Mohon tunggu...
KOMENTAR
Hukum

Pilkada di Tengah Pandemi? Bentuk Pelecehan terhadap Konstitusi

10 November 2020   20:32 Diperbarui: 10 November 2020   22:44 572 2


Pandemi Covid-19 merupakan bencana non-alam yang timbul tanpa dasar keinginan manusia itu sendiri , ia mempengaruhi segala aspek dalam kehidupan manusia mulai dari ekonomi hingga kesehatan, dari titik inilah peran negara sangat vital dalam membuat kebijakan-kebijakan agar bisa bertahan dalam masa sulit ini.  Rakyat sangat membutuhkan kebijakan yang mengandung unsur kepentingan rakyat di dalamnya pun didalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia  Tahun 1945 menghendaki pemangku kekuasaan untuk mengutamakan kepentingan rakyat. Sudah sepatutnya sebagai warga negara yang baik dan cerdas kita dituntut untuk kritis apalagi dalam hal kebijakan-kebijakan yang di keluarkan oleh pejabat negara kita , kita wajib cerdas dan responsif apabila pemerintah bertindak tidak sebagaimana mestinya mengingat negara kita hampir memasuki jurang resesi serta kewalahannya tenaga kesehatan menghadapi kelonjakan kasus Covid-19 , berikut hasil analisis yuridis saya terhadap keputusan pemerintah untuk tetap melanjutkan pilkada yang dinilai tidak mementingkan kepentingan rakyat.

Hasil amandemen Undang – Undang Dasar 1945 telah membawa perubahan  pada sistem ketatanegaraan indonesia. Salah satu perubahan itu tentang  pengisian jabatan kepala daerah. Pasal 18 ayat 4 UU tahun 1945 menyatakan bahwa “Gubernur, Bupati dan Wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintahan provinsi kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.” Frasa “ dipilih secara demokratis” bersifat luas, sehingga mencakup pengertian pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat ataupun oleh DPRD seperti yang pernah diberlakukan didaerah-daerah berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Dan juga di Presiden Jokowi pun resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020. Lewat perppu inilah.. Jokowi memutuskan pemungutan suara Pilkada 2020 yang rencananya di gelar pada bulan September resmi digeser ke bulan Desember 2020 .

Sehingga pemerintah berdasar keluarnya Perppu no 2 tahun 2020 dan didukung oleh PKPU no 6 tahun 2020 yang mengatur terkait protokol pemilihan kepala daerah di masa pandemi  memastikan secara tegas bahwa pilkada harus tetap dilanjutkan meski dalam ihwal memaksa terkait dengan pandemi covid-19 .

Bila kita melihat kenyataan yang terjadi di lapangan banyak sekali calon kepala daerah dalam kampanyenya yang melanggar protokol Covid-19 sebagaimana yang berlaku dalam PKPU, ini jelas tidak menunjukan bahwasannya kepala daerah wajib menjadi contoh yang baik bagi warga yang akan ia pimpin.

 Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) , mantan wakil presiden,DPD ,  kepala daerah, masyarakat luas , hingga ormas  mendesak bahwa pilkada sebaiknya diundur sampai pandemi selesai dikarenakan alasan kesehatan rakyat yang sangat perlu mendapat perhatian yang lebih , mengingat Covid 19- sudah dinyatakan presiden sebagai bencana nasional melalui Kepres no 12 tahun 2020.

 Keputusan pemerintah untuk tetap melanjutkan pilkada saya rasa sangat bertentangan dengan pasal 28H ayat (1) UUD NRI tahun 1945 yang berbunyi “ Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin , bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Frasa mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat bersifat sangat-sangat signifikan apalagi dalam ihwal negara kita dalam keadaan pandemi covid-19 bagaimana mungkin calon kepala daerah kita tidak bisa  memahami maksud dari UUD NRI 1945 yang dimana berkedudukan sebagai hirearki tertinggi daripada segala peraturan-peraturan yang berlaku di Indonesia. Sejujurnya sikap mereka yang menyampingkan protokol kesehatan sebagaimana yang diatur dalam PKPU serta peran aparatur penegak hukum yang dianggap lalai dan cenderung tidak berani untuk melakukan penindakan bagi calon kepala daerah yang melanggar kode etik ini sangat mencermikan pemikiran calon kepala daerah yang sangat haus akan kekuasaan tanpa mementingkan kepentingan rakyat yang akan dipimpinnya.

Dan juga pasal 12 UU RI  NO 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA yang berbunyi  “hak untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang tertinggi yang dapat dicapai ” , tentu sebagai negara hukum sudah sewajibnya organ pemerintahan kita mengimplementasikan peraturan yang sejatinya berlaku dalam rangka mewujudkan “perlindungan hak-hak manusia oleh undang-undang” sebagai mana teori Rule of Law yang di cetuskan A.V Dicey.

Juga Keputusan pemerintah untuk tetap melanjutkan pilkada rasanya tidak mencerminkan penyelenggaraan negara hukum yang baik, sebagaimana yang diatur Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 yang berbunyi “ kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang” serta ayat (3) “Negara indonesia adalah negara hukum” sudah selayaknya bahwa pasal ini tidak bisa di kesampingkan oleh para penguasa , menurut teori Prof.Dr.J.B.J.M Ten Berge ( dari Universitas Utrecht)mengenai prinsip-prinsip negara  demokrasi yang salah satunya berbunyi “ rakyat diberikan kemungkinan untuk mengajukan keberatan “ , tentu sebagai rakyat kita sepatutnya mendapatkan hak-hak kita sebagaimana yang diatur oleh UU yaitu  ikut andil dalam menyatakan pendapat kita masing-masing guna mendorong penundaan pemilihan kepala daerah yang dirasa terlalu membahayakan kepentingan umum.


Menurut saya bahwa urgensi Pemerintah dalam keputusan nya terkait melanjuti pilkada ditengah masa pandemi ini tidak memiliki dasar konstitusional, karena dalam konstitusi kita hanya mengamanatkan pilkada tetap digelar namun tidak diatur lebih dalam apabila itu negara dalam keadaan memaksa/force majeur seperti ini , serta mencerminkan sikap yang tidak bijak dari para pemangku kekuasaan mengingat negara ini terbentuk atas dasar demokrasi dan menempatkan kepentingan rakyat diatas kepentingan pribadi/individu. Endingnya sekalipun pilkada tetap digelar sesuai protokol bagi saya tetap saja tidak bisa memenuhi rasa kepentingan akan kesehatan masyarakat, karena sejatinya bersosialisasi dengan bertemu masyarakat langsung merupakan intrumen fundamental dari seorang calon kepala daerah sebelum menuju hari-h pilkada tersebut sehingga bisa dikatakan dalam prosesnya memang mau tidak mau mungkin protokol akan dikesampingkan , dan juga keputusan DPR, Pemerintah , serta KPU atau yang saya singkat sebagai penguasa untuk bersepakat melanjutkan pilkada sangat cacat dalam prosesnya , karena tidak mendengar aspirasi dari rakyat banyak , mereka berunding seperti ingin memenuhi hasrat birahi akan "kekuasaan".

Lagipula pun kalau di undur bukankah justru menguntungkan paslon-paslon yang baru pertama kali betarung dikarenakan masih luasnya waktu untuk merakit ulang gagasan-gagasan mereka , masih banyak waktu untuk bersosialisasi lebih dalam bersama dengan masyarakat, sehingga secara tidak langsung akan menimbulkan kepercayaan yang alami bagi setiap masyarakat daerah pemilihannya , tidak terkesan terburu-buru.

Demikian.




KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun