Kader HMI itu berasal dari mana saja, termasuk dari golongan atau anak-anak turunan NU, Muhammadiyah atau ormas lainnya.
Pertanyaannya kenapa anak turunan NU, tidak masuk PMII saat kuliah, pun demikian anak turunan Muhammadiyah kenapa tidak masuk IMM.
Ada banyak alasan. Bisa jadi karena waktu itu di kampusnya belum ada organisasi PMII atau IMM. Bisa juga karena awal-awal kuliah-masuk kampus, teman bergaulnya kader HMI. Bisa juga karena organisasi HMI yang paling aktif di kampusnya dibanding organisasi lainnya. Ada begitu banyak alasan, sebagaiman alasan kenapa tidak masuk HMI.
Selesai kuliah-selesai ber HMI, biasanya kader HMI secara otomatis menjadi alumni HMI-yang secara kelembagaan akan bergabung dalam wadah Korps Alumni HMI (KAHMI). Selain itu, ada yang memilih bergabung ke NU, Muhammadiyah atau organisasi islam lainnya. Itu biasa dan lumrah.
Jelang Muktamar NU, banyak oknum kader NU menyoal atau bahkan menolak KH. Yahya Cholil Staquf sebagai calon Ketua Umum PB NU. Alasannya karena dia alumni HMI.
Melalui beberapa tulisan opini di media, ada yang coba "mempertentangkan" antara HMI dan PMI, ada juga yang beropini "untuk apa ada PMII, Kalau PB NU dipimpin HMI" dan banyak opini-opini lainnya. Yang intinya tidak menerima Gus Yahya-sebagai calon Ketum PB NU.
Saya, saat membaca beberapa tulisan opini tersebut melalui portal berita dan group WA merasa "risih" dan menganggap bahwa yang menulis itu adalah oknum yang berpikiran sempit.
Dengan opini tersebut, oknum tersebut mengkerdilkan NU sebagai ormas terbesar di republik ini. Dia menafikan bahwa NU itu milik umat bahkan aset bangsa yang harus terus dijaga. Terlepas dari mana latar belakang organisasi kemahasiswaan kadernya.
Menyandingkan HMI dengan NU, tentu tidak bijak dan tepat karena HMI sampai kapanpun tidak akan pernah sebanding dengan NU. Nu itu ormas, sedang HMI itu OKP.
Kalau mau linier yang patut dibanding-bandingkan adalah antara HMI dengan PMII, IMM, PMKRI atau OKP lainnya. Meski demikian membanding-banding sebuah OKP dengan OKP lainnya tidaklah bijak.
Hari ini, bukan eranya lagi membanding-bandingkan sebuah organisasi dengan organisasi lainnya. Saat ini, kalau kita bicara soal idiologi misalnya, hampir kita sudah tidak bisa mebedakan antara satu organisasi dengan yang lainnya. Kecuali perbedaan simbol, lambang dan bendera. Jadi, apapun jenis OKPnya yang penting adalah kiprahnya untuk umat dan bangsa.
Pada setiap acara perkaderan HMI saat menjadi pemateri, saya sering menyampaikan dan mengenalkan OKP selain HMI. Saya mengenalkan PMI, IMM, GMNI, PMKRI, HIMMAH dan OKP lainnya. Bukan untuk menbandingkan, tetapi sebagai pengetahuan dan meberikan pemahaman bagi kader tentang keberadaan organisasi sehinga mereka bisa berpikir inklusif.
Kembali ke soal Muktamar NU, ternyata opini-opini yang berkembang jelang Muktamar tidak mempengaruhi apa-apa. Buktinya Gus Yahya tetap menjadi calon dan bahkan meraih suara terbanyak mengungguli KH. Said Aqil Siradj. Raihan suaranya sangat telak dengan 337 suara dibanding  210 suara.
Dengan raihan suara tersebut, Gus Yahya terpilih menjadi Ketua umum PB NU Masa Khidmat 2021-2026. Setelah menjadi Ketua Umum PB NU, maka otomatis, Dia bukan saja milik HMI, bukan milik NU tapi Dia adalah milik umat dan bangsa Indonesia. Sehingga tidak perlu lagi di labeli dengan atribut-atribut asal OKP, asal kampus, asal daerah dan lain sebagainya.
Bicara tentang Gus Yahya, ada dua hal yang menarik perhatian saya saat Mukatamar. Pertama, adabnya. Sesaat setelah perolehan suaranya unggul. Dia Datang memeluk dan mencium tangan Yai Siradj. Sungguh prilaku yang beradab dan terpuji dari seorang yang lebih muda kepada yang tua ditengah tensi politik Muktamar yang tinggi.
Kedua, komitmen menjauhkan  PB NU dari politik praktis. Jauh-jauh hari melalui media Gus Yahya mewarning "Jangan ada calon Presiden dan Wakil Presiden dari PBNU". Tidak bisa dipungkiri bahwa setiap perhelatan Pemilu Pilpres, figur Ketua Umum PB NU selalu "seksi" secara politis untuk menjadi calon atau dicalonkan.
Terakhir, kita masih ingat bagaimana proses terpilihnya KH. Ma'ruf Amin yang merupakan Rais Aam PB NU menjadi calon Wakil Presiden Jokowi pada Pemilu 2019 yang penuh drama dan intrik di dalam tubuh NU sebagaimana diceritakan oleh Mahfud MD di acara ILC pada 14 Agustus 2018.
Berharap di kepemimpinan Gus Yahya, NU dijauhkan dari politik praktis kekuasaan. Kalaupun berpolitik, maka politiknya adalah politik keumatan dan kebangsaan. Selamat mengemban amanah Gus Yahya, kader umat dan bangsa.