Dalam perjalanan menemukan cinta, kita sering terjebak pada gagasan bahwa cinta harus setara. Setara dalam perasaan, pengorbanan, atau bahkan seberapa keras masing-masing berjuang untuk mempertahankan hubungan. Keadilan dalam cinta, meski terdengar ideal, sering kali hanyalah ilusi yang membelenggu makna cinta itu sendiri.
Bayangkan cinta sebagai tali halus yang menghubungkan dua jiwa. Tali ini tidak bisa diukur panjang atau kekuatannya dengan pasti. Namun, obsesi untuk membuatnya "setara" sering kali berubah menjadi tekanan: menghitung siapa yang lebih mencintai, siapa yang lebih banyak memberi, atau siapa yang lebih menderita. Padahal, cinta sejati tidak pernah tentang angka atau keseimbangan yang kaku.
Cinta adalah ketidakseimbangan yang indah. Ada hari di mana seseorang memberikan segalanya, sementara yang lain hanya mampu menerima. Ada momen ketika satu pihak terluka lebih dalam, tetapi tetap bertahan demi rasa yang tak bisa dijelaskan oleh logika. Dalam cinta, ketidakseimbangan ini bukanlah cacat, melainkan bagian dari alur alami hubungan.
Namun, ilusi bahwa cinta harus setara menciptakan belenggu yang tipis, tak terlihat tetapi nyata. Kita menjadi takut untuk mencintai terlalu dalam karena khawatir tidak akan mendapatkan balasan yang sama. Kita menahan diri untuk tidak memberi lebih karena takut terlihat lemah. Padahal, cinta yang sejati justru melampaui logika itu
Jika kita terus menuntut kesetaraan, cinta bisa kehilangan esensinya. Ia menjadi transaksi, bukan lagi perasaan. Kita lupa bahwa cinta, pada intinya, adalah ketulusan tanpa syarat. Sama seperti api yang rela membakar dirinya untuk menerangi, cinta adalah tentang memberi tanpa berharap kembali dalam takaran yang sama.
Belenggu ini juga sering kali lahir dari rasa takut kehilangan. Kita berpikir bahwa cinta yang tidak setara akan membawa pada keretakan. Namun, justru sebaliknya: cinta yang terlalu terobsesi pada keadilan akan kehilangan fleksibilitasnya. Hubungan yang sehat membutuhkan ruang untuk ketidakseimbangan, untuk kelemahan yang saling melengkapi.
Pada akhirnya, cinta bukanlah persamaan matematis. Ia adalah irama yang mengalir, kadang lambat, kadang cepat, dan tak pernah seragam. Belenggu tipis yang kita rasakan bukanlah pertanda bahwa cinta harus dilepaskan, melainkan pengingat bahwa cinta tidak perlu sempurna.
Ketika kita melepaskan ilusi kesetaraan, kita belajar menerima cinta apa adanya