Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Kejepit yang Enak

3 Maret 2010   05:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:38 448 0
Harus diakui beberapa dari kita kurang menyukai kata-kata kejepit. Kalau kita mendengar kata kejepit  maka yang langsung terbayang dalam benak kita adalah suatu keadaan yang tidak enak atau tidak nyaman. Jangankan untuk merasakan, hanya untuk sekedar membayangkan pengalaman itu saja, rasanya kita sudah tidak nyaman. Itu wajar, karena pada dasarnya manusia memang selalu  menyenangi hal yang enak-enak dan menghindari hal yang tidak enak, untuk itu manusia cenderung bersikap untuk menghindarinya dengan segala cara. Bayangan-bayangan tidak enak itu misalnya ada saat kita terjepit dalam bus atau keretaapi yang penuh sesak penumpang, atau terjepit dalam antrian panjang di swalayan atau bioskop. Apalagi saat kita terjepit dalam situasi dimana kita harus memilih antara keinginan untuk cepat pulang menemui keluarga tersayang atau terus lembur untuk menyelesaikan pekerjaan yang sempat tertunda agar tidak dimarahi bos kita esok pagi. Rasanya, kita tidak bisa berbuat hal lain karena memang kita tidak punya banyak pilihan. Kita pun ingin cepat-cepat keadaan yang tidak mengenakan itu berlalu dari kehidupan kita. Atau malah kita berharap bisa menghilang beberapa saat agar kita bisa menghindari situasi itu.  Atau bahkan kita berharap ingin mengubah masalah itu agar tidak menjepit kita lagi atau melompatinya saja. Beruntunglah saya bisa bertemu dan mampu menyikapi situasi-situasi itu sudah barang tentu dengan menggunakan cara pandang yang lain. Sehingga situasi kejepit itu tidak lagi menekan dan menghantui pikiran saya. Malah membuat saya semakin bergairah dan menjadikan hidup ini lebih bermakna. Dan yang paling penting adalah saya bisa mendapatkan hikmah dari situasi ini. Saya “terjepit” menjadi pendidik di sebuah lingkungan sekolah yang islami. Paling tidak menurut saya, saya ini kejepit secara tidak sengaja karena Allah telah memilihkan saya profesi menjadi guru di sekolah Islam. Dan saya amat mensyukuri pemberian Allah ini, karena saya yakin tidak ada yang sia-sia semua ketetapan yang berasal dari Allah itu. Ternyata tidak semua orang mampu dan mau menjadi seorang guru diantara makin banyaknya pilihan profesi lain yang lebih menggiurkan baik secara kesejahteraan maupun nilainya di mata manusia. Profesi guru seperti yang kita tahu adalah profesi yang mulia. Tugas guru salah satunya adalah menstransfer kepribadian akhlak, spiritual, ilmu dan ketrampilan, dan ini tidak akan bisa dibentuk secara mendadak, dengan bekal seadanya. Guru atau ulama’ adalah pewaris Nabi. Maka guru adalah manusia yang terpilih, yang memiliki kelebihan dari yang lain. Dan apa yang telah kita ajarkan kepada anak didik kita, akan terus mereka kerjakan dalam kehidupan mereka selamanya meski kita telah tiada. Serta guru jua lah sebagai penentu keberhasilan baik buruknya sebuah negara. Bila pendidikan suatu negara kuat maka sudah bisa dipastikan negara dan masyarakatnya akan kuat pula. Dan sudah barang tentu sebaliknya. Saya beruntung juga terjepit di lingkungan orang-orang yang memiliki basis keislaman yang kuat. Seperti kata pepatah, bila kita berteman dengan penjual minyak wangi maka kita akan tertular bau wanginya, sebaliknya bila kita bergaul dengan pande besi maka kita akan ikut terkena pula percikan apinya. Jadi dengan kata lain, lingkungan pergaulan yang baik sangat mempengaruhi  kepribadian seseorang. Dan dalam Islam, guru seharusnya benar-benar menjadi uswah, bukan hanya sebatas sebagai penyampai informasi atau pengetahuan, melainkan lebih dari itu guru juga menstransfer kepribadian.  Untuk itu saya beruntung berada di dalamnya karena saya dapat bercermin dari uswah mereka dan senantiasa dapat menjaga perilaku agar senantiasa berada dalam koridor yang benar menurut Islam, paling tidak kita malu untuk melakukan perbuatan yang munkar. Karena sebagaimana sabda Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam, yang artinya: “Malu dan iman saling berpasangan. Bila salah satunya hilang, maka yang lain turut hilang.” (HR: Hakim dalam kitab Al-Mustadrak) Keberuntungan lain yang saya syukuri dari “terjepitnya” saya bekerja di  lingkungan Islam adalah  senantiasa terjaganya nilai ibadah saya, paling tidak dari segi kuantitasnya. Kini tidak ada alasan lain untuk tidak melakukan sholat lima waktu secara berjamaah di masjid,  minimal dua waktu yaitu sholat dhuhur dan ashar. Dan ini mungkin sulit untuk saya lakukan bila kita bekerja di luar lingkungan kerja saya yang sekarang ini. Dan memang mestinya kita bisa mengatur waktu hidup kita yang hanya 24 jam sehari ini sebaik-baiknya. Begitu pentingnya Islam menekankan soal waktu hingga Allah swt. berfirman: “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh, dan saling menasehati supaya mentaati kebenaran dan supaya menetapi kesabaran.” (Q.S. Al-‘Ashr: 1-3). Dan akhirnya, mudah-mudahan Allah selalu memberi saya situasi-situasi kejepit lain yang tidak kalah enaknya agar saya senantiasa menjadi orang yang selalu waspada. Bila sudah tak ada lagi  yang menjepit saya, maka saya bertekad untuk “menjepitkan diri” ke dalam masalah yang menurut saya akan berakibat enak. Dan betul rasanya kalau kita sendiri belum merasakan terjepit maka hati dan pikiran kita belum bisa menikmatinya. Baru setelah kita bisa menikmatinya,  situasi yang tidak enak itu akan pelan-pelan berubah menjadi sesuatu yang enak bahkan menjadi nikmat. Bukankah dalam hidup sendiri sebenarnya adalah situasi yang secara tidak langsung menjepit kita? Dan mudah-mudahan kita cepat bisa menikmati itu semua sebelum raga kita benar-benar terjepit di lubang yang sempit ketika kita telah mati nanti. Amin salam

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun