Hujan bulan Desember
Hatiku ,
nyanyianmu  terbiasa membentang Â
sangat manja ,
menggelayut mesra dalam susunan kata
Kamu adalah bui kerinduan yang buntu
yang tak lagi mengenal jalan keluar
Tak mengenal  musim
berbukit barisan meliuk kokoh
Melukismu dengan kekata adalah samudera tanpa pantai
Kamu adalah kota ang berbukit dengan kata ,
padat bermetropolitan
Auromu magnet , yang menarik seluruh indraku
Membius dalam stadium 4
Dan mimpiku semakin brutal bercengkrama
Menguasai seluruh ruang pikirku
Kamu sungguh perkasa
Di bulan Desember ini kamu ditelan sunyi
Berisiknya nyanyian hujan telah menjadi nada kehilangan
Gemuruh rasa tak satupun menjadi aksara
Wajahmu telah kosong , tanpa  ruang
Yang terbiasa kubaca dalam bahagia dan air mata
Gambarmu gelap
Terbengkalai
Semua menjadi hikayat nestapa
Secangkir kopi ini ,
dalam racikan dan adukan paling  sempurna
tak mampu mencipta pelangi atas dirimu
Sebatang rokokku tak sanggup lagi meretas
Di kepulan asapnya yang semakin pekat
Hujan bulan desember ini,
telah melautkan seluruh keberadaanmu
Dan Kepakan sayap burung camar itu
Mengisyaratkan hampa ruang dan waktu
Yang tak lagi mesra
Kamu
Wuuus...hilang... tak tersisa
Imajiku tentangmu telah kering
Ranting aksaraku patah
Permainan kataku musnah tanpa sedikitpun debu
Mengering di kemarau yang basah rindu
Gendang yang  kutabuh berulang-ulang
Terinfus di ruang isolasi
Tanpa bunyi
Yang ditinggalkan sang dokter dengan maafnya
Apa yang bisa kuceritakan pada anakku nanti
Tentang risalah hati ayahnya
Tentang hikayat manis senyuman
Dan akankah harus kuceritakan lagi
Kisah cinta laila
Atau romeo dan yuli
Maafkan ayah nak...
Semoga kau tak bosan mendengarnya,
Aku menggigil kehilangan imaji
Di hujan Desember ini
Suhawan tridoyo
Purwokerto
06 Desember 2018 Â 21:24