Saya menduga, barangkali pada masa idiom itu terbentuk, alat utama yang dipakai jurnalis atau penulis adalah pena dan kertas. Pena tentunya membutuhkan tinta, sehingga pekerjaan itu bisa dibilang sangat dekat dengan tinta. Maka sudah tepat disebut kuli tinta.
Apakah idiom itu masih relevan ketika jurnalis atau penulis saat ini sudah jarang menggunakan pena dalam pekerjaannya? Sepintas yang saya amati, jurnalis saat ini sudah terbiasa menggunakan alat bantu digital.
Kebetulan Kamis (01/06/2023) kemarin saya berkesempatan mengikuti sebuah kegiatan bertajuk: Workshop Digital Fundamental Tools for Journalists. Kegiatan itu diselenggarakan oleh AJI (Aliansi Jurnalis Independen) untuk jurnalis yang ada di Provinsi NTT.
Saya mendapat informasi pelatihan daring itu dari akun media sosial salah satu narasumbernya: Irfan Budiman. Irfan adalah pemimpin redaksi (Pemred) muda di salah satu media daring populer di NTT: detakpasifik.com.
Sebagai salah satu pembaca setia detakpasifik.com, saya mengenal beberapa kru media yang sering menurun analisis situasi terkini di NTT tersebut. Termasuk pemimpin umumnya: Pius Rengka.
Berapa hari sebelumnya saya membaca unggahan Pius Rengka di FB-nya. Ia mengabarkan kalau Irfan Budiman akan mengikuti pelatihan di Jakarta yang diselenggarakan AJI pusat dan bekerja sama dengan Google News Initiative.
Sejak saat itu saya makin kagum dengan sosok Irfan. Ia masih muda, tapi sudah dipercayakan sebagai pemimpin redaksi sebuah media yang cukup berpengaruh seperti detakpasifik.com.
Maka ketika Irfan mengumumkan akan berbagi pengalaman tentang pelatihan yang ia ikuti tersebut, saya langsung mendaftar. Ia juga ditemani satu narasumber lain: Balqis Fallahnda.
Seperti Irfan, Balqis juga telah mengikuti pelatihan Digital Fundamental Tools. Balqis merupakan anggota AJI Bengkulu yang sehari-hari bekerja sebagai jurnalis Tirto.id.
Saat perkenalan awal, Irfan dan Balqis bercerita kalau kegiatan yang diperuntukkan untuk jurnalis NTT itu merupakan bentuk tindak lanjut dari pelatihan yang mereka ikuti sebelumnya. Mereka ingin meneruskan informasi penting itu ke sesama rekan jurnalis lain.
Kegiatan itu diperuntukkan untuk jurnalis dan saya adalah perawat, kenapa bisa bergabung?
Ceritanya agak panjang, tapi sejak dulu saya memiliki obsesi menjadi penulis. Keinginan itulah yang membuat saya belajar autodidak bagaimana cara menulis, termasuk coba merambah jenis tulisan/produk jurnalistik.
Saya kemudian dipercaya oleh orang organisasi profesi perawat, Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) wilayah NTT, untuk mengelola website ppnintt.org yang telah berjalan satu tahun lebih.
Di sana saya bekerja mirip-mirip wartawan. Hanya saja lingkup kerjanya kecil dan berfokus pada kegiatan organisasi dan perawat pada umumnya.
Ketika mendaftar kegiatan yang dimentori Irfan dan Balqis itu, saya tulis saja pengalaman mengelola media informasi PPNI NTT tersebut. Kabar baiknya, saya dibolehkan ikut.
Maka pada saat pelatihan itu berlangsung, saya senang bisa ada di antara jurnalis NTT lain. Mereka berasal dari media-media yang cukup saya kenal reputasinya.