Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Janji Setengah Abad Silam

6 November 2014   06:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:30 68 3


LANGIT senja segera berubah kelam tatkala huru-hara terjadi.

“Kebakaran, kebakaran! Gerombolan menyerang!’ teriak orang-orang dari kejauhan. Suara kentongan dititir bersahutan. Warna merah menerangi kawasan sebelah utara yang padat penduduk. Maghrib pecah oleh kekacauan.

Prajurit Kasnomasih nanar memandangi bukit berhutan lebat di punggung sebelah timur Gunung Marbabu. Ke sana gerombolan yang terdiri dari belasan orang tua muda melarikan diri. Fajar belum lagi merekah, dingin udara membekukan kulit.

Sejenak tadi ia sempat terhanyut kantuk manakala bunyi tembakan satu-dua memecah gelap. Sorak-sorai gerombolan disertai sumpah-serapah terdengar saat membakar beberapa rumah, mushola, kandang ternak, dan lumbung padi. Mereka juga mengangkut aneka bahan makanan, dan beberapa ekor kambing, bebek, dan ayam. Kalau punya waktu lebih banyak mungkin sapi juga dibawa. Dan secepat itu mereka menghilang!

Dengan memanggul senapan laras panjang yang tadi dipeluknya, Prajurit Kasno berlari ke arah suara tembakan. Ia sempat membangunkan tiga prajurit lain di asrama.

“Bangun, bangun cepat! Gerompolan datang!” teriaknya sambil menggedor beberapa pintu.

Kasno tunggu, jangan bergerak sendiri, jangan sampai masuk dalam perangkap mereka. . . .!” teriak Prajurit Marjuki yang geragapan bangun.

“Ayo cepat, kalau tidak makin banyak rumah terbakar. . . .!” jawab Prajurit Kasno sambil berlari.

Beberapa prajurit lain terbangun. Dan dengan pakaian seadanya mereka bersiap menghadang gerombolan.

GEROMBOLAN bersenjata itu terbentuk dengan dalih untuk menunjukkan ekspresi ketidakpuasaan terhadap pemerintahan Republik Indonesia Serikat/RIS, terkait dengan persetujuan Konferensi Meja Bundar/KMD. Mereka disebut gerombolan Merapi Merbabu Compleks, atau MMC.

Dalam operasi operasi penumpasan Panglima Divisi Diponegoro mengeluarkan perintah operasi Merapi Merbabu Complek dengan nama  "Merdeka Timur II ".  Delapan Batalyon digerakkan, dibantu kesatuan Teritorial dan polisi, serta banyak organisasi ‑ organisasi gerilya. Organisasi gerilya yang mula‑mula membantu perjuangan belakangnya justru ikut memberontak.

Tapi belakangnya sepak-terjang mereka terbukti hanya sebagai pembenar untuk tindakan mereka menyebarkan paham komunis. Selanjutnya mereka melakukan berbagai tindak kriminal berupa perampokan dan penganiayaan, serta mempengaruhi rakyat untuk menentang pemerintahan! < Rakyat yang terhasut mendukung mereka, namun banyak pula yang karena tertipu, atau bahkan terang-terangan diancam, sehingga jumlah mereka makin banyak.

Untuk memberi peringatan bahwa pihak keamanan sudah bersiaga, Prajurit Kasno melepas beberapa kali tembakan ke udara. Namun pada tembakan ketiga kakinya terantuk batu besar, ia terpelanting jatuh, dan entah bagaimana sebutir peluru  menyasar ke kerumunan orang dari arah berlawanan yang hendak menyelamatkan diri.

Tragisnya peluru itu tepat mengenai dada kanan seorang gadis muda hitam manis. “Mak. . . .aku kenapa?” pekik Surtini terkejut, sambil coba meraih tangan emaknya.

Darah muncrat dari tubuh yang terluka. Prajurit Kasno kaget bukan kepalang. Ia cepat berlari ke arah gadis yang tanpa sengaja ditembaknya itu. Kerumunan orang yang hendak menyelamatkan diri dari kebakaran seketika tercerai-berai. Ada yang menjerit, yang lain berteriak-teriak histeris. Mereka mengira gerombolan bersenjata menghadang dan akan menghabisi mereka.

Surtini jatuh tepat dalam pelukan Prajurit Kasno. Tubuh gadis itu lemas, wajah pucat pasi. . . .! Prajurit Kasno terduduk tak mampu berkata-kata. Kalau saja tadi ia mendengarkan larangan Prajurit Marjuki tentu akan lain kejadiannya. Tapi apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur!

ITULAH sekelumit cerita bapakku saat muda. Detil dan runtut setiap kali bapak bercerita soal kejadian itu. Kami mendengarkannya beberapa kali. Tidak mungkin cerita itu begitu dihafalnya kalau tidak penting menyangkut dirinya. Pada usia tua ia memang sangat sensitif, terutama ingatannya pada kesalahan-kesalahan masa lalu. Kenangan itu seolah menghantuinya. Padahal sebagai tentara  sudah beberapa penugasan di medan perang dijalaninya.

“Namanya Surtini, tiga atau empat tahun lebih muda dari bapak. Waktu itu semua orang panik, bapak sendiri ingin cepat mengejar gerombolan bersenjata. Bapak berjanji padanya, jika umurnya panjang bapak akan mengawininya sebagai penebus kesalahan. . . .!”  suara serak bapak di pembaringannya. Ia memberi penekanan tertentu pada ucapannya, dan di ulang-ulang. Kanker paru-paru menggerogoti kesehatannya. Dokter mem-vonis stadium empat, dan waktu tidak banyak lagi.

“Maksud bapak apa sebenarnya?” tanya kakakku, Mbak Nastiti, setengah berbisik di dekat telinga bapak.

Aku yang berada di dekat tempat tidur ikut menahan nafas untuk mengetahui apa sebenarnya yang diinginkan bapak. Dari tujuh anak, baru kami berdua yang sampai di kota ini. Empat orang kakak mungkin petang atau malam nanti baru datang.

“Apakah kami harus melacak keberadaan Surtini dan keluarganya?” desak mbak Nastiti.

Bapak menggeleng, dengan seulas senyum yang makin sulit dipahami. Sifat bapak memang tertutup pada kami. Sebagai jembatan komunikasi biasanya ibu. Tapi ibu mendahului meninggal lima tahun silam.

Konon ibu dan bapak menikah karena dijodohkan. Sebenarnya bapak merasa berat mengabaikan janjinya untuk menikahi Surtini. Namun untuk menyenangkan orang tua, ia belajar mencintai. Sampai kemudian lahir tujuh anak, dan dua belas cucu.  Hanya aku, si bungsu, yang belum berkeluarga, meski umur sudah hampir empat puluh tahun.

Danti, masuk ke kamar bapak membawa air teh manis hangat, semangkok bubur, dan sayur lodeh kesukaan bapak.

“Makan siang siap, Pak Kasno!” ujar Danti berseloroh. Ia jongkok sejenak di sisi tempat tidur untuk memijit-mijit kaki bapak.

“Ya, Cah Ayu! Kalau kamu yang memasak pasti kuhabiskan. Tapi biarlah kami menyelesaikan obrolan kami dulu. . . . .!” sahut bapak.

Mengetahui ada sesuatu yang mungkin hanya urusan keluarga, Danti minta izin keluar kamar. Kami tidak berkeberatan sebenarnya ia ikut mendengarkan, tapi demi etika memang sebaiknya ia tidak mendengarkan urusan keluarga kami.

Sebenarnya dalam keseharian bapak hanya ditemani Danti. Gadis hitam manis itu bahkan sudah kami anggap sebagai saudara sendiri. Karena kami bertujuh sudah pergi meninggalkan rumah dengan keluarga masing-masing, dan  aku sendiri meneruskan kuliah di kota lain. Karena itu bapak sering menyebut Danti sebagai anak ke delapan. Karena ia mengaku yatim piatu, dan dibesarkan oleh neneknya. Ketika neneknya meninggal Danti pergi mengembara sebagai pengamen, sampai bapak menemukan dan mengajaknya ke rumah. Danti disekelolahkan sejak SD hingga kini mau lulus SMK. Kejujuan dan kesetiaannya pada pekerjaan kentara sekali diajari oleh bapak.

“Bagaimana, Pak, apa kami harus melacaknya?” desak mbak Nastiti sekali lagi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun