Konon, hiduplah seorang ayah yang kaya raya, beserta kedua anak laki-lakinya yang sangat ia kasihi. Adapun keluarga mereka adalah keluarga terkaya di daerahnya pada masa itu. Mereka tidak hanya memiliki kekayaan dalam bentuk materi, tetapi juga benda, seperti: emas, perak dan ternak yang berlimpah, ribuan hektar lahan perkebunan, ladang, sawah dan ribuan jumlah para pekerja dan pelayan. Semua itu kekayaan yang sudah pasti menjadi hak warisan kedua anaknya.
Adapun sang ayah di usianya yang sudah tidak lagi muda sangat bahagia menikmati masa tua hidupnya bersama kedua anaknya. Rumahnya megah dan mewah, dan di situlah mereka saling bercengkrama, bercanda, tertawa bersama kedua anaknya. Namun si bungsulah sering bersama sang ayah karena usianya yang masih muda dan belum diperkenankan untuk bekerja. Karena itu tak jarang sang ayah kuatir dengan anak bungsunya, yang masih sangat rawan akan pengaruh dan ajakan yang jahat dari teman-teman sebayanya maupun dari orang dewasa lainnya. Bahkan tidak jarang juga sang ayah mengontrol dan memperhatikan si bungsu dengan kasih tanpa harus menghilangkan haknya untuk membuat sebuah keputusan yang baik sesuai hati nuraninya.
Sementara anaknya yang sulung sangat sibuk mengurus lahan perkebunan, ladang dan sawah mereka. Selain itu, si sulung juga sibuk mengawasi, mengontrol dan mengarahkan para pekerja ayahnya supaya tetap bekerja dengan baik. Itulah sebabnya jarang berada di rumah seperti halnya adiknya (si bungsu). Setiap pagi, di pagi-pagi buta ia sudah berangkat. Bahkan ia sering pulang malam dari pekerjaannya, dan begitu seterusnya. Karena itu, sering juga sang ayah menyuruhnya untuk beristirahat yang cukup, menjaga pola makan demi kesehatannya.
Sang ayah merasa sangat bangga pada kedua anaknya. Bahkan tidak jarang sang ayah terbangun di tengah malam, kemudian membuka pintu kamar anaknya satu persatu untuk melihat keadaan mereka. Saat anak-anaknya tidur dengan nyenyak, sang ayah juga sering memperbaiki selimut yang jatuh ke lantai, serta membelai rambut dan mencium kening mereka dengan kasih. Sang ayah selalu berharap supaya mereka selalu menjadi anak yang baik dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan kebenaran. Bahkan tidak jarang juga sang ayah meneteskan air mata karena rasa haru, sukacita, bahagia dan kasihnya yang amat besar, yang tak dapat diukur dan yang tak ternilai harganya dan yang tak terungkapkan dengan kata-kata.
Pada suatu ketika, di saat yang tak diduga-duga, saat yang tak terpikirkan oleh sang ayah, yaitu di mana anaknya yang bungsu meminta seluruh harta, hak dan warisan yang menjadi bagiannya secara paksa. Penulis buku Lukas mencatatkan kalimat yang diungkapkan si bungsu terhadap sang ayah secara gamblang demikian: Bapa, berikanlah kepadaku bagian harta milik kita yang menjadi hakku (Lukas 15:12). Mendengar kalimat itu, sang ayah terkejut dan bertanya mengapa si bungsu melakukannya. Tetapi dengan suara keras si bungsu langsung membentak sang ayah bahwa ia akan pergi ke negeri jauh. Kemudian sang ayah bertanya lagi: ke negeri jauh di mana nak, dan apa nama daerahnya? Tetapi lagi-lagi dengan nada keras dan membentak si bungsu berkata: bapa tidak perlu tahu negeri jauh yang akan aku tuju, cepat bagi harta kita untuk ku!!!.
Akan tetapi sang ayah tetap menjawab dengan nada sopan dan lembut serta penuh dengan belas kasihan. Namun, setelah beberapa hari merayu, memohon, menasihati dan mempertimbangkan matang-matang keputusan si bungsu yang akan pergi jauh meninggalkan ayahnya, kakak sulungnya dan tempat kelahiran, akhirnya sang ayah membagi dan memberikan harta yang menjadi hak warisan sesuai permintaan si bungsu. Dengan berat hati sang ayah merelakan dan mengizinkan kepergian anak bungsunya yang sangat ia dikasihi. Sang ayah sangat kuatir pada anaknya itu, karena ia belum bisa bekerja seperti anak sulungnya. Si bungsu juga belum bisa mengarahkan hidupnya sendiri pada hal-hal yang dapat merusak masa depannya.
Meskipun demikian, sang ayah tetap menghormati dan menghargai keputusan si bungsu untuk pergi ke negeri jauh sesuai keinginannya. Sebelum pergi, si bungsu terlebih dahulu menjual harta benda. Penulis buku Lukas menuliskan demikian: Beberapa hari kemudian anak bungsu itu menjual seluruh bagiannya itu lalu pergi ke negeri yang jauh. Di sana ia memboroskan harta miliknya itu dengan hidup berfoya-foya (Lukas 15:13). Di negeri jauh itu, si bungsu memuaskan hawa nafsunya bersama para pelacur dan hidup dalam perjudian hingga semua hartanya habis total sehingga ia menjadi melarat dan hidup dalam kelaparan. Akhirnya, ia mengemis ke sana sini, memungut makanan-makanan sisa di tempat-tempat sampah. Hidupnya sangat menderita. Itulah sebabnya, ia berusaha mencari pekerjaan yang layak supaya dapat hidup. Dari satu tempat ke tempat yang lain ia melamar pekerjaan, namun tak seorang pun yang memberinya kesempatan untuk bekerja.
Sedangkan, ayahnya di rumah, setiap hari, sepanjang waktu dan bahkan bertahun-tahun selalu menantikan dan mengharapkan anaknya yang bungsu itu pulang atau kembali rumah. Setiap hari sang ayah duduk dan berdiri di depan rumah dan menajamkan pandangan matanya yang sudah rabun ke ujung jalan. Bertahun-tahun di setiap harinya sang ayah menunggu anaknya yang bungsu pulang itu pulang ke rumah, tetapi tak juga kunjung datang.
Sementara si bungsu sudah merasa pasrah akan hidup di negeri jauh. Ia merasa sudah tak ada lagi harapan hidup. Itulah sebabnya, ia memutuskan untuk bekerja sebagai penjaga ternak babi di ladangnya. Tetapi ia pun tidak diberi makan oleh majikannya. Ia sangat kelaparan dan melarat. Penulis buku Lukas mengatakan, bahwa ia (si bungsu) berusaha mengisi perutnya dengan ampas yang menjadi makanan babi, tetapi tak seorang pun memberikannya kepadanya (Lukas 15:14-16).
Di dalam kemelaratan, kesusahan dan penderitaan yang dialaminya ia menyesal, sadar dan berkata pada dirinya: Betapa banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan. Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap surga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa (Lukas: 15: 17-19). Setelah ia mengatakan demikian, penulis buku Lukas melanjutkan ceritanya: Maka bangkitlah ia dan pergi kepada bapanya. Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia (Lukas 15:20).
Refleksi:
Bukankah dalam kehidupan ini kita juga sering menyakiti dan menghianati Tuhan seperti yang dilakukan oleh si bungsu di atas? Tidak jarang kita memaksa Tuhan untuk memberikan segala sesuatu yang kita inginkan sesuai yang kita harapkan. Setelah mendapatkannya kemudian kita pergi jauh melupakan, meninggalkan dan menghianati-Nya. Bahkan tidak jarang Tuhan menangis karena kelakukan dan perbuatan kita yang sering menyakiti hati-Nya. Namun begitu, apapun keadaan kita, seberapa sering kita mendustai dan menghianati-Nya, Dia tetap dan selalu menunggu kita kembali kepada-Nya. Dia pasti sangat merindukan kita.
Begitulah juga Tuhan memperlakukan kita. Semua dilakukan karena Dia sangat mengasihi kita, dan Dia berharap kita juga seharusnya melakukannya (mengasihi-Nya). Bagaimana caranya kita dapat mengasihi Tuhan? Yesus mengatakan: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku (Matius 25:40). Karena itu janganlah pernah berhenti mengasihi seorang akan yang lain! Itulah pesan Natal yang Yesus titipkan kepada para pengikut-Nya.