Ketika mendengar kata filsafat, apa yang pertama kali terlintas di kepala? Buku tebal berdebu, percakapan membingungkan, atau mungkin seorang pria berjanggut di sudut kafe, menyesap kopi sambil berkata, "Kita tidak pernah tahu apakah kita benar-benar ada." Banyak orang menganggap filsafat sebagai hal yang membingungkan, tidak relevan, atau bahkan... sesat. Padahal, filsafat itu sejatinya cinta kebijaksanaan. Jadi, kenapa cinta bisa dianggap sesat?
Untuk memahami ini, kita harus menelusuri akar masalahnya. Filsafat, sejak zaman kuno, selalu berurusan dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar yang sering membuat orang tidak nyaman. Socrates, misalnya, mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang begitu tajam hingga membuat orang-orang Athena jengkel. Ia dianggap merusak moral generasi muda karena berani mempertanyakan keyakinan yang sudah mapan. Ironisnya, ketika Socrates dihukum mati dengan minum racun, ia hanya berkata, "Hidup yang tidak dipertanyakan adalah hidup yang tidak layak dijalani."
Lantas, kenapa filsafat sering berbenturan dengan nilai-nilai mapan? Salah satu alasannya adalah karena filsafat itu tidak mau berhenti di permukaan. Ia menolak menerima sesuatu hanya karena "begitulah adanya." Misalnya, jika seseorang berkata, "Hidup itu takdir," seorang filsuf akan bertanya, "Apa itu takdir? Bagaimana kamu tahu kalau itu benar?" Pertanyaan-pertanyaan seperti ini mungkin terdengar seperti lelucon di telinga orang yang sudah nyaman dengan jawaban sederhana. Namun, filsafat bukan bercanda; ia serius menggali kebenaran, meski risikonya dianggap mengganggu.
Di Indonesia, stigma "filsafat itu sesat" juga diperkuat oleh cara filsafat diajarkan. Kebanyakan orang hanya mendengar filsafat di bangku kuliah, itu pun terbatas pada fakultas tertentu. Akibatnya, filsafat jadi seperti "ilmu eksklusif," jauh dari keseharian. Padahal, filsafat hadir dalam setiap momen hidup kita. Ketika kamu galau memilih antara menyerah atau bertahan, itu filsafat. Ketika kamu bertanya kenapa kopi Kapal Api lebih nikmat saat hujan, itu juga filsafat
Namun, hal lain yang membuat filsafat dicurigai adalah hubungannya dengan agama. Ada anggapan bahwa filsafat itu terlalu bebas, terlalu kritis, sehingga bisa merusak iman. Tapi, apakah benar begitu? Banyak filsuf besar dalam sejarah agama yang justru memperkaya iman melalui filsafat. Ibnu Sina, Al-Ghazali, hingga Thomas Aquinas adalah contoh bagaimana filsafat dan agama bisa berjalan berdampingan.
Sayangnya, dalam beberapa kasus, filsafat memang dijadikan alasan untuk menentang dogma agama secara ekstrem. Di sinilah filsafat sering disalahpahami. Padahal, filsafat sejatinya bukan tentang menolak, tetapi memahami. Ketika seorang filsuf bertanya, "Apakah Tuhan ada?" itu bukan karena ia ingin mengingkari Tuhan, tetapi karena ia ingin memahami Tuhan dengan lebih dalam. Seperti ketika seseorang bertanya, "Kamu benar-benar cinta aku, atau cuma nyaman?" Itu bukan berarti dia menuduhmu pura-pura cinta. Eh, atau mungkin memang iya?
Baiklah, mari kita bahas lebih serius. Salah satu plot twist dalam sejarah filsafat adalah ketika filsafat yang dianggap "terlalu bebas" ternyata justru membantu membangun peradaban. Pemikiran filsuf Yunani seperti Plato dan Aristoteles menjadi dasar ilmu pengetahuan modern. Bahkan, konsep demokrasi yang sering kita banggakan berasal dari pertanyaan filosofis tentang keadilan. Jadi, kalau ada yang bilang filsafat itu sesat, tanyakan pada mereka: "Kalau filsafat sesat, kenapa kita bisa memilih pemimpin lewat pemilu?"
Tentu saja, filsafat juga punya sisi rumit. Ia tidak memberikan jawaban pasti, hanya pertanyaan yang lebih mendalam. Inilah yang sering membuat orang frustrasi. Bayangkan kamu lapar dan meminta makanan, tapi filsuf malah bertanya, "Apa itu rasa lapar? Apakah makan benar-benar menghilangkan lapar, atau hanya menunda rasa lapar?" Kamu mungkin akan memilih meninggalkan filsafat dan pergi ke warung nasi padang.
Namun, di situlah letak keindahannya. Filsafat tidak memberikan ikan; ia mengajarkan cara memancing. Filsafat tidak hanya mengisi pikiran kita, tetapi juga melatih cara berpikir. Di dunia yang penuh hoaks, clickbait, dan opini dangkal, kemampuan berpikir kritis yang diajarkan filsafat adalah penyelamat.
Sebuah punchline yang sering terlupakan adalah ini: Bercanda itu boleh, tapi filsafat tidak pernah main-main. Di balik pertanyaan-pertanyaannya yang seolah absurd, ada upaya tulus untuk memahami hidup. Dan jika kita benar-benar berpikir tentang hidup, kita akan menemukan bahwa bercanda juga adalah bentuk filsafat kecil. Karena melalui tawa, kita sering kali menemukan kebenaran sederhana yang sebelumnya tersembunyi.
Dan sekarang, plot twist terakhir. Jika selama ini kamu berpikir artikel ini adalah pembelaan untuk filsafat, coba pikirkan lagi. Bisa jadi ini hanya salah satu upaya untuk membuatmu bertanya, "Kenapa aku membaca ini? Apa aku setuju, atau hanya terseret argumen?" Jika kamu mulai mempertanyakan itu, selamat
Jadi, filsafat itu sesat? Tidak juga. Tapi kalau sesat, biarkan kita tersesat bersama, karena jalan-jalan yang penuh pertanyaan sering kali berakhir pada pemandangan yang paling indah.