Perubahan teknologi tidak hanya sekadar mengganti alat atau sistem lama dengan yang baru. Ini melibatkan perubahan pola pikir, kebiasaan, serta adaptasi terhadap proses baru. Di sinilah tantangan terbesar muncul. Sebuah perguruan tinggi yang berusaha menerapkan sistem informasi manajemen modern, seperti Enterprise Resource Planning (ERP) atau Learning Management System (LMS) berbasis cloud, sering kali mendapati resistensi dari para penggunanya. Meskipun teknologi ini dirancang untuk mempercepat pencapaian akreditasi unggul dan akreditasi internasional, penerapannya dapat terhambat oleh ketidakmauan sebagian individu untuk berubah.
Sama halnya dengan individu, institusi sering kali mencerminkan pola pikir dan perilaku para anggotanya. Ketika individu, baik staf, dosen, maupun pimpinan sulit beradaptasi terhadap perubahan teknologi dan pola kerja digital, upaya institusional untuk mencapai target besar tersebut menjadi lebih lambat dan penuh tantangan. Meskipun perguruan tinggi sudah menyusun strategi dan rencana aksi yang jelas, perubahan budaya dan perilaku sering kali menjadi penghalang yang sulit ditembus.
Mengapa resistensi ini terjadi? Mengapa individu dan organisasi merasa sulit untuk berubah meskipun perubahan tersebut merupakan kebutuhan? , dengan meminjam perspetikf psikologi, mari kita coba  memahami mekanisme mendasar yang menyebabkan manusia dan, secara lebih luas, organisasi perguruan tinggi cenderung sulit berubah, meskipun dihadapkan pada tuntutan peningkatan mutu, penerapan teknologi informasi, dan daya saing global.
Pembentukan Keyakinan yang Mendalam