Mohon tunggu...
KOMENTAR
Healthy Pilihan

Rokok Elektrik: Menyelesaikan Masalah dengan Masalah

12 Juni 2023   04:43 Diperbarui: 12 Juni 2023   07:20 402 7
Saya sudah hampir 13 tahun terbebas dari belenggu candu merokok dan tidak terlalu tertarik mengikuti perkembangan produk rokok. Tapi, begitu pada suatu hari saya melihat seseorang mengeluarkan kepulan asap putih-tebal-wangi yang diisap dari sebuah benda kecil mirip korek gas, saya akhirnya penasaran mencari tahu jenis kereta api uap apakah itu yang bisa dimasukkan dalam mulut?

Kelak saya pun tahu itu "vape" yang dalam KBBI didefinisikan sebagai berikut: Rokok elektrik yang berbentuk seperti pena, terdiri atas baterai cas ulang dan tabung isi ulang berisi cairan, kadang disertai pipa untuk mengisap, dapat dipakai berkali-kali, tersedia dalam berbagai rasa.

Meski saya mantan perokok yang terus berusaha mengembangkan pikiran negatif mengenai segala macam produk rokok, tapi begitu tahu ada rokok elektrik yang disebut vape, saya akhirnya penasaran untuk mencari tahu mengenai produk tersebut.

Terus terang, terlepas nanti bagaimana manfaat dan kemudaratan alat baru tersebut, bagi saya ia tetap layak disebut sebagai inovasi yang patut diapresiasi.

Kehadiran e-rokok itu menambah koleksi hadirnya berbagai inovasi dari pola konvensional menjadi lebih modern. Kita tahu di Indonesia telah banyak program yang dikonversi lebih canggih seperti itu, sebut saja misalnya e-KTP, e-toll, e-commerce, e-book, dan ragam e lainnya.

E-rokok adalah temuan yang patut diapresiasi. Para penemu atau penggagas ide hingga akhirnya terbentuk produk yang berfungsi sesuai harapan adalah orang-orang yang patut mendapat penghargaan.

Mereka, para penemu tersebut, telah mendedikasikan waktu-pikiran-tenaga untuk menghasilkan temuan baru yang awalnya dianggap membantu kehidupan manusia. Saya kira kita semua sepakat, bahwa seluruh program inovasi awalnya diniatkan untuk menyederhanakan kerja manusia.

Rokok elektrik pun demikian. Setelah saya membaca beberapa penelitian terkait sejarah penggunaannya, saya temukan banyak studi yang dilakukan di Amerika. Karena itu saya menduga, inovasi ini bermula dari sana.

Secara umum, hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa vape awalnya diniatkan untuk mengurangi kecanduan orang yang merokok konvensional. Artinya, kehadiran vape bisa mengurangi frekuensi rokok.

Harapannya, setelah kebiasaan rokok konvensional bisa berkurang, maka orang tersebut bisa berhenti total untuk merokok. Vape juga awalnya dianggap aman sebagai pengganti rokok biasa karena asapnya bukan hasil pembakar dan tidak mengandung nikotin.

Itu adalah asumsi awal yang membuat kehadiran vape ini disambut positif oleh banyak orang. Saat itu orang memprediksi bahwa kehadiran vape bisa mengurangi rasa ketagihan orang pada rokok konvensional.

Beberapa hasil uji coba memang menunjukkan hasil seperti itu. Seperti penelitian yang dilakukan Goniewich, dkk pada tahun 2012, hasilnya menunjukkan bahwa e-rokok berhasil menghentikan kebiasaan orang untuk merokok.

Menurut saya, temuan itu tentu saja positif dan membuat orang makin penasaran dan mau mencoba khasiat rokok elektrik tersebut. Maka tersebar lah ia ke seluruh jagat raya, termasuk ke Indonesia.

Soalnya, ketika vape ini menjadi tren baru di Indonesia, dampak buruk penggunaan e-rokok ini mulai teridentifikasi satu per satu. Tujuan awalnya untuk mengurangi kecanduan merokok, tapi pada praktiknya justru bikin asap makin mengepul di paru-paru.

Ada sebuah studi yang dilakukan di Indonesia tentang bagaimana produsen rokok elektrik melakukan promosi secara daring. Bigwanto, dkk menemukan fakta bahwa produk rokok elektrik banyak dipromosikan lewat media sosial Instagram.

Secara spesifik peneliti tersebut menyebutkan bahwa iklan promosi itu menampilkan gambar wanita tampil memikat sambil menunjuk produk vape dan segala kenikmatan rasa produk. Itu artinya, barang yang awalnya bertujuan untuk mengurangi frekuensi merokok konvensional telah dipromosikan untuk tujuan komersial (kepentingan ekonomi semata).

Kita tahu, promosi seperti itu telah bekerja cukup efektif. Buktinya jelas, saat ini kita mudah menemukan orang sedang menikmati asap vase di semua tempat umum.

Ditambah dengan pengaruh pergaulan sosial rekan sebaya, kesalahan persepsi dan mudahnya akses mendapatkan produk. Semua faktor tersebut membuat makin banyak anak muda--bahkan anak-anak--terbiasa mengisap vape.

Celakanya, dalam berbagai studi yang lebih lanjut, ternyata efek negatif dari vape ini sama saja dengan rokok biasa. Mereka sama-sama bisa merusak perangkat pernapasan kita.

Kalininskiy bersama rekannya merilis hasil penelitian mereka tentang dampak negatif dari vape. Telah banyak pengguna vape yang mengeluh masalah pernapasan dan membutuhkan perawatan intensif.

Setelah berhenti menggunakan vape, pasien tersebut menunjukkan gejala yang membaik. Artinya, asap vape juga membahayakan organ respirasi.

Temuan itu juga didukung penyeledikan yang dilakukan Thakrar, dkk., yang menemukan adanya tanda kerusakan paru-paru para pengguna vape setelah dilakukan foto Rontgen dada.

Pendek kata, dari beberapa penelitian yang saya baca, vape yang awalnya dianggap sebagai solusi kini menjadi masalah juga pada akhirnya. Rokok elektrik bisa dianggap sebagai upaya mengatasi masalah dengan masalah.

Soalnya, informasi dampak buruk rokok elektrik ini kalah bersaing dengan promosi penjualan yang dilakukan selebgram dan pesohor lainnya. Kita tahu, tren di Indonesia selalu datang dari orang terkenal di media massa daripada para ilmuwan.

Mungkin "Matinya Kepakaran" sudah benar-benar terjadi sehingga banyak masyarakat lebih merujuk pada orang yang salah. Akibatnya tren penggunaan vape makin meningkat dan orang-orang mungkin tidak peduli pada sedikit informasi mengenai bahaya penggunaannya.

*

Saya kemudian mengingat bagaimana dulu saya berhenti merokok. Sebenarnya saya sudah tulis pengalaman tersebut yang bisa Anda baca di sini dan di sini.

Tapi saya coba meringkas sedikit di sini. Saya berhasil berhenti merokok yang telah berjalan kurang lebih 13 tahun, semuanya berkat pengaturan pikiran bawah sadar atau kita juga bisa sebut sebagai niat yang kuat.

Sekitar tahun 2019, saya mulai berpikir untuk berhenti merokok tapi candu membuat saya terus terbelenggu. Hingga akhirnya saya menemukan buku bagus berjudul "Kekuatan Pikiran" karya Christian H. Godefroy.

Buku itu menekankan bahwa semua perilaku kita, termasuk kecanduan merokok, dipengaruhi oleh sistem kepercayaan yang terbentuk dalam alam bawah sadar. Karena itu, menurut penulis buku tersebut, kalau mau mengubah perilaku atau kebiasaan apa saja, maka ubahlah sejak dari dalam pikiran.

Berdasarkan pengalaman tersebut, saya pernah menulis di Kompasiana tentang "Berhenti Merokok dengan Kekuatan Pikiran".

Sependek yang sudah saya jalani hingga 13 tahun, metode "Kekuatan Pikiran" itu tidak memiliki efek negatif. Saya justru makin baik, semakin baik, dan lebih baik.

Tidak seperti vape yang awalnya diniatkan untuk mengurangi rokok, tapi pada akhirnya orang tetap merokok lebih lama. Bahkan ada yang dikombinasi, rokok konvensional dan rokok elektrik dinikmati semua.

Kemudian ketika tahu asap vape juga sama bahayanya dengan asap rokok konvensional, maka kehadiran e-rokok tidak lagi dianggap sebagai inovasi yang membantu menyelesaikan masalah manusia.

Ia lebih tepat disebut sebagai "Menyelesaikan masalah dengan masalah".

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun