Karena kankernya sangat parah, otak si profesor harus dikeluarkan dan ditransplantasi. Saat operasi berlangsung, si dokter melakukan kesalahan fatal. Ia salah mentransplan otak keledai ke dalam kepala si profesor.
Menyadari kesalahannya, si dokter ketakutan. Reputasinya pasti hancur. Bayangan penjara, caci-maki, dan hujatan masyarakat mengiang di kepalanya. Ia memutuskan kabur ke luar negeri. Dipilihnya lah Indonesia.
Di negara ini, ia memilih profesi sebagai aktor untuk menyembunyikan rahasianya. Namun jodoh memang tak bisa diterka. Pada satu ketika, ia secara tidak sengaja bertemu dengan salah satu pasien, si profesor yang mengalami malpraktek karena ulahnya. Si dokter alias si aktor kaget mengapa si profesor masih terlihat normal padahal ia kini hidup dengan otak keledai. Merasa bersalah, si dokter pun menceritakan kisah sebenarnya perihal malpraktik itu. Ia mengaku kabur ke Indonesia karena takut dihukum. Si profesor hanya tersenyum, ia bercerita skrg juga tinggal di Indonesia dan bahkan mendapat jabatan strategis disini. Profesor itu lalu bertanya, “trus apa yang kamu lakukan di sini?”
“saya sekarang menjadi aktor.”
“kenapa memilih aktor?”
“disini pekerjaan inilah yang paling laku. Hanya modal tampang dan sedikit akting, kita sudah bisa terkenal. Prof, saya bingung, otak profesor kan sudah tertukar, bagaimana profesor bisa menjadi pejabat disini?”
“hahahahahaha, di negara ini saya hanya butuh otak seperti itu untuk bisa melakukannya...kamu yang aktor juga pasti bisa.”
-----
Kini saya melihat satu kisah. Suatu negeri tempat saya tinggal dengan masalah yang melimpah ruah. Rakyatnya pun menganggap negerinya seperti negeri para bedebah. Parahnya lagi pemimpinnya dikenal lemah mudah digertak hingga suka kalah (maksudnya mengalah).
Saya takut sindiran dalam cerita fiksi di atas benar-benar nyata adanya di negeri saya. Tapi semakin saya mencari fakta untuk menepis ketakutan itu, yang saya temukan malah sebaliknya.
Seminggu lalu salah satu wanita terbaik negeri ini “disingkirkan” oleh presidennya sendiri. Semua tahu kemampuannya, semua tahu kredibiltasnya, semua tahu reputasi dan prestasinya. Tapi bukan itu yang dibutuhkan presiden. Wanita itu dianggap kerikil bagi kekuasaannya sehingga harus diamankan.
Untuk menyamankan kekuasaan, kita harus harus memberikan rumput yang gemuk bagi sekutu kita, bukan ilalang. Mungkin begitulah pikir bapak presiden (semoga pikiran beliau benar saat itu).
Apa mau dikata, Presiden sudah mengambil sikap. Presiden sudah memutuskan untuk menukar idealisme dengan pragmatisme. Menukar kejujuran dengan kepalsuan. Menukar kepentingan bangsa dengan kepentingan sekelompok orang. (Saya pun berharap semoga dalam waktu dekat ini beliau tidak menukar otak menteri keuangan yang cerdas dengan otak keledai.)
Menoleh ke belakang, timbul prasangka jangan-jangan drama angket Century hanyalah akal-akalan kelompok itu saja. Inilah tujuan sebenarnya atas kengototan mereka selama ini. Berdalih untuk menyelamatkan uang negara, membela kepentingan rakyat, bukan karena dendam pribadi bla bla bla, mereka berteriak lantang ingin pengusutan segera atas kebijakan bail-out Century. Lalu di akhir cerita, kita sama-sama tahu, mereka tersenyum mesra dengan mundurnya menteri keuangan kita. Momen yang mereka sebut sebagai sebuah kesejukan politik. Jadi, apakah kemarin itu hanya sandiwara? Inikah rupa panggung para aktor itu?
Kemudian dibentuklah sekretariat bersama itu. Katanya untuk menyamakan persepsi di tubuh koalisi sebelum memasuki ranah kelembagaan di DPR. Jadi sebelum dibahas di dewan, semua permasalahan akan dibahas di setber terlebih dahulu. Ya ya ya ya, jika nanti ada masalah lagi akan diselesaikan dulu disini. Setelah ada hasil baru akan dibawa ke forum dewan. Oh ya sebelumnya akan dibagi dulu peran masing-masing orang. Siapa berperan apa, lalu muncul kapan dimana. Biar tampak rapi diskenariokan dulu klimaksnya. Jadi di akhir cerita ada hasil yang kelihatan dramatis. Masyarakat nanti akan menilai bahwa anggota dewan masih punya kerjaan di senayan. Katakanlah ini juga panggung para aktor dalam bentuk yang lain.
Satu bonus lagi yang didapat. Bisa dipastikan rating siaran TV nya bos Surya Paloh ama Aburzal Bakrie bisa ikut naik. Nanti "royalti" nya bisa dimakan bersama. Lumayan kan.
Itulah dagelan para aktor yang terbungkus dengan kiasan rapi. Mau yang kasat mata? Ternyata ada juga di negeri ini. Mari kita tengok para artis yang berbondong-bondong mendaftar ikutan pilkada. Nah kalo yang ini aktor sungguhan kan. Kira-kira nanti juga maen sandiwara gak ya klo kepilih?
uhuk uhuk uhuk
Yah, inilah sedikit kenyataan yang saya lihat dalam seminggu terakhir. Jadi bagaimana? Merasa tersindirkah kita dengan kisah fiksi diatas? Tidak juga tidak apa-apa. hehehehe.....
Tulisan lain tentang rupa-rupa ulah pejabat kita:
ibu menteri dengarkan curhat kami
anggota-dewan-tak-harus-semuanya-pintar
sedikit-ulah-menggelikan-anggota-dewan