Palangka Raya adalah kota cantik. Bukan karena ceweknya cantik-cantik seperti di Bandung, tapi karena memang rupanya mempesona. CANTIK juga moto kota ini yang berarti TerenCana, Aman, Nyaman, Tertib, Indah dan Keterbukaan. Waktu pertama kali tiba di kota terluas di Indonesia ini, saya terpesona oleh planologinya yang apik. Jalan-jalannya lebar, halaman gedung dan perkantoran luas, horison pun terlihat lebih leluasa. Wajar saja, karena luas daerah sebesar 2.600 kilometer persegi tersebut hanya diisi oleh sekitar 200 ribu warga. Aku bangga pernah menjadi salah satu warganya. Juga perlu diketahui bahwa salah satu kota di dunia ini yang memiliki areal hutan di dalamnya adalah Palangka Raya.
Aku tahu apa rasanya hidup di Jakarta. Aku juga apa rasanya hidup di Bumi Tambun Bungai.Terus terang secara pribadi aku punya ikatan batin dengan Palangka Raya. Cerita asmaraku tertulis dengan air mata tanpa warna di kalbu kota ini. Seorang gadisnya pernah hampir kunikahi. Sebenarnya itu mengecewakan. Aku yang sudah menghabiskan masa bakti PTTku di jantungnya pedalaman Borneo, masakan tidak berhak untuk mendapat jantung hatinya? Hehe, itu salah satu nostalgiaku yang pahit. Tapi aku percaya bahwa ada begitu banyak cerita manis yang kurajut dalam penguatan sektor kesehatan di tanah itu. Karena aku telah berpindah tempat tugas di beberapa kabupatennya, aku telah merasakan alam pikir berbagai suku Dayak di sana. Alam pikiran yang arif kendati bersahaja.
Uff, kembali ke ibukota. Jakarta vs Palangka Raya bukan hanya bicara kemacetan lalu lintas vs keleluasaan ruang gerak. Juga bukan hanya antara kota knalpot vs paru-paru dunia. Jakarta adalah penghasil karbon. Sebaliknya Palangka Raya adalah penyerap karbon.
Bayangkan sebuah ibukota dengan wajah pedesaan, dengan ciri kawasan hutan dan kawasan sungai/danau yang masih asli, flora/fauna lokal yang khas dan eksotik. Bayangkan sebuah ibukota dengan hutan asli di dalamnya. Ada Taman Nasional di Palangka Raya loh. George Soros, pengusaha ternama di dunia asal Amerika Serikat, yang juga penasihat khusus Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang perubahan iklim, baru-baru ini berkunjung ke Kalimantan Tengah.
Selama tiga hari kunjungannya, 24-26 Juli 2010, Soros berkesimpulan bahwa Kalimantan Tengah memiliki kepedulian terhadap lingkungan hidup. Kalteng juga dianggap memiliki konsep bagus untuk merehabilitasi PLG dan kebijakan pembangunan yang memerhatikan lingkungan, misalnya, adanya kebijakan green government policy (GGP).
Jakarta adalah kota berisiko tinggi. Rawan gempa karena terletak di dalam ring of fire. Jakarta rawan banjir dan suatu saat mungkin akan tenggelam. Palangka Raya tidak memiliki ciri-ciri itu.
Jakarta dipaksakan secara geopolitis sebagai titik tengah Indonesia, tapi Palangka Raya lebih tepat menyandang gelar itu.
Palangka Raya adalah kota pegawai negeri. Mobil-mobil yang berseliweran di jalan berplat merah, dan penduduknya "PNS minded". Kultural ini cocok sebagai pusat pemerintahan, kan?
Keunikan Palangka Raya lainnya adalah kerukunan umat beragamanya. Di salah satu sudut kota, ada sebuah gedung gereja yang berbagi salah satu sisi tembok dengan mesjid tetangganya. Di kota inilah kita bisa melihat gedung gereja dan pura Hidu Kaharingan sebanyak jumlah mesjid...
Embrio Palangka Raya adalah Desa Pahandut di tepi Sungai Kahayan dan kelahirannya ditahbiskan dalam UU Darurat No. 10/1957 tentang Pembentukan Daerah Swatantra Tingkat I Kalimantan Tengah.
Kota ini mempunyai ikatan batin yang kuat dengan presiden pertama Indonesia. Bukan hanya dekat dengan Tjilik Riwut, Pahlawan Nasional yang menjadi Gubernur pertama Kalimantan tengah. Kota ini sebagai ibukota Indonesia sudah ada dalam benak Soekarno. Selain itu banyak pemikiran Sukarno yang menjadi dasar perancangan Palangka Raya mulai dari bundaran besar, taman kota, tiang pancang, istana, bundaran kecil, dan kawasan lainnya. Konon katanya, kekecewaan Soekarno atas bundaran HI di Jakarta, terobati oleh hadirnya bundaran besar di Palangka Raya.
Dengan makin gencarnya wacana pemindahan ibukota RI, nama Palangka Raya semakin naik daun. Saat ini dari banyak segi, Palangka Raya memang belum siap. Infrastruktur yang ada belum mampu menampung kebutuhan sebagai ibukota negara. Tapi spiritnya sudah melebihi kelemahan yang ada. Gubernur Teras Narang tidak perlu berkecil hati kalau Menteri Dalam Negeri menganggap dingin wacana hangat ini.
Dana pembangunan adalah isu krusial. Tapi daripada dana negara dikorupsi oleh para pejabatnya lebih baik dialihkan ke persiapan pemindahan ibukota. Demikian juga pembangunan Jembatan Sumatera-Jawa bisa ditangguhkan, dan anggarannya bisa dialihkan.
Isu terbesar sebenarnya bukan dana tapi kemauan politik para elit negeri ini yang merasa nyaman di Jakarta.