Mohon tunggu...
KOMENTAR
Healthy Pilihan

Pembinaan Kesehatan Gigi dan Mulut Nasional dalam Lorong yang Gelap

28 Januari 2015   06:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:15 720 0

Oleh: Sugeng Winarno

DALAM komunikasi yang biasa dibangun oleh penceramah agama, kesehatan merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa, oleh karenanya untuk mendapatkan anugerah itu manusia diwajibkan ikhtiar kartena ia tidak datang dengan sendirinya, dan juga perlu disyukuri. Bila ikhtiar itu sengaja tidak dilakukan maka azab yang pedih sudah menanti kelak di akherat. Sedangkan dalam komunikasi melalui bahasa hukum bernegara, kesehatan adalah hak dasar setiap orang, baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat, sebagaimana tertuang di dalam konstitusiUUD NRI 1945. Lantas bagaimana kalau negara lalai dalam menjalankan tugasnya, sehingga kesehatan masih menjadi beban yang memberatkan warga karena mahal dan sulit dijangkau, apakah sanksinya hukumnya berupa azab yang pedih pula ?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, biarlah para pakar hukum tata negara, perdata atau bahkan pidana (mungkin) yang dapat menjelaskan secara benar. Dalam makalah ini, penulis memanfaatkan kebebasan berekspresi yang juga merupakan bagian dari hak dasar setiap warga, yaitu untuk mengkritisi salah satu kebijakan kesehatan dalam pembinaan kesehatan nasional khususnya di bidang gigi dan mulut yang disusun oleh unsur kekuatan utama (leading sector) di republik ini, yaitu Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI.

Pembangunan nasional di bidang kesehatan, menurut undang-undang 36 tahun2009 tentang Kesehatan, pengelolaannya dilaksanakan secara lintas program dan sektor yang didukung oleh Lembaga Pemerintah Kementerian Lain atau Lembaga Pemerintah Non Kementerian serta pihak swasta, melalui sebuah Sistem Kesehatan Nasional (SKN) sebagaimana dituangkan di dalam Perpres 72 tahun 2012, yaitu bahwa pengelolaan kesehatan diselenggarakan oleh semuakomponen bangsa Indonesia secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

Dalam pelaksanaan pembangunan nasional bidang kesehatan yang telah dilakukan hingga tahun 2014 lalu, Kemenkes RI telah berupaya mewujudkan visinya yaitu “masyarakat sehat yang mandiridan berkeadilan”. Namun hingga tahun begeser di angka 2015 ini,khususnya dalam pembinaan kesehatan bidang gigi dan mulut, apakah masyarakat Indonesia sudah mandiri dalam melakukan upaya kesehatannya, baik secara perorangan (UKP) maupun berbasis kemasyarakatan (UKM), serta sudah mendapatkan keadilan ketika mempunyai masalah gigi dan kemudian berobat ke fasilitas kesehatan milik pemerintah? Beberapa data hasil survei mulai dari taun 2009 hingga tahun 2013 menunjukkan bahwa permasalahan tersebut saat ini belum dapat teratasi.

Penelitian terakhir tentang kondisi kesehatan di Indonesia baru saja dilaksanakan dan laporannya dirilis pada tahun2013 yang lalu. Hasil survei pemeriksaan kesehatan dasar (rikesdas) tersebut diperoleh data bahwa angka prevalensi nasional masalah gigi dan mulut adalah 25,9 persen, dan bahkan sebanyak 14 provinsi mempunyai prevalensi masalah gigi dan mulut diatas angka nasional tersebut. Dari masalah tersebut lebih dari 75% nya adalah berupa karies dan penyakit periodontal. Ditemukan pula sebagian besar penduduk Indonesia menyikat gigi pada saat mandi pagi maupun mandi sore, (76,6%) kemudian yang sangat menyedihkan adalah cara menyikat gigisecara benar yaitu setelah makan pagi dan sebelum tidur malam, untuk Indonesia ditemukan hanya 2,3 %!

Lebih jauh ke belakang lagi, penyakit gigi dan mulut ini pada tahun 2009 menurut data dari Ditjen Yanmed Depkes RI tahun 2010 yang lalu, posisinya menduduki peringkat ke-8 dari sepuluh besar penyakit rawat jalan (lihat tabel di bawah).

Dari data sekunder tersebut diatas baik yang 2009 maupun 2013, dapat diasumsikan bahwa permasalahan kesehatan gigi dan mulut yang berkembang di tengah masyarakat tidak kunjung teratasi. Satu dari empat orang secara nasional pasti mempunyai masalah dengan giginya, bahkan hampir separoh wilayah di Indonesia (14 propinsi)yang angka prevalensinya melebihi angka nasional tersebut. Kondisi tersebut salah satu mata rantai penyebabnya adalah perilaku hidup sehatnya yang dapat dilihat dari indikasi cara melakukan sikat gigi teratur dan benar yang masih sangat rendah. Hal ini mencerminkan bahwa pembangunan kesehatan secara nasional khususnya bidang gigi dan mulut masih belum berhasilmemenuhi harapan bangsa, sebagaimana “janji” yang tercantum dalamvisi Kemenkes RI 2014.

Menyikapi adanya permasalahan tersebut, menurut penulis ada sejumlah persoalan sebagai faktor penyebabnya. Pertama, pennyebaran tenaga dokter gigi yang tidak merata karena menumpuk di sebagian besar pulau jawa dan kota-kota besar di luar jawa. Sebenarrnya hal ini sudah menjadi masalah klasik sejak jeman masih ada program penempatan WKS (Wajib Kerja Sarjana) yang berakhir di era 90 an, kemudian berganti program menjadi PTT (Praktek Tidak Tetap) yang hingga saat ini masih berjalan di sebagian wilayah sebagai daerah tujuan terutama di DPTK (Daerah Perbatasan, Terpencil Dan Kepulauan Terluar). Tetapi tetap saja selama pengabdiannnya bagik WKS yang langsung diangkat menjadi pegawai negeri maupun PTT yang sesudah pengabdiannya dibebaskan apakah mau menjadi pegawai pemerintah (melalui seleksi untuk menempati formasi yang kosong) atau praktek mandiri, ada kecenderungan untuk merapat ke kota-kota besar dengan berbagai alasan. Biasanya selain karena alasan jabatan, juga karena merintis praktek mandiri atau melanjutkan sekolah ke jenjang spesialis atau magister. Selaiin itu, mahasiswa FKG di seluruh Indonesia, baik dari perguruan tinggi negeri maupun swasta, mayoritas adalah perempuan dan setelah lulus kemudian menikah kecenderungannya akan mengikuti suami dimana ia bertugas baik sebagai pegawai pemerintah maupun swasta. Pada Tabel di bawah ini menggambarkan jumlah SDM Dokter Gigi yang tersedia di Tiap Propinsi per Desember 2009 serta SDM Dokter Gigi di Puskesmas tahun 2009 ( Sumber : Yanmed, Depkes, 2009)

Persoalan kedua, kekuranganrasio dokter gigi per 100 ribu penduduk. Indikator Indonesia Sehat 2010 yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 2003, rasio dokter gigi per-100.000 penduduk adalah 11, artinya target ideal dalam penyediaan tenaga kesehatan di Indonesia untuk dokter gigi adalah 11 orang untuk setiap 100.000 penduduk. Namun kenyataan di lapangan menurut Profil Kesehatan Indonesia 2009 dari data potensi desa menunjukkan bahwa jumlah tenaga dokter gigi pada tahun 2009 sebanyak 9.774 orang dengan rasio sebesar 4,22 dokter gigi per 100.000 penduduk dengan kisaran antara 1,56 -17,67 dokter gigi per 100.000 penduduk. Propinsi dengan rasio tertinggi adalah Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar 12,65 dokter gigi per 100.000 penduduk, sedangkan terendah adalah Sumatera Selatan dengan rasio 0,73 dokter gigi per 100.000 penduduk.

Persoalan ketiga, upaya kesehatan yang dikembangkan hingga saat ini lebih banyak ke arah kuratif dan rehabilitatif dengan pendekatan basis kesehatan perorangan (UKP) ketimbang promotif dan preventif yang berbasis kesehatan masyarakat (UKM). Hal ini dapat terjadi oleh karena program pendidikan lanjutan bagi dokter gigi kecenderungannya adalah animo masuk ke Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis (PPDGS) jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Program Pendidikan Magister kesehatan masyarakat.

Persoalan keempat, pengemban tugas jabatan struktural di organisasi Kemenkes RIselaku konseptor program pembangunan kesehatan bidang gigi dan mulut secara nasional berada pada salah satu ranting kecil di bawah Direktorat Pelayanan Kesehatan Dasar lingkungnan Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan, yaitu Kepala Sub Direktorat Bina Pelayanan Kesehatan Gigi dan Mulut (Kasubdit Binyankesgilut). Subdit ini mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria, serta bimbingan teknis, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang bina pelayanan kesehatan gigi dan mulut. Dalam melaksanakan tupoksinya subdit ini di dukung oleh dua staf kepala seksi, yaituSeksi Standardisasi yang melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pelayanan kesehatan gigi dan mulut sertaSeksi Bimbingan dan Evaluasi yang melakukan penyiapan bahan bimbingan teknis, pemantauan, dan evaluasi, serta penyusunan laporan di bidang pelayanan kesehatan gigi dan mulut.

Dihadapkan dengan luasnya bidang pembangunan kesehatan gigi dan mulut, selain apa yang secara eksplisit tertuang di dalam pasal undang-undang kesehatan, yaitu pelayanan kesehatan perorangan, pelayanankesehatan masyarakat serta usaha kesehatan gigi sekolah, juga ada beberapa program kegiatan yang secara defakto eksis di tengah masyarakat, sebagai bagian dari sumber daya nasional bidang kesehatan gigi dan mulut,juga memerlukan pembinaan oleh Kemenkes RI. Kepala Subdit binyankesgilut, dengan kedudukannya pada level eselon III, rasanya sulit untuk dapat menjangkau melalui kebijakan yang disusunnya terhadap semua aset sumber daya nasional bidang kesehatan. Salah satu contohnya adalah Ikatan Peminatan Kedokteran Gigi Militer (Ipadokgimil) yang saat ini secara kelembagaan sekretariatnya beradaan di Lembaga Kedokteran Gigi TNI AL RE Martadinata (Ladokgi REM) Jakarta dan ketuanya dijabat oleh Kepala Ladokgi REM (ext officio). Salah satu program kerja peminatan yang beranggotakan para dokter gigi militer dari tiga angkatan (AD, AL dan AU serta Polri) ini adalah pengembangan Ilpengtek Forensik melalui pengelolaan data ante mortem dan post mortem, yang nyata-nyata sangat berguna dalam proses identifikasi korban akibat bencana ataupun sebab lain. Sayangnya, kegiatan ini lebih banyak berkembang secara mandiri terutama di lingkungan internal TNI dan Polri. Sebagai aset bangsa di bidang kesehatan, sudah semestinya jika pembinaannya ada campur tangan dari Kemenkes RI yang memiliki otoritas selaku unsur utama dalam proses pembangunan nasional di bidang kesehatan.

Rekomendasi.

Untuk mengakhiri tulisan ini, penulis berpendapat bahwa pembinaan kesehatan nasional bidang gigi dan mulut, hingga saat ini pemerintah masih belum memberikan perhatian yang serius dan komprehensif sebagaimana amanat konstitusi. Oleh karena itu, agarterwujud cita-cita nasional yaitu derajat kesehatan yang setinggi-tingginya serta visi Kemenkes RI, maka beberapa hal berikut kiranya dapat digunakan sebagai bahan pemikiran untuk menyusun kebijakan lebih lanjut. Pertama, untuk mengatasi adanya disparitas dan rasio jumlah dokter gigiper 100.000 penduduk, sebagai program jangka menengah dan panjang maka perlu difasilitasi dan didorong agar daerah mau mendirikan fakultas kedokteran gigi, khususnya di wilayah Indonesia bagian Timur. Sedangkan untuk jangka pendek para kepala daerah agar menginvestasikan warganya untuk dididik sebagai dogter gigi di berbagai FKG di tanah air dan kelulusannya dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh daerah dengan insentif yang lebih dari cukup. Kedua, untuk memperbesar porsi UKM daripada UKP bidang pelayanan kesehatan gigi dan mulut perlu diberikan insentif serta kewenangan yang memadahi bagi para praktisi dokter gigi maupun lulusan Akademi Kesehatan Gigi(AKG) yang mengambil peran dalam mengemban tugas pembinaan kesehatan berbasis komunitas. Ketiga, perlunya peningkatan jabatan struktural yang membidangi pembinaan kesehatan gigi dan mulutdi postur organisasi Kemenkes RI. Keempat, perlunya setiap elemen bangsa, baik unsur utama maupun unsur lainnya sebagai pendukung, selaku pemangku kepentingan pembangunan nasional kesehatan bidang gigi dan mulut merapatkan barisan untuk konsolidasi agar program-program kegiatan yang sedang dan akan dilaksanakan dapat terintegrasi sehingga memiliki daya ungkit kuat dalam mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Semoga pembinaan kesehatan gigi dan mulut secara nasional berada pada jalur yang terang benderang.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun