Mohon tunggu...
KOMENTAR
Healthy Pilihan

Jamu Buatan Ibu

13 Juni 2023   04:25 Diperbarui: 13 Juni 2023   04:39 236 10
Saya pertama kali mengenal kata "jamu", tentu saja pada masa kecil, dari tayangan TV yang menampilkan seorang ibu di Jawa yang berjualan jamu gendong.

Kemudian ketika saya agak besar dan sering diajak orang tua ikut ke pasar di daerah kami yang terletak di Flores, NTT, saya juga sering melihat ibu-ibu yang berjualan jamu gendong.

Penjual jamu gendong itu juga orang Jawa yang merantau ke Flores dan hidup dari berjualan, termasuk  jamu. Biasanya mereka menggendong sebuah wadah yang berisi botol jamu aneka warna.

Saya kira di Flores dan NTT pada umumnya, penjual jamu aktif didominasi oleh orang Jawa. Karena pengalaman tersebut, bagi saya kata "jamu" sangat identik dengan budaya Jawa.

Tetapi ketika mengetahui definisi jamu adalah obat yang dibuat dari akar-akaran, daun-daunan, dan sebagainya, maka saya menyadari kalau jamu itu minuman sehari-hari masyarakat Indonesia.

Saya yang menghabiskan masa kecil di Flores, NTT sebenarnya hampir tiap saat mengonsumsi jamu. Tapi karena istilah "jamu" lebih lekat pada penjual jamu gendong, maka apa yang kami minum sehari-hari kadang tidak disadari sebagai jamu.

Semasa kecil, orang tua saya selalu menyiapkan beberapa ramuan herbal untuk mencegah atau mengobati sakit tertentu. Saya sudah terbiasa minum air rebusan daun sambiloto (ada yang menyebutnya sambilata) dan rendaman jahe parut yang dicampur dengan gula aren.

Biasanya kalau mulai memasuki musim hujan, ibu saya mewajibkan sekeluarga minum air rebusan sambiloto. Ibu saya selalu menekankan kalau itu merupakan obat untuk mencegah malaria atau sakit yang bikin demam.

Sebagai anak-anak saya tentu saja tertekan, sebab sambiloto itu pahit. Tapi ibu selalu memaksa, "Minum satu kali langsung kasi habis!"

Saya pun berusaha mengikuti anjuran ibu. Awalnya sampai mau muntah. Tapi seiring bertambahnya usia dan dorongan ibu yang tidak pernah putus asa, saya akhirnya jadi terbiasa.

Karena itu, kalau saya merasa badan mulai meriang, maka saya langsung melapor ke ibu untuk dibuatkan minuman sambiloto. Biasanya setelah minum ramuan itu badan terasa hangat dan sedikit berkeringat.

Secara umum berdasarkan pengalaman itu, saya biasanya jadi lebih nyaman. Dan yang lebih penting, rasa meriang tadi tidak berlanjut pada kondisi demam yang lebih parah.

Secara umum seperti itu, tapi kadang kondisi demamnya berlanjut dan membutuhkan pengobatan di puskesmas. Selama berobat ke tenaga kesehatan, ramuan sambiloto tetap jalan.

Ramuan kedua yang sering saya konsumsi sejak masa kecil adalah campuran antara jahe dan gula aren. Jamu tradisional ini jadi andalan ketika gejala flu mulai menyerang, termasuk ketika flu itu menyebabkan penumpukan dahak di tenggorokan yang membuat kita batuk parah.

Kehangatan air dengan sensasi jahe yang hangat dan sedikit pedis itu berhasil mengencerkan dahak. Kalau sudah encer, biasanya mudah dibatukkan untuk dibuang.

Setidaknya dua jenis ramuan itu yang menemani masa kecil saya ketika sakit hingga akhirnya tumbuh dewasa dan merantau jauh dari orang tua seperti sekarang.

Meski telah lama menikmatinya, saya kadang tidak menyadari kalau itu adalah jamu. Konsep jamu dalam benak saya masih identik pada ibu penjual jamu gendong.

Pertahanan Primer Selama Pandemi COVID-19

Ketika saya mulai belajar ilmu keperawatan dan kesehatan pada umumnya, saya pun sedikit mengerti mengenai penggolongan obat-obatan yang berlaku di Indonesia. Dan jamu tadi juga diakui sebagai obat tradisional yang melengkapi jenis pengobatan lain yang lebih modern.

Saat kuliah jurusan keperawatan dulu, saya juga belajar mata kuliah keperawatan komplementer. Sesuai namanya, komplementer itu dianjurkan sebagai pelengkap pengobatan lain.

Dari sekian banyak jenis terapi komplementer tersebut, jamu adalah salah satunya. Dan jamu ini disebut sebagai ramuan tradisional bangsa Indonesia yang mulai diakui oleh bangsa lain.

Ketika pandemi COVID-19 sedang meningkat pada tahun 2020, saya sedang berjuang menyelesaikan pendidikan Magister Keperawatan di Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga, Surabaya.

Saat saya mengajukan usulan penelitian yang berjudul: Pengalaman Keluarga Melakukan Perawatan Mandiri pada Anggota Keluarga yang Positif COVID-19 Berdasarkan Perspektif Family Centered Nursing di Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Kalau Anda merasa judul penelitian itu terlalu panjang dan bikin pusing, lupakan saja. Intinya saya mau mencari tahu seperti apa pengalaman keluarga mengahadapi COVID-19.

Temuan penelitian itu tentu saja sangat banyak. Salah satunya berkaitan dengan pemanfaatan ramuan tradisional untuk bertahan melawan COVID-19.

Kita tahu, salah satu ketakutan saat pandemi COVID-19 sedang meningkat pada saat itu adalah tidak berani mengunjungi fasilitas kesehatan.

Masyarakat takut tertular jika ke fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan juga membatasi layanan di fasilitas kesehatan. Karena itu, kalau ada anggota keluarga yang mengeluh sakit tertentu, maka obat-obatan tradisional menjadi pilihan utama.

Saya mewawancarai 16 keluarga yang menjadi partisipan penelitian tersebut dan semuanya mengaku aktif membuat dan mengonsumsi ramuan tradisional selama pandemi COVID-19.

Jenis ramuannya memang bervariatif, tapi berkisar pada pemanfaatan rempah-rempah, minyak kayu putih, jeruk nipis, buah kelapa dan produk olahannya, madu, air garam, dan lainnya.

"...sereh, sama halia, kencur, kayu manis, direbus....baru minum," kata salah satu partisipan.

Partisipan lain juga hampir sama, tapi kadang beda komposisi bahan yang disesuaikan dengan selera atau ketersediaan bahan. Tapi secara umum, seluruh partisipan mengaku ikut memanfaatkan produk kesehatan tradisional tersebut.

Mereka juga mengakui khasiat atau setidaknya sensasi yang dirasakan setelah mengonsumsi ramuan tradisional itu cukup baik. Mereka jadi lebih nyaman dan merasa yakin bisa bertahan melawan corona.

Jadi, selama pandemi COVID-19, keberadaan jamu tidak lagi menjadi terapi komplementer. Ia malah dijadikan terapi primer ketika layanan di fasilitas kesehatan terbatas. Semua sepakat, jamu merupakan bagian dari kubu atau pertahanan tubuh selama pandemi COVID-19.

Berdasarkan pengalaman penelitian tersebut, saya makin yakin dengan potensi jamu kita makin berkembang dan bisa dijadikan komoditi ekspor. Tinggal bagaimana penelitian dan pengembangan bidang pengobatan tradisional ini terus ditingkatkan.

Hingga kini, saya tetap mengonsumsi ramuan tradisional yang telah dibiasakan ibu sejak kecil--sambiloto dan jahe ditambah gula aren. Kalau saat ini telah ada jamu kekinian yang dikemas atau dipresentasikan dengan cara yang lebih modern, itu mungkin baik, tapi saya terlanjur cinta dan terpola dengan sajian tradisional.

Saya masih lebih senang mengupas jahe, memarutnya, dan menyeduhnya dalam air panas yang dicampur dengan gula aren. Entah mengapa, saya merasa aman mengonsumsi minuman tradisional dengan cara yang tradisional pula. Seperti jamu buatan ibu.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun