Saya hendak mengantar mamanya Gibran bersama Abran (Adiknya Gibran yang baru berusia 5 bulan) ke tempat kerja, lalu lanjut mengantar Gibran ke TK Angkasa tempat ia sekolah saat ini, tapi entah bagaimana kacamata yang sebelumnya sempat dipakai anak itu kemudian raib.
Mama Gibran menyuruh anak itu untuk segera menemukan kacamata itu kembali. Gibran memang berusaha menyisir tiap sudut rumah, tapi hasilnya nihil.
Saya juga ikut heran, sebab sekitar berapa menit sebelumnya saya melihat ia bergaya dengan kacamata itu. Tapi begitu hendak berangkat ke sekolah, kenapa benda itu seperti punya kemampuan menghilang.
Berangkat ke sekolah sebenarnya tidak membutuhkan kacamata hitam, sebab ia bukan alat penunjang belajar. Tapi 4 hari yang lalu, pihak sekolah mengundang kami sebagai orang tua murid untuk membicarakan rencana kegiatan family gathering di sebuah tempat wisata baru yang ada di Kota Kupang, NTT.
Saat rapat tersebut, salah satu guru Gibran yang akrab disapa Ticer (baca: teacher) Sena, menjelaskan bahwa anak-anak akan menampilkan atraksi drumband. Dan Gibran dipilih sebagai salah satu penabuh drum.
Ticer Sena juga mengingatkan, khusus pemain drumband dianjurkan menggunakan celana jins biru dan baju putih. Supaya lebih menarik, anak-anak juga diminta memakai kacamata hitam.
Dari beberapa persyaratan itu, kami merasa sudah siap semuanya. Kami sudah belikan Gibran kacamata hitam sudah sejak lama.
Cuaca di Kota Kupang, kamu tahu, sangat menyengat. Panas ekstrem. Orang-orang selalu bilang, kota ini memiliki dua matahari. Apalagi saat ini laporan dari BMKG menunjukkan bumi sedang panas-panasnya. Isu pemanasan global yang didengar sejak dulu mulai terasa.
Dari sekian banyak dampak cuaca panas ekstrem tersebut, salah satunya bikin silau kalau sedang jalan siang. Kami tidak bisa menghindari jalan siang, sebab Gibran pulang sekolah menjelang pukul 12.00 dan saat itu rasanya matahari di Kupang tidak hanya dua sebagaimana orang-orang biasa menyeletuk, tapi seperti ada empat. Dua terpancar dari atas, duanya lagi dari bawah. Kita seperti sedang dikukus, keringat mengalir terus di setiap lekukan tubuh.
Karena alasan silau itulah, kami memutuskan untuk membeli kacamata hitam buat Gibran. Selama ini benda itu cukup membantu dan Gibran sudah terbiasa memakainya setiap hari.
Tapi anehnya, tepat pada hari yang memiliki agenda penting itu, ia malah hilang tiba-tiba. "Tadi saya masuk situ," kata Gibran sambil menunjuk ke arah kamar. "Terus ke sini," lanjutnya sambil menunjuk ke ruang tengah, "tapi di mana ya?"
"Mana?!" Mamanya bersuara tinggi. "Pokoknya cari sampai dapat!"
Gibran semakin bingung dan kelihatan mulai panik. Saya ikut bantu mencari di bawah kolong tempat tidur, di hampir setiap sudut rumah yang hanya berukuran 6x6 m itu, tapi tidak kunjung ketemu.
Mama Gibran terus mendesak, sebab ia tidak mau terlambat masuk kerja. Ia terus memarahi Gibran, sesekali mencubit lengan anak itu. "Pokoknya cari sampai dapat!" Ucapnya berulang-ulang.
Setelah lelah mencari dalam rumah, saya keluar menuju teras. Kacamata yang dicari itu ternyata tergeletak begitu saja di teras.
Akhirnya ketemu juga, Gibran tersenyum lega. Tensi kemarahan mamanya langsung turun, tapi ia tetap sempat mengomel, "Makanya barang itu simpan baik-baik!"
Kami sudah siap berangkat, tapi botol air minum belum siap. Ini juga persiapan yang tidak kalah penting. Apalagi saat cuaca sedang panas ekstrem, banyak cairan tubuh yang tersedot akibat penguapan. Karena itu, kami selalu mengantisipasinya dengan menyiapkan air minum dalam botol yang bisa dan aman untuk diisi ulang.
Masing-masing kami memiliki botol minum masing-masing. Kebiasaan ini sudah kami lakukan jauh hari sebelum kabar cuaca panas ekstrem dikeluarkan BMKG.
Kami menyadari, komposisi air dalam tubuh manusia termasuk dalam kategori yang paling banyak. Ketika asupannya sedikit tapi pengeluarannya banyak, maka bisa terjadi dehidrasi yang tentunya mengganggu kestabilan kinerja tubuh secara umum. Karena itu, kami selalu membantu botol air minum.
Setelah semuanya beres, kami bergegas ke tempat kerjanya Mama Gibran. Puji Tuhan, Mamanya Gibran melakukan presensi tepat waktu. Selanjutnya saya dan Gibran terus ke sekolahnya Gibran: TK Angkasa Kupang.