Penerus estafet kepemimpinan nasional tentu mesti harus berlanjut serta diharapkan mampu meneruskan kebijakan dan bahkan semakin meningkatkan kemajuan yang telah dicapai era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Sosok pemimpin yang sungguh merakyat tentunya yang dikehendaki oleh warga negeri multi etnis ini.
Pemimpin yang sungguh dikehendaki oleh rakyat tentu harus melalui mekanisme pemilihan yang berlangsung demokratis. Tanggung jawab partai politik adalah menyiapkan calon pemimpin seperti itu. Pemimpin yang terbentuk melalui pengkaderan yang mengakar pada keberpihakan kepada rakyat. Bukan pemimpin yang ditunjuk oleh karena kehendak ketua partai dengan latar belakang hubungan darah alias dinasti.
Partai Demokrat adalah contoh pertama partai yang terang-terangan mengorbitkan ketua partainya yang berharap menjadi presiden atas dasar kepentingan dinasti SBY, meski kemungkinan kecil akan berhasil karena realita sekarang Partai Demoikrat adalah partai kecil. SBY tidak memiliki rekam jejak kepemimpinan yang bagus, ditambah partainya adalah sarang penyamun alias koruptor.
Contoh partai yang menerapkan politik dinasti selanjutnya adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Meski menyandang nama 'demokrasi' dan selalu mengatakan diri sebagai partai kader tetapi faktanya segala sesuatu keputusan partai dan termasuk tentang pencalonan presiden semuanya tergantung hak prerogratif ketua umum, kalau tidak mau mengatakan keputusan mutlak Megawati. Dimana prinsip demokrasinya? Dimana kaderisasinya? Dimana keberpihakan kepada wong ciliknya? Mungkin inilah partai perjuangan dinasti Soekarno.
PDI-P (Megawati) mestinya belajar dari perjalanan politiknya. Megawati berhasil menjadi presiden RI bukan atas hasil pemilihan langsung melainkan atas "intrik-intrik" diantara wakil rakyat waktu itu setelah mereka berhasil melengserkan Gus Dur. Jadi sesungguhnya Megawati Soekarno Putri bukan presiden yang langsung dikehendaki rakyat.
Berbeda dengan apa yang dialami Joko Widodo. Presiden Jokowi adalah contoh figur pemimpin yang sungguh dikehendaki rakyat sejak sebagai walikota Solo, gubernur Jakarta dan bahkan sebagai presiden hingga 2 periode. Keputusan Megawati terkait Jokowi hanyalah pengesahan formal partai setelah melihat situasi politik dan kehendak rakyat yang ternyata juga menaikkan elektabilitas partai.
Jadi, apabila PDI-P masih ingin menjadi partai yang berkuasa, ia harus memperhatikan kehendak rakyat lagi (seperti saat memilih Jokowi), bukan hanya memperhatikan kehendak Megawati, apalagi kalau dia hanya ingin menjagokan calon pemimpin nasional dari trah Soekarno. Pilihlah kader partai sendiri yang sungguh dikehendaki rakyat.
Menjajaki kehendak rakyat di era sekarang tentu bisa melihat hasil survei elektabilitas dari lembaga-lembaga yang kredibel. Peran media sosial sebagai sarana pencitraan (positif) kader partai jangan dianggap sebagai sesuatu yang buruk, justru seharusnya mesin partai menggunakan sarana komunikasi modern ini seoptimal mungkin. Daripada memasang baliho besar-besaran dengan biaya yang tidak sedikit, mengapa tidak untuk memajukan kader dan memelihara relawan se-massive mungkin? Mendekati hati rakyat tidak perlu menggunakan baliho tetapi melalui aksi nyata yang membantu menyelesaikan persoalan rakyat.
Pemilu dan pilpres memang masih cukup lama, tetapi ada baiknya rakyat semakin kritis dengan situasi politik yang berlangsung. Pemimpin penerus Joko Widodo harus terwujud. Indonesia yang semakin maju menjadi tanggung jawab seluruh rakyat. Pilih pemimpin yang mumpuni, visioner dan berpihak pada kepentingan rakyat. Merdeka !
***
Solo, Senin, 30 Mei 2022. 11:12 am
'salam kritis penuh cinta'
Suko Waspodo
suka idea
antologi puisi suko