"Ya punya satu saudara perempuan, tetapi sudah meninggal satu bulan lalu !" jawab bu Prawiro agak sedih.
"Sakit apa bu, kok meninggal ?" tanya Parman.
"Ia bunuh diri dengan cara meloncat saat naik kereta api. Itu disebabkan karena ia merasa hidupnya seakan tidak berguna lagi. Ia selalu disingkiri dan dicemooh oleh banyak orang. Ia positif terkena virus HIV, sakit AIDS !" cerita bu Prawiro runtut. Matanya pun berkaca- kaca menahan tangis.
"AIDS, hi..mengerikan !" seru Parjan
"Awas lho kang Parjan ?!" celetuk Kirno.
"Saya belum melakukan, kok !" jawab Parjan yakin, namun kelihatan ketakutan.
"Hub, kapok-kapok. Amit-amit jabang bayi, jangan sekali-kali menyimpang berbuat zina!" kata Parman menimpali.
"Ada apa, sih ?" tanya bu Pawiro bingung.
"Tidak apa-apa, bu ! Terima kasih. Kami mohon pamit dahulu, lain kali bisa disambung lagi, bu !" jawab Parjan mengakhiri pembicaraan.
Mereka pulang penuh gelisah. Bu Prawiro menatap aneh kelakuan tiga lelaki tetangga Dusun itu.
Petang panjang, 11 September 2011