Sembari menyeruput secangkir kopi panas
Bernostalgila tentang 19 tahun aku yang hancur, terduduk di belakang pintu kamarmu
Kau kira aku baik-baik saja
Sayang, kau mematahkan seluruh tulangku
Tubuhku membiru, mati rasaku
Mulutku terkunci sembari mengutukmu dalam hati
Berpikir kita harus bertahan
Setiap detiknya dalam luapan amarah dan dendam
Apakah ini yang dinamakan kerasnya kehidupan?
Para tetua membungkam perawan
Pemuka agama memburu kembang-kembang desa
Patriarki yang mengakar
Melahirkan anak perempuan hanya untuk dijadikan persembahan
Menua dalam suram, gelapnya rumah tangga
Semua ini salahku karena memilihmu untuk berjalan didepanku
Yang menengok kebelakang hanya untuk memakiku
Semua ini salahku sebab lahir di tempat terkutuk
Salahku sendiri karena tidak segera melarikan diri
Perkataan manismu yang memabukkan hanya berakhir kekerasan
Kini aku tidak peduli
Tak ada salahnya untuk melepaskan diri
Temaram lampu tempel membisikkan kata lari
Aku diam-diam menumpahkan minyak tanah ke gubug milik kita
Melemparkan lampu teplok
Biarlah kebencian menghanguskan segalanya
Aku membuka mataku perlahan
Menghisap rokok kretek yang ku giling sendiri
Kopi yang sudah dingin mengingatkanku untuk segera pergi
Rambut putihku yang menipis berjatuhan
Akhir hidup yang menyenangkan
Dengan membebaskan semua keturunan