Ketika yang bersangkutan datang untuk meminang putri bapak itu, ia menghadiahkan seratus ribu dinar. Ibunya berkata; "Nikahkanlah anak kita, aku suka mahar itu, bukankah engkau melihat bagaimana ia telah berkorban untuk anak kita?"
Al Hasan berkata; "Sesungguhnya seorang yang memberikan mahar sebesar seratus ribu dirham, pasti orang bodoh yang sombong, orang seperti ini tidak layak diharapkan untuk dinikahkan dan menjadi besan."
Akhirnya ia menolak untuk menikahkan putrinya, dan akhirnya dinikahkan dengan laki-laki yang shaleh.
Kisah ini mengajak kita merenungi tentang beberapa hal prinsip. Pertama, ikatan hati antara ayah dan puterinya. Seorang ayah secara naluriah memiliki kepekaan jiwa yang lebih kuat terhadap tumbuh kembang anak perempuannya. Sebab, memang kecenderungan anak perempuan sejak kecil hingga dewasa lebih dekat secara kejiwaan dengan sosok Ayah ketimbang pada Ibu. Terlebih jika sang Ayah telah memiliki kesadaran akan pentingnya pendidikan anak sejak dini, sehingga interaksi antara Ayah dan anak tentu terbangun kuat, terutama pada aspek psikis. Meskipun, seringkali tak terhindarkan dari pekerjaan kepala keluarga yang menjadi sebab jauhnya jarak fisik antara Ayah dan anak. Interaksi kejiwaan yang kuat terjalin inilah yang menjadikan seorang ayah memiliki kecintaan sekaligus seringkali menimbulkan kekhwatiran akan masa depan puterinya.
Kedua, kriteria menantu dan sikap terhadapnya. Ikatan jiwa yang terjalin semenjak puterinya dalam kandungan menjadikan Ayah secara manusiawi sangat berat melepaskan anak perempuannya di saat memasuki usia pernikahan. Hal ini wajar saja, jika Ayah memiliki pertimbangan khusus dengan siapa semestinya sang anak berpasangan. Lelaki seperti apa yang semestinya menjadi pemegang tanggung jawab mendidik & melindungi puterinya.
Pada saat seorang Ayah memberi restu menikah, disinilah kekuatan orientasi mendidik dan kebijaksanaan terbaik seorang Ayah dipersembahkan bagi puterinya. Ikatan jiwa yang murni serta terjalin lama, pasti akan melahirkan sikap yang terbaik. Sang Ayah akan menyandarkan sikap berdasar pada kecenderungan jiwanya. Jika kecenderungannya pada apa yang tampak kasat mata kekinian, tentu ia hanya mau menikahkan anaknya dengan yang semata-mata terlihat gagah atau kaya, terjebak melihat masa lalu dan hanya akan bisa menghakimi kekurangan calon menantunya. Disisi lain diliputi pula kekhawatiran terhadap kesiapan puterinya.
Namun jika jiwa sang Ayah bersandarkan hanya pada Allah SWT, ia akan menaruh harapan dan cenderung melihat masa depan apa yang terbaik bagi anak bersama suaminya esok. Harapan dan keyakinan kuat sang Ayah pada Allah akan membimbing sikap yang dapat merubah segalanya dengan izin Allah. Pun, mungkin masih nampak begitu banyak ketidak sempurnaan pada anak dan calon menantu. Sebab, keyakinan dan harapan pada Allah adalah bekal terbaik dan azimat bagi puteri tercinta dan suaminya mengarungi bahtera rumah tangga, meraih kebahagiaan dunia & akhirat.
Follow twitter:
@sujonobms