Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe

Perahu Kertas, Film Adaptasi Sonder Kejutan

3 September 2012   13:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:58 1710 0

Keputusan Dee ini sebelumnya memunculkan spekulasi bahwa film Perahu Kertas akan benar-benar sama dengan bukunya. Namun spekulasi ini tampaknya tak mempengaruhi antusiasme penonton khususnya para pembaca Perahu Kertas. Terbukti, memasuki pekan ketiga penayangannya, Perahu Kertas masih nangkring di daftar tayang bioskop di ibukota.

Sudah menjadi fenomena umum jika sebuah novel difilmkan maka akan memunculkan distingsi di kalangan pembacanya. Kelompok yang satu “menuntut” orisinalitas cerita tanpa banyak perbedaan dengan buku. Sementara itu, kelompok lain malah mengharap sebaliknya. Dee dan sang sutradara, Hanung Bramantyo, tentunya memahami ini. Dan mereka pada akhirnya memilih untuk memenuhi tuntutan pertama.

Penggarap film ini pasti sadar pembaca Perahu Kertas didominasi para kawula remaja yang tak begitu mementingkan nilai seni sebuah film adaptasi. Mereka hanya ingin memuaskan rasa penasaran mereka terhadap visualisasi novel yang sudah mereka gandrungi. Kekecewaan mereka jika film ini terlalu melenceng dari buku akan berdampak buruk terhadap nilai komersil Perahu Kertas. Sehingga jadilah film Perahu Kertas kemudian memang hanya sekedar menjadi visualisasi dari novelnya.

Jalan cerita dalam Perahu Kertas sebenarnya sederhana. Seandainya kedua tokoh utama, Kugy dan Keenan, dari awal berani jujur mengenai perasaannya masing-masing maka cerita Perahu Kertas ini tak akan lahir. Tapi disinilah menariknya. Dee kemudian meramu sebuah kisah fiksi yang cantik. Alur cerita mengalir lambat namun tetap mampu memancing rasa penasaran pembaca untuk mencari tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Jalinan kisah antara Kugy dan Keenan pun sebenarnya adalah alegori kehidupan kebanyakan anak remaja masa kini. Keengganan untuk jujur dalam kehidupan percintaan banyak dijumpai, akibatnya jalan yang dilalui pun semakin berliku. Kugy yang sedari awal menyukai Keenan, tak mau berterus terang pada Keenan dan bahkan pada sahabatnya sendiri. Begitupun dengan Keenan. Jalan kehidupan mereka akhirnya berputar saling menjauh hingga masing-masing menemukan orang yang mencintai mereka. Kugy bertemu Remi dan Keenan bertemu Luhde.

Di luar alur itu, Perahu Kertas sebenarnya tidak hanya semata menceritakan kisah percintaan anak muda. Kisah pencarian jati diri tersaji juga disini.  Sebagaimana film-film lain, Perahu Kertas juga mengajarkan pentingnya kekuatan mimpi dan keyakinan diri.

Adegan di awal-awal film bisa menjadi contohnya. Saat Kugy mengatakan mimpinya untuk menjadi penulis dongeng, ia terlebih dulu masih akan berkompromi dengan realitas. Ia kuliah di sastra, lulus, mencari kerja sampai mapan, baru setelah itu akan menjadi penulis dongeng. Keenan tampak tak senang mendengarnya, “Jadi kamu akan berputar dulu jadi orang lain baru kamu akan kembali menjadi dirimu sendiri?”

Karakter-karakter dalam Perahu Kertas mampu dimainkan dengan baik oleh para pemerannya. Gambaran tokoh dalam film ini tersaji mendekati deskripsi pada novelnya. Ingat, dalam novel Perahu Kertas Dee sudah menuliskan narasi cerita dengan detil. Dee juga menggambarkan deskripsi tokoh dan karakternya dengan begitu kuat dan rinci. Karenanya, imajinasi pembaca cenderung terbentuk seragam. Saya dan mungkin juga banyak penonton yang lain akan mendapati kesamaan antara imajinasi tokoh-tokoh di novel pada diri Maudy Ayunda (Kugy), Adipati Dolken (Keenan), Reza Rahadian (Remi), dan Elyza Mulachela (Luhde).

Masalah sinematografi, nama besar Hanung tentu sudah menjadi jaminan. Hanya ada beberapa kesalahan detil yang mengganggu. Semisal dalam scene di kamar kos Keenan pada awal-awal film. Disitu terpampang lukisan Gus Dur dengan quote-nya yang terkenal: “Begitu aja kok repot.” Setting adegan ini disebutkan pada tahun 1999. Padahal tagline Gus Dur tersebut baru mulai populer pada akhir 2000 saat ramai pertikaian antara DPR dan Gus Dur terkait Brunei-gate. Selain itu, terlihat juga gaya bersalaman Keenan yang tidak lazim. Sebagai anak dari keluarga kaya dan sudah tinggal bertahun-tahun di Belanda, tentu gaya bersalamannya dengan Wanda atau Remi yang “tidak modern” terasa aneh.

Lepas dari segala kontroversi ini, Perahu Kertas tetap dapat dinikmati sebagai tontonan yang menghibur. Meski bergenre remaja, film ini juga masih dapat dinikmati mereka yang sudah hampir uzur sekalipun. Yakinlah, bagi anda yang tak lagi remaja, film ini akan membawa perasaan anda kembali ke masa saat anda berusia belasan tahun dulu. Hehehe.

Saat ini baru Bagian kesatu dari film Perahu Kertas yang sudah tayang. Masih ada bagian kedua yang akan tayang bulan depan. Kita masih berharap ada kejutan-kejutan baru yang disuguhkan Dee dan Hanung di bagian kedua nanti. Jadi, sekarang pasang radar Neptunus anda dan mari kita tunggu kelanjutan ceritanya. :)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun