Bilik-bilik santri di pesantren ini berukuran sedang, dan cukup sebagai tempat tidur dan lemari sederhana. Setiap santri harus berbagi kamar dengan beberapa santri lainnya, menciptakan suasana yang penuh dengan keakraban. Panasnya siang dan dinginnya malam harus mereka terima dengan ikhlas, sementara nyamuk dan serangga malam terkadang menjadi teman setia mereka setiap malam.
Salah satu santri yang menjalani kehidupan berat ini adalah Taba. Berusia 16 tahun, Taba berasal dari sebuah desa di pelosok Jambi. Ia adalah anak bungsu dari empat bersaudara, dan satu-satunya yang diberi kesempatan oleh orang tuanya untuk menimba ilmu di pesantren seberang pulau. Taba menyadari bahwa ini adalah peluang emas untuk mengubah nasib keluarganya, dan dengan tekad yang bulat, ia meninggalkan rumahnya dan memulai perjalanan panjang menuju Pesantren Darussalam.
Setiap hari di pesantren dimulai sebelum fajar. Taba dan teman-temannya harus bangun pukul setengah empat pagi untuk melaksanakan shalat tahajud dan shalat subuh berjamaah. Setelah itu, mereka mengikuti pengajian pagi yang dipimpin oleh Kiai, seorang ulama yang dihormati dan disegani di pesantren tersebut. Dalam pengajian ini, para santri belajar tafsir Al-Quran, hadits, dan fiqh. Namun, memahami teks-teks klasik berbahasa Arab bukanlah hal yang mudah bagi Taba.
Bahasa Arab dengan segala kerumitan gramatikanya menjadi tantangan terbesar bagi para santri. Taba seringkali harus berjuang keras untuk bisa memahami satu ayat atau hadits. Ia menghabiskan waktu berjam-jam di ruang madrasah, mencatat setiap penjelasan yang diberikan oleh bapak Kiai dan berusaha menghafal sebanyak mungkin. Tidak jarang, ia merasa frustasi dan putus asa ketika merasa usahanya tidak membuahkan hasil yang memuaskan.
Selain itu, Taba dan teman-temannya juga harus menghadapi ujian-ujian yang ketat. Setiap minggu, mereka diuji hafalan dan pemahaman mereka tentang materi yang telah diajarkan. Bagi Taba, ini adalah saat-saat paling menegangkan. Ia sering merasa gelisah dan kurang tidur karena khawatir tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.
Namun, di balik semua penderitaan dan kesusahan itu, Taba menemukan kekuatan dalam ikhtiar batiniahnya. Setiap kali merasa putus asa, ia selalu teringat pesan ayahnya sebelum berangkat ke pesantren, "ingat, ilmu itu cahaya. Dan untuk mendapatkan cahaya, kamu harus siap menghadapi gelap." Kata-kata itu selalu terngiang di telinganya, memberikan semangat untuk terus berjuang.
Taba mulai mengembangkan kebiasaan untuk selalu berdoa sebelum belajar. Ia percaya bahwa usaha tanpa doa adalah kesombongan, dan doa tanpa usaha adalah kesia-siaan. Setiap malam sebelum tidur, ia menyempatkan diri untuk shalat hajat, memohon kepada Allah agar diberi kemudahan dalam memahami ilmu yang sedang dipelajarinya. Di saat-saat sulit, ia juga sering berkhalwat, menyendiri di dalam kamar kecilnya, merenungkan makna hidup dan tujuan dari perjuangannya.
Ikhtiar batiniah lainnya yang dilakukan oleh Taba adalah dengan selalu bersikap tawakal. Ia menyadari bahwa hasil akhir dari usahanya bukanlah berada di tangannya, melainkan di tangan Allah. Sikap ini membantunya untuk tetap tenang dan sabar menghadapi setiap ujian dan tantangan. Ia belajar untuk tidak terlalu keras pada dirinya sendiri dan menerima setiap kegagalan sebagai bagian dari proses belajar.
Di tengah perjalanan panjang ini, Taba tidak sendirian. Teman-teman santri lainnya juga mengalami kesulitan yang sama, dan mereka saling mendukung satu sama lain. Mereka sering mengadakan diskusi kelompok untuk saling berbagi pemahaman dan memperdalam ilmu. Dalam kebersamaan ini, mereka menemukan kekuatan yang luar biasa. Mereka belajar untuk tidak hanya mengandalkan diri sendiri, tetapi juga untuk bekerja sama dan saling membantu.
Waktu terus berlalu, dan perlahan tapi pasti, Taba mulai merasakan perubahan. Hafalan-hafalan yang dulu terasa berat kini menjadi lebih mudah. Pemahaman tentang fiqh dan hadits yang dulu membingungkan, kini mulai terasa masuk akal. Ia mulai meraih prestasi dalam ujian-ujian mingguannya. Setiap pencapaian kecil ini menjadi penyemangat bagi Taba untuk terus maju.
Akhirnya, setelah bertahun-tahun berjuang, Taba berhasil menyelesaikan pendidikannya di pesantren. Ia lulus dengan nilai yang memuaskan dan diakui sebagai salah satu santri terbaik. Perjalanan yang penuh dengan penderitaan dan kesusahan ini telah membentuknya menjadi pribadi yang kuat dan berpengetahuan. Ia kembali ke desanya dengan membawa cahaya ilmu yang telah ia dapatkan, siap untuk membagikan dan mengamalkan ilmu tersebut demi kemaslahatan umat.
Cerita Taba adalah cermin dari perjuangan banyak santri di pesantren-pesantren di seluruh Indonesia. Mereka adalah pejuang ilmu yang tidak kenal lelah, yang rela mengorbankan kenyamanan demi mengejar pengetahuan dan kebijaksanaan. Di balik bilik-bilik pesantren yang sederhana, tersimpan kisah-kisah heroik tentang ketekunan, keikhlasan, dan ikhtiar batiniah yang luar biasa. Dan pada akhirnya, setiap tetes keringat dan air mata mereka adalah langkah menuju cahaya ilmu yang akan menerangi kehidupan mereka dan orang-orang di sekitar mereka.