Sepertinya, berapa pun luas ruang dan lama waktu, ia gunakan menjelajah habis, mungkin tak bersisa. Sejak bangun tidur, hingga rasa lelah yang menyeretnya istirah, semua bagian tubuh senantiasa bergerak, bekerja, membelajarkan orangtua atau pengasuh agar peka membaca mereka penuh kasih-sayang. Beberapa orangtua yang sudi meluangkan kesempatan emas, akan selalu mengikuti ke mana anak-anak melangkahkan kaki, merentang lengan, menyuarakan nada dan bait kata sekenanya, bahkan sebentuk dinamika mungil yang mengejutkan, tak terduga. Sebagian dari kita, lama-lama bisa menukil apa yang terjadi, tepatnya hikmah, pada tarian hati dan benak ananda. Sebagian dari kita, mudah menyerah, dan tak segan-segan menghentikan laju perhelatan anak di altar belajar-bermain penuh kesegaran, orisinal, dan aktual. Kemudian, sebagian dari kita malahan ikut andil merusaknya.
Masih ingat di benak kita, semasa kecil ketika sedang bermain, tiba-tiba ibu meminta agar berhenti untuk segera mandi, atau makan, atau tidur. Rasanya, ada yang harus direnggang, ya ... kesenangan saat-saat indah menikmati gerakan spontan di tengah subyek dan obyek permainan, dipaksa berhenti beredar. "Ala, ibu ... aku masih main, bu!" Anak lain enggan merujuk ajakan ibunya, " ... ntar, bu ... nanti aja mandinya!" Saat itu pula, putuslah acara pesta surga bagi kanak-kanak.
Ketika bergerak dinamis, menanggapi dan menerima pesan-kesan di sekitar ia bermain, anak seakan tiada perlukan proses seperti orang dewasa. Mereka belum perlu dikte agar jadi ini atau itu. Tak jarang, ambisi orangtua selalu (dengan tanpa sengaja dan cukup perhatian) mengajak anak-anak untuk dibawa lari ke ranah dunia dewasa. Pada waktunya, memang perlu mencontohkan kepatuhan. Namun sayang, bapak dan ibu atau pengasuh suka meletupkan ajakan dengan cara dan langkah yang dikelola tergesa-gesa.
Suatu saat, saya dan beberapa teman pegiat parenting mengamati dan terlibat langsung dengan anak-anak yang sudah mulai enjoi bergiat di sanggar. Selama beberapa jam tiap minggu kita mendampingi anak untuk sepenuh kesadaran bersedia menggambarkan pengalamannya di sebuah sudut surga (baca: imajinasi pro-kreasi anak) yang sedang mereka genggam. Dari dialog dan mengajangi anak berekspresi, berbahasa, bertransaksi dengan lingkungan, kita dan orangtua yang juga hadir terlibat, menemukan kembali 'jembatan halus' yang selama ini tanpa sadar, telah kita putus atau rebut. Ternyata, kita selalu pernah menunda pertumbuhan tunas-perikehidupan sosial (madani) yang bakal keluar alami dari pintu dan jendela pra-aqil-baliq untuk kemudian menuju dunia kedewasaan.
.
.
... read more, after article edited