Menjadi hal yang biasa terjadi di Indonesia seperti nampak di channel-channel TV tanah air adalah seringnya dipertontonkan adegan antrian panjang demi menukar kupon daging kurban. Hal ini menurut saya sangat tidak enak dilihat. Kenapa sih mesti mengantri daging kurban? Kenapa mesti harus berdesak-desakkan yang akhirnya terkadang sampai ada yang terjatuh, terinjak-injak, bahkan sampai jatuh pingsan.
Boleh dibilang sudah susah ketimpa tangga pula. Saya nggak tahu pepatah ini tepat atau nggak. Coba bayangkan, kebanyakan para pengantri ini adalah mereka yang masuk dalam golongan ekonomi lemah. Nggak semua si, karena ada juga yang mungkin saja mampu, tapi ingin merasakan daging kurban juga. Yang sangat disayangkan adalah kenapa adegan antri mengantri daging kurban dari tahun ke tahun kok mesti terjadi terus menerus.
Saya masih ingat dulu ketika saya tinggal di desa. Saat itu sekitarĀ 10 tahunan yang lalu. Walaupun saya tinggal di desa, tetapi ada juga yang mempunyai kemampuan dan kesadaran untuk melaksanakan kurban. Nggak semua loh orang mampu itu berkurban. Kalau tidak dengan kesadaran dan keimanan tentu mereka tak akan berkurban. Menjadi yang menarik bagi saya adalah, adegan antri mengantri daging ini tak pernah terjadi di kampung saya.
Apa yang kita lakukan saat itu? Saya hanya sekedar berbagi disini. Mungkin para panitia kurban di tingkat yang lebih besar bisa mencontohnya. Waktu itu yang kita lakukan pertama kali adalah mendata semua calon penerima daging kurban. Selanjutnya kita membagi daging kurban dalam bungkusan sejumlah penerima tadi. Diangkut dengan gerobak, kita bawa keliling kampung daging kambing yang telah terbungkus rapi tadi. Kita datangi satu per satu rumah dan kita bagikan. Dan respon penerima daging pun sangat luar biasa. Mereka sangat senang sekali.
Demikian sekedar sharing, semoga yang kecil ini bisa menjadi inspirasi dan mencegah adegan antri mengantri daging kurban tak perlu terjadi lagi. Adegan terinjak-injak, terjatuh atau sampai pingsan saat mengantri janganlah terjadi lagi.
Wallahua'lam bishowab
Dukhan, 7 November 2011
Sugeng Bralink