ah, omong kosong apa lagi ini?
seorang lelaki tua dengan bahunya yang hampir sempurna terbungkuk datang menghampiriku dan tanpa beban apapun yang kulihat padanya, ia mengucapkan kalimat itu. aku hanya tersenyum sinis. ingin langsung menyela, hati tak mengizinkan. terpaksa aku memilih menyunggingkan senyuman sinisku untuk lelaki itu. sepertinya ia paham betul apa yang sedang ada di kepalaku saat itu, maka tak berselang lima menit ia mengeluarkan lagi kalimat-kalimat selanjutnya yang semakin membuatku tak sabar untuk berakhir dari tempat itu. atau lebih tepatnya aku ingin segera pergi dan tidak melihat wajah lelaki tua itu lagi.
"sungguh. aku ini bapakmu. kau tak percaya?"
belum juga aku berniat menjawab pertanyaannya,
"aku tahu kau tak akan percaya, tapi aku tidak sedang membohongimu. sungguh."
ia terus meyakinkan aku bahwa dia adalah ayahku. tapi, itu mustahil untuk bisa kupercaya apalagi aku bahkan baru kali pertama bertemu dengan lelaki ini. terlebih lagi orang-orang di tempatku bilang kalau ayahku sudah lama meninggal. paling tidak, itulah berita yang sering kudengar dari teman-temanku yang diberitahu oleh orangtua mereka. tak perlu heran, kampungku terlalu kecil untuk tidak saling kenal. kau bahkan akan merasa seperti selebriti yang selalu dikejar-kejar gosip saat di kampungku.
"coba saja kau tanya ibumu kalau masih tak percaya."
kali ini lumayan beda kalimat yang ia ucapkan. ya, setidaknya dia mulai terlihat berani menyangkut-pautkan ibuku di dalam kalimat-kalimatnya yang sama sekali tidak kupercaya.
hari sudah larut. alam sedang lelap dalam pangkuan langit. kalimat-kalimat lelaki itu masih terus terngiang-ngiang di telingaku seolah saling berkejeran dengan jarum jam yang terus berkutik. aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. terus terjebak dalam rekaman kalimat-kalimat omong kosong lelaki tua itu, ataukah harus kukatakan hal ini pada ibu. berharap bahwa ibu akan memberikan nasihat-nasihat bijaknya.
"bu, bagaimana menurut ibu?"
tanyaku pada ibu setelah kuceritakan panjang lebar tentang pertemuanku dengan lelaki itu serta kalimat-kalimatnya yang membuatku geli. tapi tidak seperti biasanya, ibu terdiam. seperti benar-benar kehilangan seribu kata. padahal, biasanya ibu akan sangat mudah menjawab pertanyaan-pertanyaanku. lelaki tua itu, kalimat-kalimat omong kosong, apa yang salah?
perlahan, aku membaca isyarat di mata ibu. isyarat tentang kejujuran, kecewa, luka, harapan, mimpi, cerita. banyak yang kudapat lewat mata ibu saat ini. benar. aku yakin bahwa aku menemukan kejujuran. berharap bahwa itulah yang akan ibu katakan padaku.
aku masih sabar menunggu ibu untuk menjawab pertanyaanku. tapi, ibu terlihat gelisah. seperti sedang memperjuangkan sesuatu untuk dikatakan. ah, ibu, kau bahkan masih terlihat cantik meski sedang gelisah seperti ini. ibu berusaha lepas dari mataku. seperti tak ingin aku tahu kejujuran di dalam matanya.
dengan terbata ibu mulai terlihat menyusun kata. aku takut. takut bahwa kejujuran akan semakin gelap warnanya. tapi, aku tak menyangka ibu akan kembali menambah warna hitam pada kanvas putih bernama kejujuran.
"kau benar. dia bukan ayahmu."
ya, ibu benar. dia adalah ayahku.
saat itu, aku tahu bahwa luka yang ibu punya lebih besar ketimbang cintanya pada lelaki tua itu.
dan, hari itu adalah hari pertama ibu membohongiku.