Solidaritas antaranggota DPD-RI pun cenderung tidak terjaga. Masing-masing kubu cenderung memperjuangkan kepentingan politik partainya masing-masing. Sudah hal lumrah masing-masing kubu (partai) saling serang. Gedung parlemen menjelma ladang perebutan otoritas politik. Upaya mengakomodasi hak-hak asasi rakyat sebagai visi tunggal mulai terabaikan. Tidak mengherankan, DPD-RI perlahan-lahan kehilangan rasa hormat dari rakyat. Berbagai kritik pedas dan hujatan dari netizen terhadap kinerja DPD-RI, membanjiri halaman-halaman media massa virtual dan jejaring sosial media. Bahkan, tidak sedikit netizen menyarankan agar DPD-RI dibubarkan.  Â
Bagaimana mungkin DPD-RI didengar jika rasa hormat rakyat telah memudar?
Citra negatif tersebut telah membuat rakyat rentan bersikap apatis, serta membenci DPD-RI dan politisi secara keseluruhan. Namun, kita tidak bisa berburuk sangka (prejudice) dengan menggeneralisir perbuatan yang berseberangan dengan spektrum moral tersebut sebagai perilaku atau tindakan anggota DPD-RI secara kolektif. Dari ratusan anggota DPD-RI, tetap akan ada anggota DPD-RI yang masih memegang hati nurani dan idealisme dalam berjuang untuk mengakomodasi hak-hak rakyat. Menjadi sebuah tantangan besar bagi anggota DPD-RI yang masih memiliki hati nurani ini untuk membuat rakyat jatuh cinta.