24 Desember 2011 15:36Diperbarui: 25 Juni 2015 21:48541
kredo selamat penuhi hari-hari keramat, banyak terhidang selaksa ucap daripada mengenyam nikmat. di desa atau kota abangan setiap jeda amalan berpotensi mengantar laknat, berupa selera utopis model tarian hingar pengharapan kaum ingkar-rakhmat. sementara pemberi dan penerima ucapan tak tau apa wujud selamat. yang penting senang melampias cocor-bibir, spontan atau ikutan gagap. bagaimana suasana hati tetangga gundah-gulana, lama diterpa masalah betapa susah mencari kaya, tiba-tiba tadi kau ucapi selamat dalam rangka kelahiran, sunatan, kawinan, sukses, kematian, atau apa? mungkin ia diam saja, ucapanmu tak begitu mengundang sukacita. atau, setengah janji-maki dalam hati, akan ia bunuh ibu atau kekasihmu di tengah hari. kula’an selamat saja jadi rumit amit-amit, siapa jujur akan dihancur, koq begitu mudah menebar ucap, apalagi tak perlu pakai iman atas nubuat. dahulu kala selamatan menggelar dupa-sesaji, kini cukup obral nafsu memandang deru-nyala kembang-api. apiknya, yang suka selamatan mesti karena kadar percayai sang maha-serba-daya. buruknya, nyaris tak lagi percaya bahwa keselamatan telah diterima sebelum segalanya hampir disesakkan dosa. jadi, selamatan bukan lagi unjuk syukur memuji, tapi sudah jadi syarat sebelum meminta-minta jatah dan pangkat, bahkan mendikte juru selamat agar segera membagi berkat plus bonus zakat.
Jixie mencari berita yang dekat dengan preferensi dan pilihan Anda. Kumpulan berita tersebut disajikan sebagai berita pilihan yang lebih sesuai dengan minat Anda.