Hujan deras sekali, Nak, menderu sejak pagi.
Sederas air mata Emak saat tergagap-gagap melihatmu
sebentar lagi tenggelam, pada air limbah, makin dalam.
Tentu bukan salah Citarum, ia pun semata
menampung endapan keluh-kesah. Sakit dan gundah warga
yang terus disilaukan janji kampanye begitu berlimpah.
Mengusung hitamnya, terus menggunung, serupa sampah.
Entah bagaimana hidup jadi sesengkarut ini
tiap hari kupelihara hati yang rombeng hingga sekali waktu
tersangkut di bantaran kali Cidurian. Ini aku, Nak, Emakmu.
Ibu dari luka demi luka, yang menggores sekujur
dan tak pernah kuperlihatkan padamu perihnya.
Pada sepanjang aliran, pada sepanjang setapak zaman.