Hingga tiba waktunya jam 11.50, menurut hisab adalah waktunya untuk sholat dhuhur. Bapak pejabat telah selesai membeberkan apa yang harus disampaikan, namun pembawa acara justru mempersilakan peserta untuk berdialog. Secara spontan saya menyela dengan suara lumayan keras ..........."waktunya dhuhur!!!". Si pembawa acara yang kebetulan teman kerja saya dan guru agama menoleh dan berbicara dengan isyarat "mengko dhisik". Sayapun kembali berteriak, "mendhingan ora munggah pangkat tnimbang ora sholat", dan kemudian saya keluar ruangan diikuti dua orang teman.
Salah satu teman kemudian menunju tempat wudhu sesuai yang ditunjukkan tuan rumah. Saya dan satu teman menuju parkiran, mengambil motor dan meninggalkan lokasi untuk mencari masjid terdekat. Tiba di sebuah masjid yang lumayan besar, yang menyatu dengan sebuah TK atau PAUD. Seorang bapak yang kebetulan berada di depan masjid mengatakan bahwa masjid tidak terurus. Ini dapat kita rasakan, bahwa di mesjid yang lumayan bagus dengan fasilitasnya yang lumayan lengkap sama sekali tidak ada kehidupan. Tidak dikumandangkan adzan pada saat dhuhur, serta tidak adanya jama'ah yang datang untuk menunaikan ibadah di mesjid ini. Ketika kami berdua sholat, hanya seorang ibu yang kebetulan tinggal di sebelah masjid yang ikut berjama'ah, padahal jelas waktu itu belum lewat jam 12.00, yang berarti memang baru masuk waktu dhuhur. Sementara si bapak yang kami temui di halaman masjid, ternyata juga tidak menjalankan sholat di masjid tersebut.
Saya jadi teringat salahsatu tulisan saya beberapa waktu yang lalu di Kompasiana ini juga, dengan judul "Masjid, antara Membangun, Merawat, dan Memakmurkan". Bahwa semangat untuk membangun tempat ibadah berupa masjid atau ushala, atau surau, atau langgar, sangat menggebu. Ketika baru memendirikan bangunannya, semua orang bersemangat untuk membantu, namun ketika bangunan masjid, mushala, surau atau langgar itu telah berdiri tegak dengan kokohnya, mereka semua pergi. Mesjid menjadi sepi, mirip sebauah museum tua. Mesjid tinggalah sebagai monumen.