Seolah ingin bercerita, tentang kenangan yang terus terngiang di ingatan.
Jalan panjang, pahit getir, pertempuran-pertempuran bersenjatakan keikhlasan, tanpa ada kemenangan ataupun kekalahan.
Saat aku terlahir, merah darah yang mengalir adalah cintamu yang tak akan berakhir.
Selaksa mata air di sunyi perbukitan, gemericiknya riak kecil, nyanyian pohon dan dedaunan.
Hari-harimu, duduk tercenung di sudut beranda depan, sesekali berjalan timpang, ditopang tongkat yang kadang gagal terpegang, saat gemetaran tangan lelahmu menimang-nimang kebahagiaan yang melapuk dalam genggaman.
Di setiap kami, anak-anakmu mengelilingi meja makan dengan lahap menandaskan perih dan jujur pengorbanan, cukup bagimu melukis riuh dan gaduh kami berebutan kasih sayang yang kau terjemahkan dalam secuil kesederhanaan.
Tak tampak rona kesedihan, kecuali gurat kerinduan, yang tersimpan jauh dan dalam, bertakhta di kedua bola matamu yang nanar, mereka-reka jalan hidup yang mungkin tinggal tersisakan sebentar.
Antara kebanggaan dan kesunyian bergelut, menggali mimpi pengembaraan panjang, saat kami menimba air susumu, sumur cinta, kasih sayang keabadian, mengantarkan pada titik kedewasaan dan kemandirian, dan terpaksa melemparkannya jauh ke rimba perantauan.
Menyisakan aku, si bungsu, yang selalu kekanak-kanakan, dan kadang sedikit keras dalam bentakan, dan hanya berbekal hati untuk mendampingimu, menapak jejak sisa umurmu.
Berbekal gubug sempit, berlumur debu, tapi aku melihat kau sungguh nyaman menelusuri lembar-lembar kenangan dan kerinduanmu, dan mengembang senyummu saat cucumu berebut kue apem dan adrem pemberianmu.
Tidak ada ruang kosong di seluruh bilik di hatimu, yang selalu penuh sesak dengan cinta yang bertumbuh beranak-pinak.
Aku sadar, aku bukanlah tokoh utama, yang pantas untuk diceritakan, saat semua anak cucumu berkumpul di hari lebaran.
Jika kakak-kakakku membawakanmu setumpuk oleh-oleh, aneka penganan, baju dan mukena baru, aku hanyalah waktu yang setia menamanimu berhangat di depan tungku selepas subuh berlalu. Atau sekedar tangan yang melumuri kening dan punggungmu dengan param saat kau mendadak demam.
Tapi Ibu, jika berkenan, aku adalah seonggok tanah tempat ibu meludah dubang merah.
Jogja, Februari 2021.